BAB 45 Menul dikeroyok

3.7K 261 3
                                    


          Aku sudah tidak peduli berapa banyak orang mencibirku, aku sudah biasa dihina. Aku melihat rentenir duduk dengan Ayahnya Siti, keluarga Siti memandangku seperti ingin menelanku mentah-mentah. Kepala Desa masih ramah dan masih menghargai aku, karena aku anak yang berprestasi. Tapi yang lainnya tidak. Aku melihat Siti di peluk kerabatnya, dia memandangku dengan sedih, seharusnya tidak ada anak yang menonton sidang saat itu, meskipun saat itu aku masih remaja, aku bisa merasakan ketidak adilan buatku.

"Silahkan dari suami almarhum dulu, apa keluhan yang ingin di sampaikan," tanya Kades pelan.

"Istriku sering mengeluh Pak, karena Menul meminta bayaran telah mengajari Siti mengaji. Istriku sampai hutang pada Pak Agum, untuk membayar Menul," jawab Ayahnya Siti.

          Aku tersenyum kecut mendengar pengakuan Ayahnya Siti, pikirannya sudah tidak sehat karena mabuk.

"Kamu sedang mabuk?" tanya Kades.

"Maaf, iya Pak, saya mabuk karena sedih istri saya telah pergi," jawab Ayahnya Siti.

"Seharusnya berdoa untuk istrimu, bukan mabuk seperti ini," ucap Kades tegas.

"Iya Pak, maafkan saya," jawab Ayah Siti.

"Dan Menul, apakah benar yang dikatakan Ayahnya Siti?" tanya Kades.

"Tidak benar! ucapan pemabuk kok di percaya Pak!" jawabku cuek.

"Jadi benar tidak pernah menerima uang ya Menul?" tanya Kades kembali.

"Pak, jangan tanya sama saya, tanya pada anak-anak yang lain dan orangtua mereka, apakah saya meminta imbalan atau tidak!" jawabku tegas.

"Baiklah, coba siapa di sini, apa ada orangtua yang anaknya ngaji di rumah Menul?" tanya Kades.

"Saya Pak!" jawab salah satu warga.

"Coba sini maju, apa benar Menul tidak pernah meminta imbalan?" tanya Kades.

"Saya memberi beras Pak Kades, kata Nyainya Menul, yang ngaji di rumah Menul tiap bulan bayar, harus membawa sekantung beras atau Ubi," jawab Warga.

"Coba mana Nyainya maju ke depan," pinta Pak Kades.

          Aku terkejut mendengar Nyai meminta imbalan, rasanya ingin marah sekali saat itu pada Nyai. Nyai memandangku dengan mata berkaca-kaca.

"Nyai, apa benar yang diucapkan dia, kalau Nyai meminta imbalan?" tanya Kades.

"Iya benar, tapi itu bukan Menul yang suruh, dan tidak memaksa kok," jawab Nyai gugup.

"Huuuuuuuuuuuuu" serentak suara warga mempermalukan Nyai.

"Saya tidak terima sodara saya bunuh diri karena Menul! dia harus di hukum!" ucap saudaranya almarhum.

"Tenang, tenang!" jawab Kades.

"Bocah ingusan begitu kok ngajar ngaji! usir saja dari Desa ini!" ucap rentenir ikut bicara.

"Stop! kenapa kalian tega menghakimi Menul?! saya yakin dia tidak bersalah, wajar jika Nyainya bilang begitu, tapi saya yakin Nyai tidak mungkin memaksa!" ucap Ujang tiba-tiba maju dan teriak.

"A, Dengar ya! aku tidak butuh pembelaanmu! lebih baik diam!" ucapku ketus pada Ujang.

"Tapi Nul," jawab Ujang.

"Pergi dari sini! jangan ikut campur!" ucapku marah pada Ujang.

"Huuuuu sombong sekali gadis itu," teriak warga.

"Tenang... tenang, silahkan kembali ditempatmu Jang," pinta Kades.

          Pak Kades terlihat bingung, dia berbisik-bisik dengan aparat lainnya.

"Baiklah, jadi apa yang di inginkan dari Menul Kang?" tanya Kades pada Ayahnya Siti.

"Dia harus membayar hutang istriku pada rentenir," jawab Ayahnya Siti.

"Menul dan Nyai bagaimana? apa sanggup menerimanya?" tanya Kades.

"Tidak terima Pak Kades!" jawabku marah.

"Kalau kau tidak mau membayar, kami akan mengusirmu dari sini!" bentak Rentenir.

"Saya yang akan membantu membayarnya Pak Kades," suara Ujang tiba-tiba menyahut.

"Apa alasanmu membantu Menul?" tanya Kades.

"Karena saya yakin dia hanya difitnah, saya tahu Menul, dia tidak akan berbuat seperti itu," jawab Ujang.

"Heh Jang! kamu jangan-jangan naksir ya sama Menul! kamu itu sudah punya calon istri, masih membela gadis lain!" ucap Ayahnya Siti membuat Ujang diam.

"Menul dan Nyai bagaimana?" tanya Kades kembali.

          Aku yang dari tadi duduk dan tidak membela diri, sudah tidak tahan di cemooh warga, aku berdiri dan menghampiri Ayahnya Siti.

"Kamu bilang saya punya hutang?! apa kamu tidak malu pada anakmu jika aku membongkar kebusukanmu? kamu tidak malu aku bongkar kebusukanmu di depan warga? sebelum Ibunya Siti bunuh diri, aku dan Siti mendengar pertengkaranmu dengan istrimu!!
Dan kamu bandot tua, kamu mau mengusirku?! aku tidak perlu lagi hormat sama kamu! aku tahu semua apa yang kamu lakukan saat datang ke rumah Ibunya Siti, masih berani mau mengusirku dari sini? tidak malu kamu sudah berbuat keji pada Ibunya Siti!!
Ayo Nyai kita pulang, kita tidak perlu takut pada orang-orang yang berhati busuk, maaf Pak Kades, silahkan tanya pada mereka kenapa Ibunya Siti bunuh diri, tidak ada sangkut pautnya denganku, kalau Pak Kades mau mengusirku, malam ini juga aku dan Nyai pergi dari Desa ini!" ucapku dengan nada tinggi.

"Usir saja dia! saya tidak takut dengan ocehan bocah tidak tahu diri ini!" teriak rentenir.

            Aku berhenti melangkah, aku yang tadinya masih punya kasihan tidak membongkar aibnya depan istrinya rentenir, akhirnya berbalik dan mendekatinya.

"Bandot tua! semua orang tahu, aku tidak pernah takut pada siapapun! apalagi denganmu Aki cabul!" ucapku dengan nada tinggi.

"Menul, sabar dan duduklah," perintah Kades.

"Tidak Pak Kades! semua harus tahu perbuatan bejad Aki cabul ini! Ayahnya Siti meminjam uang pada rentenir untuk berjudi dan mabok-mabokan! istrinya di jual untuk membayar bunga hutangnya. Dan Aki cabul ini sudah memperkosa Ibunya Siti, sebelum bunuh diri, mereka bertengkar, Ibunya Siti tidak mau melayani bandot tua ini yang selalu memaksa dan memperkosanya!" ucapku dengan nada keras.

          Ayahnya Siti dan rentenir gelagapan tidak bisa bicara, Siti anak kecil yang tidak berdosa dimintai keterangan oleh Kades. Dan Siti berkata jujur dan membelaku. Entah kenapa malam itu aku begitu keras dan kasar bicaranya.

                      ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang