BAB 42 Bunuh diri

3.6K 251 2
                                    


          Aku mendengar dari samping rumah terdengar Ibunya Siti menangis. Mereka bertengkar dan tidak kasihan ada Siti gadis mungil yang mendengarnya. Ibunya Siti terus memaki suaminya.

"Semua gara-gara kamu Kang! coba kalau kamu tidak berjudi dan mabok, kita tidak punya hutang!" teriak Ibunya Siti.

"Diam kamu! wanita tahu apa?! seharusnya kamu bantu berpikir! jangan hanya bisa menangis!" bentak Ayahnya Siti membalas istrinya.

"Aku tidak mau lagi menuruti kemauanmu! aku tidak sudi melayani Aki tua cacat itu! dia kejam!" ucap Ibunya Siti sambil menangis.

"Apa?! kamu sudah berani melawan! apa kamu mau aku ceraikan hah?!" bentak Ayahnya Siti sambil keluar membanting pintu dengan keras.

          Aku tidak kuat mendengar pertengkaran mereka, apalagi terdengar suara pintu dibanting. Aku memilih pulang, sepanjang jalan aku mengeluh sendiri, kenapa wanita banyak yang teraniaya. Aki Setu tidak pernah semarah itu pada Nyai, Ayahku dulu tidak pernah marah pada Ibu. Kenapa aku harus menyaksikan semuanya. Sampai rumah aku menemui Nyai dan Aki di dapur sedang membakar Ubi.

"Hemmmm baunya harum sekali Nyai," ucapku sambil duduk di kursi kecil yang terbuat dari kayu.

"Ini Ubi kesukaanmu Nul, sebentar lagi matang," jawab Nyai tersenyum.

          Aku sebenarnya ingin cerita pada Nyai tentang apa yang aku dengar. Tapi aku tidak mau Nyai jadi kasar dan kejam lagi pada orang. Aku takut Nyai membunuh rentenir itu. Ubi sudah matang, kami makan bersama di ruang tamu, tiba-tiba suara ketukan dari luar.

"Teteh Menul..., Teteh Menul..., " suara gadis kecil dari balik pintu.

          Aku berdiri dan membuka pintu, ternyata Siti datang ke rumah.

"Ada apa Siti?" tanyaku.

"Aku tidak tahu, Ibu menyuruhku kemari," jawab Siti.

          Aku tidak banyak berpikir, mungkin Ibunya dan Siti lapar, aku ambil rantang dan aku isi nasi dan lauk, aku ambil ubi hangat untuk cemilan Siti.

"Ayo Siti kita ke rumahmu," ajakku pada Siti.

          Nyai dan Aki tidak pernah melarangku memberi makanan pada orang lain, Aki dan Nyai sering berbagi jika ada makanan lebih. Sampai rumah, Siti memaksaku masuk, dia seperti ketakutan.

"Aku di luar saja, ini makanan buat Ibumu dan kamu ya?" ucapku pada Siti.

"Aku takut," jawab Siti sedih.

"Kenapa?" tanyaku heran.

"Tadi Ibu mengusirku, dan menyuruhku untuk tinggal dengan Teteh," jawab Siti.

"Ibumu tidak marah kok, mungkin sedang sedih, ayo Teteh antar yah ke dalam," ucapku sambil menggandeng tangan Siti.

           Aku memanggil Ibunya Siti tidak menjawab dan tidak ada suara, aku dan Siti membuka kamarnya, dan betapa terkejutnya aku melihat Ibunya Siti tergantung di kayu dengan kain selendang, lidahnya terjulur. Aku tidak sadar rantang yang aku genggam jatuh ke lantai.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang