☘️~Happy reading~☘️
"Maaf, Ayah. Aku terlambat."
Tiga orang yang berada meja makan sontak menatap seorang gadis yang baru datang, gadis yang sudah membuat mereka menunggu.
Sebelum duduk di kursi, Valencia membungkukkan sedikit tubuhnya dan mengangkat kedua ujung gaunnya.
"Tidak apa-apa, putriku." Suara berat itu menguar dari seorang pria paruh baya yang duduk di ujung meja. Hendry Jersen De Adelaine, ayahnya.
Mendengar suara dari orang yang selama ini ia rindukan, hatinya mencelos dipenuhi penyesalan . Di kehidupan sebelumnya, dia terus merutuki kebodohannya. meninggalkan keluarganya yang sangat berharga demi bajingan itu.
Dia bahkan masih ingat, ketika sang ayah dihukum menggunakan Guillotine atas tuduhan palsu yang dibuat untuk menghancurkan keluarganya.
Melihat kepala ayahnya yang bergelinding, meninggalkan tubuhnya yang bersimbah darah. Kenangan pahit itu berputar di kepalanya. Sampai suara seseorang menyadarkannya dari lamunan masa lalu yang menyedihkan.
"Dasar babi pemalas, tidak biasanya kau terlambat bangun."
Pemuda yang umurnya terpaut beberapa tahun lebih tua darinya itu mendengus, menatap Valencia sinis.
Mendengar itu, Valencia tersenyum. Dia sangat merindukan ocehan kakaknya yang cerewet itu. Ya, pemuda itu adalah Arthur Araland De Adelaine.
"Dasar cerewet." Valencia menatap balik kakaknya itu dengan sinis. Berbeda dengan sudut bibirnya yang berkedut, menahan senyum yang sarat akan kerinduan.
"Gadis nakal, berani sekali kau!!"
Inilah yang sering dilakukannya dulu, berdebat dengan kakaknya dan membuatnya kesal setengah mati. Valencia selalu tertawa setiap mengingatnya.
Ya, di kehidupan sebelumnya hanya itu yang bisa dia lakukan. Mengingat kembali kenangan indah bersama keluarganya dibalik penyesalan atas kebodohannya.
Kakaknya yang malang, harus mati dalam intrik kotor para bajingan hina itu. Mengingat itu, Valencia mengepalkan tangannya erat. Matanya berkobar penuh amarah.
"Kenapa kalian selalu bertengkar?"
Atensi Valencia sontak teralihkan pada seorang anak kecil berparas tampan dan berambut putih. Sergio Vandela De Adelaine, adiknya.
Dia menatap nanar sang adik. Perasaan bersalah menjalar di dadanya. Dulu, dia dengan bodohnya terhasut 'bisikan' para bajingan itu, membuatnya menjadi membenci adiknya sendiri.
Dia bahkan tak segan untuk mencaci adiknya, menggunakan kekerasan dan memukul adiknya sendiri.
Pada akhirnya, penyesalan selalu datang terlambat. Sampai akhir hayatnya, dia tidak bisa menebus kesalahan yang telah dia lakukan, bahkan untuk meminta maaf saja dia tidak mampu.
Mengingat itu, membuat matanya berkaca-kaca. Dia berjanji akan memberikan pembalasan yang paling menyakitkan untuk para bajingan sialan itu. Tangannya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.
"Cengeng sekali adikku yang cantik ini."
"Sepertinya aku akan cepat menua jika selalu mendengar ocehanmu itu." Valencia mendengus kesal, kakaknya selalu saja mengganggu saat ia sedang bernostalgia.
Walaupun begitu, sifat inilah yang dia sukai dari kakaknya. Mungkin Kakaknya memang sangat menyebalkan, tapi dia selalu peduli pada adik-adiknya. Arthur adalah orang yang sangat peka dengan sekitar.
Sedangkan Hendry menatap putra-putrinya dengan pandang lembut. Hatinya menghangat melihat interaksi 'manis' kedua anaknya itu.
"Aku lapar." Atensi semua orang beralih pada si bungsu yang sedang memegang perutnya dengan mata berembun, menahan tangis.
Melihat si bungsu yang kelaparan, Hendry yang sedari tadi hanya diam menyaksikan perdebatan putra-putrinya itu, memutuskan untuk turun tangan.
"Berhenti berdebat dan makanlah dengan tenang." Sang tuan rumah sudah menurunkan titahnya. Mau tak mau, semua orang harus patuh pada kehendaknya.
"Baik, ayah," ucap ketiganya serempak
Segera, keheningan melanda ruangan itu. Hanya terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang beradu dengan piring memenuhi ruang makan kediaman Adelaine. Keluarga itu menikmati waktu makannya dengan khidmat.
☘️*******☘️
Sejauh ini gimana ceritanya? Komen dong😉 jangan lupa Votenya ya hehe ☘️☘️
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Adelaine's Revenge [HIATUS]
FantasySorak-Sorai yang penuh dengan cacian bergema di setiap penjuru Kerajaan Altasia. Semua orang berkumpul hanya untuk menyaksikan kematiannya. 'Wanita hina!!' 'Bunuh dia!!' 'Sampah Altasia pantas mati!!' 'Akhirnya kematiannya tiba!' Di tengah kerumunan...