BAB 23 Pertengkaran Nyai dan dukun

4.7K 256 1
                                    


          Nyai menutup mataku dan mendekapku, ingin rasanya marah pada Nyai, kenapa aku tidak boleh melihat, padahal dulu Roso juga memperlakukan Ibu begitu dan aku mengintip dari balik jendela.

"Nul, kamu diam di sini, jangan ikut masuk ya," bisik Nyai di telingaku.

"Kenapa Nyai?" jawabku pelan.

"Ini urusan orang dewasa, kamu tidak boleh melihat mereka," bisik Nyai kembali.

          Nyai mendobrak pintu, pasukan Nyai dari bangsa jin sudah berada di belakang Nyai. Kakiku sudah tidak tahan ingin sekali masuk dan menghajar Isti. Aku mendengar teriakan dari dalam rumah.

"Heh! siapa kamu berani datang kemari Nenek tua!" bentak suara perempuan.

          Aku mengenali suara itu, tidak asing lagi itu suara Isti sang pembunuh.

"Rupanya kamu di sini tua bangka!" hardik suara pria tua.

          Aku mendengar suara pria memaki Nyai, dalam hatiku berkata "itu pasti pria yang meremas dada Isti."

"Kau tidak malu mengatakan aku tua bangka?! kamu sendiri sudah bau tanah masih suka main remas-remasan ya! hahahahah," balas Nyai tertawa terbahak-bahak.

"Rupanya kamu sudah ingin masuk liang kubur Nenek peyot!" maki dukun itu pada Nyai.

"Kenapa? kamu terganggu karena gagal bercumbu? dasar dukun busuk!" ucap Nyai memaki dukun.

"Hahahaha apa kamu bilang? busuk? kamu tidak sadar? kamu lebih busuk dari aku!" balas dukun itu memaki Nyai.

          Aku yang mendengar pertengkaran Nyai dan dukun sudah tidak sabar ingin melihat mereka. Karung yang aku bawa menjijikkan, ular-ular itu terus berontak ingin keluar. Aku tidak bisa menunggu lama, aku mencari jendela kamar Isti. Aku mencoba mencungkil jendela Isti yang terbuat dari bambu. Isti tidak ada di kamar, aku angkat karung sampai ke sisi jendela, tapi tiba-tiba ada bisikan lewat di telingaku.

"Jangan Ambar...  jangan...  kau tidak boleh jahat," lirih suara perempuan.

          Aku mencari arah suara itu, dia tahu namaku, tapi aku tidak melihat siapa-siapa.  Aku sudah menaikkan karung dan terkejut saat ular dalam karung berontak dan aku reflek melepaskan karung, dan jatuh ke dalam kamar Isti, dan ular-ular itu berserakan. Aku masih mencari arah suara itu, suara lirih yang merdu dan menembus relung hatiku. Jantungku berdebar, aku tidak pernah merasakan seperti ini sebelumnya.

          Aku jadi teringat saat aku kecil dihina temanku, hanya karena rumahku terbuat dari bilik. Saat aku hendak membalas hinaan temanku, Ibuku selalu melarang dan mengatakan, "Sabarlah Ambar, kau tidak boleh membalas, kalau kamu membalas perbuatan dia, apa bedanya kamu dan temanmu, artinya sama-sama menghina, dan itu dosa. Allah menyukai orang yang sabar, kamu harus ingat pesan Ibu ya?" ucapan Ibu yang pernah aku dengar.

          Tapi kenapa aku jadi ingat ucapan Ibuku? Jiwaku berontak antara dendam dan pesan Ibuku, aku menarik nafas dalam kebimbangan, akhirnya aku langsung naik ke jendela dan memilih mengambil ular-ular itu kembali dan aku masukan ke dalam karung. Tapi naas Isti masuk kamar dan melihatku.

"Siapa kamu!" bentak Isti.

          Aku turunkan topi caping menutupi sebagian wajahku agar Isti tidak melihat siapa aku.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang