Bab 74 Istri Bara marah

3.5K 226 4
                                    

          Aku benar-benar syok mendengar pengakuan Nyai, Ayah terus menatapku tidak berkedip, dan matanya mulai berkaca-kaca. Beda dengan istri baru Ayah, dia marah naik ke panggung.

"Nyai! jangan asal bicara ya! anak Kang Bara sudah lama hilang dan di kabarkan meninggal! jadi jangan mengaku kalau Menul anak dari suamiku!" teriak istri Ayah.

"Sudah cukup, jangan ribut, aku percaya dia Ambar, pantas saja wajahnya sangat mirip dengan mendiang istriku Ami, Ambar... kemarilah" ucap Ayah sambil menatapku.

          Aku perlahan-lahan naik ke atas panggung, Ayah terus menatapku. Ayah melebarkan tangannya untuk memelukku, tapi aku melewati Ayah dan menghampiri Nyai yang terlihat syok dan menangis.

"Maafkan Nyai, Nul... Nyai ikhlas kehilanganmu dan kamu kembali pada Ayahmu, daripada kamu terus di hina karena Nyai seorang dukun," ucap Nyai sambil terisak.

          Aku mengeluarkan tasbih pemberian Ibu dari balik kerah bajuku, aku sengaja mengeluarkan untuk bukti di depan istri Ayah.

"Kamu mau bukti aku adalah Ambar?  ini tasbih pemberian Ibuku sebelum meninggal, kamu jangan khawatir, aku tidak akan merebut Ayah, selama ini aku di besarkan Nyai dan Aki dengan penuh kasih sayang, aku tidak akan pernah meninggalkan Nyai dan Aki," ucapku dengan tegas.

          Ayah mendekatiku dan langsung memelukku. Bertahun-tahun aku berpisah dengan Ayah, aku merasakan kembali pelukan Ayah. Aku hanya diam tidak mengeluarkan sepatah kata ketika di peluk Ayah. Aku melihat istri Ayah sangat tidak suka terhadapku.

"Ambar, ini benar kamu? sejak aku melihatmu di pasar, Ayah selalu memikirkanmu, wajahmu benar-benar mengingatkan Ayah pada Ibu," ucap Ayah.

          Aku melihat ke bawah, tidak sedikit orang menyeka air matanya. Aku melihat banyak orang terharu melihat pengakuan Nyai dan pertemuanku dengan Ayah. Nyai berdiri menatapku dengan kesedihan, seolah aku akan di ambil Ayah.

"Ayah, sekarang Ayah sudah tahu aku Ambar, tapi bukan berarti aku akan kembali pada Ayah, Aku ingin bersama Nyai dan Aki selamanya. Maafkan aku Ayah, aku pergi dulu," ucapku pada Ayah dan melepaskan pelukannya.

          Aku menggandeng tangan Nyai dan memapahnya turun. Semua orang memandangku dengan penuh haru, tangan Ayah di pegang erat istri Ayah seolah tidak ingin Ayah mengejarku. Aku, Nyai dan Aki berjalan melewati banyak orang yang terus menatap kami. Ujang tiba-tiba menghadangku dan memberi kalimat indah.

"Alhubbu zahratun naadhiratun laa yafuuhu ariijuhaa illaa idzaa tasaaqathat 'alaihaa qatharaatud dumuu'i. Alhayaatu tu'allimukal hubba, wat tajaarubu tu'allimuka man tuhibbu, wal mawaaqifu tu'allimuka man yuhibbuka.

Cinta adalah bunga bermekaran yang tidak akan semerbak harumnya kecuali jika disirami tetesan-tetesan air mata.  Kehidupan mengajarimu
cinta, pengalaman mengajarimu siapa yang kau cintai, dan situasi mengajarimu siapa yang mencintaimu" ucap Ujang  sambil menatapku penuh perasaan.

          Menul membalas ungkapan hati Ujang.

"Akrahu quwwatii 'indamaa ajrahu man uhibbu duuna qashdin,wa akrahu dumuu'ii hiina tanzilu 'alaa man laa yastahiqquhaa raghman 'annii,wa akrahu hubbii hiina yamhuu kibriyaa'ii wa karaamatii. Laysatir raw'atu an taraa man tuhibbu kulla yawmin, wa laakinnar rau'ata an tasy'ura biwujuudihi hawlaka, hattaa wa in kaana ba'iidan 'anka.

Aku membenci kekuatanku, ketika melukai orang yang kucintai tanpa sengaja, Aku membenci air mataku, ketika jatuh bukan pada orang berhak tanpa kusadari. Dan aku benci rasa cintaku, ketika dia menghilangkan keangkuhan dan kemuliaanku.
Tidak mengherankan di saat engkau melihat orang yang kau cintai setiap hari... Akan tetapi yang mengagumkan adalah di saat engkau merasakan keberadaannya di dekatmu... walaupun dia jauh darimu," jawabku sambil berlalu meninggalkan Ujang.

          Nyai menatapku heran, Nyai tidak mengerti apa yang aku ucapkan. Aku terus berjalan melewati banyak orang yang masih memandang kami, tiba-tiba sebuah teriakan dari banyak orang.

"Hidup Nyai! Hidup Menul! Kalian orang yang luar biasa!" teriak warga.

          Aku sudah tidak peduli dengan teriakan yang memujiku, aku terus berjalan meninggalkan lapangan Balai Desa.

                    ***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang