Bab 78 Nyai Marah

3.4K 201 0
                                    


Samar-samar aku mendengar panggilan, suaranya sudah tidak asing lagi, ternyata Nyai dan Aki menyusulku. Aku dan Ujang keluar dan mendekati Nyai.

"Nyai... Nyai... aku disini," ucapku pelan.

Nyai mencari arah suara, Aki mengawasi Nyai dari beberapa meter, dan akhirnya Nyai menemukan aku.

"Nul? untunglah kamu disini, semua orang mencarimu Nul," ucap Nyai cemas.

"Apa mereka masih mencariku Nyai?" tanyaku penasaran.

"Sudah sepi Nul, Ayahmu dan Ibu tirimu sudah pulang, Ujang?! sedang apa kamu disini?" bentak Nyai pada Ujang.

"Aku menemani Menul, Nyai," jawab Ujang.

"Iya tapi kalau Ibumu tahu, nanti Menulku di hina lagi!" ucap Nyai marah.

"Maafkan Ibuku Nyai," ucap Ujang pelan.

"Maaf saja tidak cukup Jang! Ibumu itu sudah keterlaluan! sudah sana kamu pulang!" ucap Nyai mengusir Ujang.

"Baiklah Nyai, aku pulang," jawab Ujang sedih.

Aku menatap Ujang pulang rasanya sedih sekali, Nyai menuntunku pulang. Sepanjang jalan Nyai menggerutu dan melarangku bertemu Ujang.

"Nul, sudahlah lupakan Ujang! Nyai tidak suka kamu menangis gara-gara Ibunya Ujang!" ujar Nyai.

"Sudahlah, jangan marah pada Menul, kamu seperti tidak pernah merasakan muda saja!" ucap Aki membelaku.

Aku masuk rumah lewat jendela, Nyai menyuruhku masuk lewat jendela. Aku seperti buronan, masuk rumah sendiri harus ketakutan. Kenapa justru setelah aku ketemu Ayah, bukannya aku bahagia, tapi justru aku ketakutan.

"Nyai, aku tidak mau ikut bersama Ayah!" ucapku mengeluh.

"Nyai tahu Nul, tapi Nyai tidak bisa berbuat apa-apa, Ayahmu justru menyalahkan Nyai dan Aki," jawab Nyai.

"Kalau besok Ayah datang lagi, bagaimana Nyai?" tanyaku gelisah.

"Kamu ikutlah dulu, kalau tidak betah kamu pulang ke rumah Nyai, kamu sudah besar, sudah tahu jalan bukan?" jawab Nyai.

"Benar juga Nyai, tadi Ujang juga menasehatiku begitu," ucapku mulai tenang.

"Ujang lagi, Ujang lagi, kapan kamu bisa lupa pada Ujangmu itu!" tanya Nyai marah.

"Sampai kapanpun aku tidak bisa melupakan Ujang Nyai!" jawabku tanpa malu-malu.

"Kamu cinta sama Ujang Nul?" tanya Nyai heran.

"Iya Nyai," jawabku lugas.

"Tapi Ibunya tidak merestuimu, masa kamu akan menunggu Ujang?" tanya Nyai heran.

"Aku akan menunggu Ujang sampai kapanpun, tidak akan ada yang bisa menggantikan Ujang," jawabku jujur.

"Ya bersiaplah kamu akan terus menangis karena Ibunya Nul!" ucap Nyai marah.

Nyai seperti tidak suka pada Ujang, semua gara-gara Ibunya Ujang yang selalu menghinaku. Entah kenapa sejak bicara dengan Ujang di pinggir air terjun, aku semakin yakin Ujang adalah pilihanku.

***

Saksi Kematian (SK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang