BAB 13 Mandi di air terjun

5.1K 294 3
                                    


          Tubuhku bergetar, masih teringat wajah Jana, kenapa Nyai Jenah memberikan aku teman dari golongan jin. Kenapa Nyai Jenah dan Aki Setu tidak takut sama sekali hidup berdampingan dengan Jana. Entah kenapa sejak Nyai memberi susuk ke wajahku, jiwaku lebih berkorbar dan sangat dendam pada Isti. Tiap peristiwa terus berjalan di memori otakku, aku yang biasanya mudah menangis, justru sebaliknya, aku mudah marah dan tersinggung.

          Aku sering menolak makanan yang di berikan Nyai Jenah. Aku sering meminta ayam mentah dan ikan mentah untuk dimakan. Tapi entah kenapa Nyai Jenah selalu menuruti keinginanku. Tubuhku terasa semakin kuat, bahkan aku sudah mulai bisa berlari. Ketika Nyai Jenah membawa pakaian kotor untuk dicuci, aku langsung meminta Nyai mengajakku.

"Nyai, aku ikut ya," pintaku pada Nyai.

"Ya boleh, ayo kita mandi di air terjun, airnya jernih dan segar," jawab Nyai Jenah senang.

          Aku dan Nyai Jenah berjalan menyusuri bebatuan dan pohon, sampai di bawah air terjun, Aki Seto rupanya sedang mandi. Nyai Jenah dan Aki Seto masih mengira aku lupa ingatan.

"Nyai, ingat tidak dulu kita menemukan Menul di bawah air terjun ini?" ucap Aki Seto mengenang.

          Mendengar ucapan Aki Seto menemukan aku di bawah air terjun, aku langsung mendongak ke atas. Betapa tingginya jurang, aku melihat ke atas, aku jatuh didorong Isti ke bawah dan masih bisa selamat. Darahku mendidih ingin sekali cepat membalas Isti. Aku menguping pembicaraan Nyai dan Aki Seto.

"Tentu saja ingat Ki, tapi sudahlah, jangan bahas itu, aku tidak akan menyerahkan Menul pada siapapun, Menul anakku!" jawab Nyai Jenah.

"Kalau Menul sudah ingat semuanya dan ingin kembali pada keluarganya bagaimana Nyai?" tanya Aki Setu.

"Aku tidak akan membiarkan Menul direbut oleh siapapun!" jawab Nyai tegas.

          Aku lega sekali mendengar Nyai Jenah mengucapkan itu, artinya aku tidak akan dibiarkan pulang dan bertemu dengan Isti. Aku mencoba bertanya pada Nyai Jenah.

"Nyai, apakah Nyai pernah ke Desa yang di atas itu?" tanyaku serius.

"Ya pernah Menul, setahun setengah yang lalu Nyai pernah ke sana", jawab Nyai Jenah.

"Apakah Nyai punya Saudara di sana?" tanyaku cemas takut Nyai kenal dengan Ayahku.

"Tidak! Nyai di undang Kades untuk memandikan jenazah wanita yang di patuk ular! tidak ada yang mau memandikan wanita itu, katanya takut sial karena dia mati dalam keadaan selingkuh", jawab Nyai.

           Mendengar wanita di patuk ular dan selingkuh, darahku berdesir dan sakit sekali. Tapi itu sudah lama sekali, mana mungkin yang dimandikan itu Ibuku, karena Ibuku meninggal mungkin belum setahun. Tapi mendengar percakapan Nyai dan Aki aku sangat terkejut.

"Malang sekali wanita itu, aku tidak yakin dia selingkuh, saat aku mandikan jenazahnya, jasadnya bau harum, wajahnya biru tapi bersinar, dia sedang mengandung tapi kematiannya tragis," gumam Nyai Jenah depan Aki Setu.

"Menurutmu bagaimana? aku juga heran kalau dia di keroyok puluhan ular berbisa di kamarnya, biasanya ular masuk ke dalam rumah tidak mungkin sampai banyak begitu," ucap Aki Setu.

"Entahlah, kalau suaminya tidak mungkin Ki, dia Ustad, dia Guru ngaji", jawab Nyai Jenah.

          Jiwaku bergejolak, mataku melotot melihat Nyai dan Aki sedang bicara, apa yang diucapkan mereka seperti sedang membicarakan Ibu dan Ayahku.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang