☘️~Happy reading~☘️
"Jadi, ada apa dengan wanita itu?" Jujur saja, Valencia sedikit lupa dengan eksistensi nyata Arabella. Gadis itu terlalu fokus dengan masalah Ratu Senna.
"Menurut sepengamatan saya, nona Adamantine sepertinya menderita gangguan psikologis yang aneh," ujar Xadern agak ragu saat menyampaikannya. Hillard muda itu sadar bahwa dirinya bukanlah seorang ahli kesehatan yang dapat menyimpulkan hal-hal seperti ini.
"Gangguan psikologis?" timpal pelan Valencia dengan bingung. Perut nona Adelaine itu agak tergelitik, lucu sekali rasanya jika Arabella memang benar-benar menderita penyakit mental.
"Ya, wanita itu kerap berteriak sendiri dan membuat kegaduhan hingga akhirnya harus dibius agar bisa berhenti," ujar Xadern dengan panjang lebar menjelaskan. Valencia agak tersentak saat mendengarnya, kini menyadari kondisi sepupu jahatnya itu cukup serius.
"Karma itu nyata, huh?" gumam pelan gadis itu, tertawa jahat di balik sikap tenang yang ditunjukkannya.
"Apa kau tahu penyebabnya, Tuan Hillard?" tanya sang Duke tiba-tiba dengan baritonnya yang dingin. Pria itu sengaja menekankan suaranya di akhir kalimat, menyebut marga keluarga Xadern.
Sontak saja tabrakan aura dingin yang tadi sudah mereda, kini kembali beradu. Xadern terdiam di tempatnya dengan wajah mengeras, mulut pria itu terkatup, seakan tak sudi menjawab pertanyaan yang dilontarkan sang Duke.
"Iya, apa kau tahu penyebabnya?" Valencia menyikut sedikit perut Hugo, sebelum menatap Xadern dengan wajah tidak enaknya. Yah, walaupun gadis itu sepertinya sudah tahu alasan dibalik penderitaan Arabella kini.
Xadern memandang tajam kepada Hugo, sebelum akhirnya menghembuskan nafasnya panjang dan menjawab.
"Sepertinya itu diakibatkan oleh tekanan yang diberikan lingkungan Istana yang keras."
"Ya, aku bisa memperkirakannya," timpal Valencia pelan. Gadis itu sepertinya sudah bisa membayangkan apa yang terjadi pada sepupunya yang malang nan jahat itu.
Arabella jelas gagal memenuhi ekspektasinya terhadap kehidupan Istana yang digadang-gadang bagai taman surga. Wanita itu pasti syok, terlebih saat mengetahui bahwa cara buruknya dalam menggaet sang Pangeran, mempengaruhi perspektif orang lain terhadapnya. Bahkan, sepertinya pelayan Istana pun tidak ada yang sudi menghormatinya.
"Ditambah, Arabella dan Pangeran Thomas kerap kali bertengkar hebat yang selalu berakhir dengan kekerasan," timpal Tuan Hillard itu menambahkan. Walaupun begitu, netra hijaunya masih belum lepas memandang tajam pada Hugo, yang tentu saja dibalas dengan tatapan dingin oleh sang Duke Fluternd itu.
Entah ada persaingan apa di antara mereka berdua.
"Ck, Thomas memang gila," umpat pelan Valencia, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk menghina mantan suaminya itu.
"Baiklah kalau begitu, terimakasih atas informasinya, Tuan Hillard." Valencia tersenyum kecil pada Xadern, menunjukkan perwujudan terimakasihnya. Tuan muda Hillard itu menganggukkan kepala menanggapinya.
Dua orang itu tidak menyadari, interaksi mereka dipandang dengan muka masam oleh seseorang. Siapa lagi kalau bukan sang Duke yang wajahnya kini terlihat seperti bisa menelan siapa saja.
"Lalu Nona, apa yang harus kita lakukan pada wanita itu? Maksudku, Nona Adamantine?" tanya Xadern tiba-tiba, wajahnya menampilkan raut bingung yang sangat kentara. Tentu saja pria itu bingung, haruskah ia terus mengawasi Arabella yang sudah jelas hampir gila?
Valencia terdiam sebentar setelahnya, isi kepala gadis itu tampak berputar untuk mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan sang Tuan muda Hillard.
"Baiklah," ujar Valencia pelan, sepertinya sudah menemukan jawaban yang tepat dengan pertimbangan penuh dan serius.
"Kita lepaskan wanita itu, lingkungan Istana yang buruk sudah cukup menjadi neraka baginya." Valencia berujar dengan mantap. Walaupun berat, karena gadis itu tidak bisa menyalurkan hasrat balas dendamnya secara langsung.
Tapi dibalik itu semua, Valencia sadar tidak bisa terus menerus meminta Xadern mengawasi Arabella, karena bagaimanapun juga kesepakatan awal mereka adalah untuk menjatuhkan Ratu Senna, bukan Arabella.
Valencia tentu tidak bisa berlaku egois dengan memanfaatkan Xadern untuk terus melakukan hal yang melenceng dan berbeda dari kesepakatan awal mereka.
"Apakah anda yakin, Nona?" Xadern bertanya dengan wajah skeptis. Pria itu tentu tahu, seberapa bencinya sosok Valencia terhadap keluarga Adamantine, terlebih kepada Arabella. Tentu saja, wajar baginya untuk mempertanyakan hal ini.
"Aku yakin, mari kita lihat berapa lama wanita itu bisa bertahan hidup di balik dinding Istana yang kejam!"
☘️*******☘️
Di sisi lain, terlihat seorang gadis berpakaian khas maid tengah menggerakkan gagang sapu yang dipegangnya, mengerjakan tugasnya yaitu membersihkan debu dan kotoran di lantai.
Saat menyapu di depan sebuah pintu, Ella sengaja melambatkan temponya dalam menyapu. Entah apa yang dilakukan pelayan pribadi sang Nona Adelaine itu.
"Apa yang kau lakukan di depan ruang kerja sang Duke? Mencoba menguping, heh?" Suara itu langsung saja menyentak kegiatan menyapu yang sedang Ella lakukan.
Gadis pelayan itu menoleh, mendapati kehadiran seorang pria berpakaian khas prajurit. Itu Sam, tangan kanan kepercayaan Sang Duke Fluternd.
Ella segera saja memicingkan matanya, menatap sebal ke arah si pelaku. Entah kenapa, akhir-akhir ini pria berzirah baja itu selalu saja mengganggunya dan merecokinya dengan perkataan tak masuk akal.
"Apa maksudmu?" tanya Ella dengan tampang jutek, terlihat lengannya ikut berhenti melanjutkan kegiatan menyapu.
"Sepertinya kau tidak paham perkataanku ya? Sayang sekali," ujar Sam, menampilkan senyum meremehkan yang tentu saja membuat Ella sangat kesal.
"Apa? Kau kira aku orang bodoh, hah?!" Ella dengan berani mengacungkan sapunya ke arah Sam, seakan menodong pria itu.
"Kukira memang begitu," timpal Sam tanpa gentar dengan wajah menyebalkan, membuat gadis pelayan itu semakin naik pitam dibuatnya.
"Kau ingin dihajar atau bagaimana?" Dengan wajah garang, Ella menggulung kedua lengan bajunya sampai ke siku, kedua mata gadis itu berkobar menggambarkan kemarahan. Sudah cukup ia ditindas terus menerus oleh pria ini!
"Memang apa yang bisa kau lakukan?" Sam tertawa kecil melihat kelakuan pelayan pribadi sang Nona Adelaine itu, tampak sangat lucu dan menghibur!
Ella segera saja mengambil kuda-kuda, gadis itu memegang gagang sapu menggunakan kedua tangan dan mengangkatnya ke atas. Kemudian, dengan kecepatan penuh menyentaknya turun, mengangkat sebelah lututnya dan ...
Krak!
Sapu itu patah terbelah menjadi dua. Sam terdiam mematung menatap horror pada gadis pelayan berpostur mungil itu. Otaknya seperti sedang memproses akan hal yang baru saja terjadi di depan matanya.
"Tutup mulutmu! Kau tahu, aku bisa saja mematahkan hal lain selain sapu ini!" Ella tersenyum licik saat mengatakannya. Gadis itu rasanya ingin tertawa keras saat melihat raut wajah yang ditampilkan oleh Sam.
Niat hati ingin berbuat usil, sekarang Sam malah baru menyadari bahwa telah membangunkan kucing liar yang ganas.
Sial, ini sudah tidak lucu lagi!
☘️*******☘️
Haiiii~ gimana kabarnya kalian😆 rindu gak sama cerita ini? Hihihi
Author sekali lagi mau ngucapin makasih yaa buat kalian yang nyempetin waktu buat baca cerita gak jelas yang Author buat ini😭
Makasih banget yaa✨
Oh iyaaa, maaf ya kalo Chapter ini gak jelas atau cringe gituu, soalnya author juga bingung sendiri hehe tadinya pengen langsung loncat ke konflik lagi, tapi rasa-rasanya bakal aneh bgt kalo tiba-tiba konflik gitu aja😥 jadi, anggap aja Chapter kayak gini tuh sebagai jembatan yang membantu menyambungkan alur cerita ini🤩
Yaudah segitu ajaa deh yaa, koreksi kalo ada typo atau gimana, saran sama kritik juga boleh silahkan 😉
Byeeee~
Next-nya dong😆
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Adelaine's Revenge [HIATUS]
FantasySorak-Sorai yang penuh dengan cacian bergema di setiap penjuru Kerajaan Altasia. Semua orang berkumpul hanya untuk menyaksikan kematiannya. 'Wanita hina!!' 'Bunuh dia!!' 'Sampah Altasia pantas mati!!' 'Akhirnya kematiannya tiba!' Di tengah kerumunan...