SBU-18

69 21 4
                                    

Terbang seperti debu debu yang tertiup angin
Terabaikan laksana sampah pinggiran kota
Terjatuh bagaikan bulir bulir air hujan

-Syahla Latifah





Heloooooo!
Pa kabar?
Lama gantungin anak orang nih
Hyehe maap yahhhh 😆

***

Syahla terkejut dengan posisi kepalanya yang menyandar pada meja belajarnya oleh suara alarm. Dengan setengah sadar, ia terbangun memelototi alarm itu. Bukan. Bukan alarm di pagi hari yang akan membuatnya kesiangan seperti Starlla. Bukan juga alarm untuk jadwal belajar seperti Reina. Bahkan bukan juga alarm nyaring menandakan waktunya makan milik Almira yang memang terkadang melupakan makan. Tetapi, ini alarm khusus Syahla buat.

Alarm melepas kepergian Ferro di bandara.

Melepas kepergian Ferro.

Di bandara.

Syahla melompat hebat mendapati nama alarm di handphonenya. Ia melirik jam yang menunjukan pukul 16.45. Kata Ferro, pesawat akan take off pukul 17.00. Itu tandanya. 15 menit lagi???

Secepat kilat Syahla beranjak mengambil jaketnya, menguncir rambutnya, menyemprotkan parfum asal asalan, mengambil dompet dan handphonenya dan berlari panik.

15 menit. Jarak rumahnya dan bandara tidaklah dekat. Perlu waktu sekitar 15 menit pas jika itupun mengebut. Sementara, angkutan umum tidak mungkin mencapai 15 menit. Syahla mengumpat kesal menyadari betapa bodohnya ia. Tugas Fisika yang memusingkan membuatnya benar benar larut di dalam rumus itu kemudian malah membawanya ke alam mimpi karena terlalu memikirkannya.

"Sialan." Gumam Starlla melirik jam tangannya.

16.50

10 menit lagi. Tidak ada waktu lagi. Entah apa yang ada dipikirannya yang jelas semua itu berbicara tentang menyerah. Ia terjongkok pasrah. Tepat di depan gerbang rumahnya yang berada di pinggir jalan. Hanya berharap bisa terjadi keajaiban dengan seseorang menolongnya kini.

"Mau ke bandara kan? Cepet naik!"

Syahla menoleh ke sumber suara itu.

***

"Gue nggak nyangka berakhir disini Fer. Dulu kita ketawa bareng, nangis bareng, berantem, semuanya bareng. Sekarang lo udah mau pergi aja." Ucap Langit tertawa hambar. Ia merasakan kehilangan kini. Tentu saja karena Ferro adalah temannya semenjak kecil. Ralat. Sahabatnya.

Ferro tertawa. Sama hambarnya dengan Langit. "Pokonya lo disana harus tenang ya!" Ucap Acil. "Lo pikir gue mau mati?" Sergah Ferro membuat tawa tergelak disana. "Jangan lupa sama kita!" Seru Boy menepuk pundak kanan Ferro. Ferro mengangguk penuh keyakinan. Matanya berkaca kaca seolah ingin sekali menangis. Hatinya meraung raung seperti ingin sekali membatalkan pindahan ini.

"Gausah nangis lo udah gede! Dasar cengeng!" Ledek Angga yang padahal ia sendiri yang tengah menahan tangisnya.

"Lo yang nangis bego." Ucap Ferro tersenyum.

"Gue bakalan berat tanpa kalian." Ucapnya lirih seraya menundukan kepalanya dalam dalam.

"Justru kita yang bakalan berat tanpa lo!" Ucap Langit memeluk Ferro. Semuanya ikut memeluk Ferro dalam isak tangis laki laki sejati yang saling merangkul. Rapuh. Benar benar rapuh. Merasa salah satu bagian dari diri mereka akan pergi sekarang.

Something Between Us (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang