☘️~Happy reading~☘️
"Yang Mulia."
Panggilan tersebut sontak saja langsung mengalihkan perhatian Alexander, sang Putra Mahkota yang tengah sibuk bergulung dengan segala dokumen di mejanya.
Tanpa membuang waktu, Kevin dengan segera menunjukkan sesuatu yang terselip di tangan kanannya, sebuah surat.
Pada awalnya, kerutan dahi terbentuk di wajah tampan sang Pangeran. Lalu dengan cepat, air mukanya berubah tenang kala netranya mengenali lambang pedang dan bulan yang tertera di surat tersebut.
"Berikan itu padaku." Perintah mutlak Alexander, yang tentu saja langsung dilaksanakan oleh Ajudan pribadinya.
Setelah sampai di tangannya, Alexander dengan sangat berhati-hati membuka surat tersebut. Iris cokelatnya yang tajam memindai semua ukiran tinta yang terpampang di lembaran kertas putih.
Melihat wajah tenang yang ditampilkan oleh sang pangeran saat membaca surat tersebut, entah kenapa membuat Kevin berkeringat dingin sendiri di tempatnya. Pikirannya sedang berkelana, apakah ini sudah waktunya? Apakah sebentar lagi, semuanya akan usai? Apakah dendam yang bertebaran akan segera terbalaskan?
Srakk! Srakk! Srakk!
Bunyi sobekan kertas mengembalikan Kevin ke dunia nyata, pria itu mendongak, menyaksikan aksi sang Putra Mahkota yang kini tengah mengoyak selembar kertas tersebut menjadi potongan kecil yang berhamburan di meja.
"A-apa yang Anda lakukan, Yang Mulia?" Kevin menatap majikann itu dengan pandangan horor. Menerka apa yang ada dalam pikiran Alexander sekarang ini.
"Bakar, bakar sampai hangus tak tersisa!"
Pria dengan rambut merah itu membeku di tempat. Perintah yang diberikan oleh Alexander sungguh membuat Kevin kehabisan kata-kata, sesuatu apa yang sesungguhnya ada di dalam kepala majikannya itu?
"Kenapa Anda tidak membakarnya secara utuh saja tadi?" Kenapa harus merobek kertas itu dulu baru dibakar? Kenapa tidak membakarnya saja secara langsung tanpa perlu disobek terlebih dulu? Kevin menampilkan muka masam karena sepertinya tahu alasan apa yang mendasari tindakan aneh Alexander.
"Hanya ingin, apa kau keberatan?" Netra coklat yang mengkilap bergulir menatap Kevin dengan tatapan datar.
"Tentu tidak, Yang Mulia." Kevin hanya bisa tersenyum kecut menghadapi kelakuan sang pangeran. Astaga, dosa apa yang dilakukannya di masa lalu hingga dirinya mempunyai tuan yang sangat menyebalkan sekarang.
Kevin dengan cekatan melaksanakan perintah Alexander, lengannya dengan telaten mengutip satu persatu potongan kecil kertas itu dengan diiringi gerutuan tanpa henti di hatinya.
"Oh ya, Kevin, sterilkan daerah sekitar ruang kerja sang Raja, jangan sampai ada tikus yang menyelinap, mengerti?"
☘️*******☘️
"Malam ini?" Alunan merdu dengan nada pertanyaan itu terdengar dari bibir ranum seorang gadis.
"Ya, Aku sudah mengirimkan suratnya pada Yang Mulia Putra Mahkota," timpal Hugo dari meja kerjanya, netra biru gelap pria itu memperhatikan aktivitas tunangannya yang kini sedang mencemili kue kering dengan ditemani teh hangat.
"Baiklah, aku juga harus mengabari Xadern untuk ikut, bagaimanapun dia saksi hidup kita." Setelah mengatakannya, manik merah dengan sengaja Valencia melirik sang Duke Fluternd. Gadis itu menyadari raut masam yang tercetak di wajah tampan Hugo, membuatnya terlihat sangat menggemaskan.
Valencia dengan segera beranjak dari sofa empuknya, meninggalkan teh dan cemilannya di meja. Kaki jenjang milik nona Adelaine itu melangkah mendekati meja kerja sang tunangan.
"Sebenarnya ada apa?" pertanyaan singkat dari Valencia cukup membuat Hugo mengalihkan fokusnya dari lembaran dokumen di meja.
Jari lentik Valencia dengan lembut meraih dagu Hugo, membuat sang Duke sedikit mendongakkan wajahnya guna menatap jelas gadis itu. Pandangan mereka sontak bertemu, saling mengunci satu sama lain untuk beberapa saat.
Setelahnya, dengan perlahan Hugo melepaskan pegangan Valencia dengan menggunakan lengan besarnya, telapak tangan pria itu beralih menggenggam erat tunangannya, membuaf lengan mereka saling bertautan.
Sang Duke Fluternd itu lalu berdiri, menuntun Valencia untuk kembali ke sofa, yang memang sengaja ia tempatkan di ruang kerjanya untuk gadis itu.
Setelah mereka berdua duduk, Hugo kemudian merebahkan kepalanya di pangkuan Valencia, mengarahkan lengan gadis itu yang tadi ia genggam untuk mengusap keningnya dengan lembut.
"Entah kenapa aku sangat kesal saat mendengar nama pria itu keluar dari bibirmu." Hugo tanpa menunggu lama segera mengeluarkan keluh kesahnya selama ini.
"Walaupun sekarang kau adalah tunanganku, tapi aku tetap tidak bisa mengabaikan fakta bahwa dia lebih lama mengenalmu dibandingkan diriku."
Valencia dengan tenang dan dalam diam, mendengarkan segala curahan hati sang Duke. Telapak tangan gadis itu dengan telaten mengusap lembut kening tunangannya, biarkan ia menjadi pendengar yang baik kali ini.
"Maafkan aku jika sikapku ini membuatmu tidak nyaman." Hugo mengarahkan lengan gadisnya di depan wajahnya, kemudian mengecup punggung tangan itu dengan lembut.
"Hugo, jangan meminta maaf kepadaku." Valencia tersenyum kecil kala mengatakannya, perutnya tergelitik dengan ungkapan kecemburuan sang Duke yang terang-terangan.
"Kau lebih tahu kepada siapa harus meminta maaf, bukan?" Nona Adelaine itu tidak bisa lagi menahan tawanya kala melihat kerutan kekesalan yang diam-diam merayap di wajah tunangannya itu. Sangat lucu!
☘️*******☘️
Hi, ketemu lagi sama author ehehe gimana kabarnya? Semoga sehat selalu yaa, soalnya sekarang emang lagi musim sakit deh, author juga minggu kemaren kena😣😭
Maaf ya kalo akhir-akhir ini kurang memuaskan, soalnya jujur, dari awal Januari Author sibukkkkk bgt, sekedar baca cerita aja udah nggak keburu:-(
Udah segitu aja, bingung mau nulis apa lagi;-) ehehe kalo ada typo atau apapun itu jangan sungkan ya buat koreksi atau kritik😆
Ketemu lagi di next chapter
Byeeee~☘️Next yukkk!
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Adelaine's Revenge [HIATUS]
FantasySorak-Sorai yang penuh dengan cacian bergema di setiap penjuru Kerajaan Altasia. Semua orang berkumpul hanya untuk menyaksikan kematiannya. 'Wanita hina!!' 'Bunuh dia!!' 'Sampah Altasia pantas mati!!' 'Akhirnya kematiannya tiba!' Di tengah kerumunan...