☘️~Happy reading~☘️
Di balik kokohnya dinding istana Altasia, terdapat sebuah gazebo kecil tersembunyi yang dikelilingi taman dengan tampilan indah nan cantik. Di dalamnya, terduduk seorang pria tampan bersurai pirang kecoklatan, tengah memejamkan mata.
Setelah beberapa saat tidak ada pergerakan apapun, tiba-tiba kelopak mata pria tersebut perlahan terbuka, menampilkan netra coklat tajam yang memikat.
Pandangannya memindai ke sekitar, tatapan sendu tersisip kala penglihatannya meninjau keindahan taman bunga di sekitarnya.
Taman bunga, peninggalan sang ibu.
Alexander hanya bisa menghela nafas panjang kala merasakan sudut matanya memanas. Perasaan sakit yang teramat dalam terasa menjalar memenuhi dadanya.
"Sebentar lagi, aku janji sebentar lagi semua dendam ini akan terbayarkan!"
☘️*******☘️
"Bangun, bangunlah ... "
Tepukan berulang yang pelan, Valencia lakukan pada tunangannya. Jari lentik gadis itu sesekali membelai pelan wajah sang Duke. Tatapan sendu terselip, membayangi netra merahnya yang indah.
Tak seperti biasanya, Hugo kali ini tertidur dengan begitu lelap, membuat Valencia menyadari betapa melelahkan tugas yang pria itu emban, ditambah dengan beratnya beban pikiran tentang rencana pembalasan.
Nona Adelaine itu hanya bisa memejamkan mata dengan lenguhan nafas panjang.
"Ada apa?" bariton pelan terdengar menenangkan. Valencia tiba-tiba merasakan rengkuhan hangat yang mulai menyelimuti tubuhnya. Hugo memeluknya dengan begitu lembut, mendekap gadis itu dengan erat.
Nona Adelaine itu barangkali tidak menyadari bahwa sang Duke sudah membuka matanya dan melihat semua tingkah kecilnya.
"Ceritakan padaku, ada apa?" Nada khawatir terdengar begitu kentara dari bariton pria itu. Lengan kekarnya bergerak mengelus untaian rambut sang tunangan.
Membalas pelukan Hugo, Valencia semakin menenggelamkan tubuhnya dalam rengkuhan hangat sang tunangan.
"Aku hanya takut kau terlalu kelelahan karena bekerja," ujar Valencia pelan, menyampaikan kegelisahan yang menghampirinya.
Hugo hanya diam, tak memberi tanggapan. Tapi di sisi lain, pria itu tersenyum kecil kala mengetahui kekhawatiran Valencia terhadapnya.
Perlahan, mereka berdua mengurai tautan pelukan. Kedua pasangan itu saling berhadapan dan menatap satu sama lain, mengunci atensi mereka masing-masing.
"Baiklah, bagaimana kalau sekarang kita bersiap-siap? Bukankah sudah waktunya?" ungkap sang Duke menatap hangat tunangannya.
"Kau benar, ini sudah waktunya!"
☘️*******☘️
"Sungguh langka, jarang sekali kau ingin berbicara secara empat mata seperti ini denganku, Alexander."
Sang Raja duduk dengan bosan di kursi ruang kerjanya. Entah kepentingan mendadak apa yang ingin putranya itu bicarakan di tengah malam seperti ini.
Sementara itu, Putra Mahkota hanya diam, tak berniat untuk membalas ocehan ayahnya. Alexander kini hanya fokus menyesap teh hangat, mengusir dinginnya suhu malam yang mencekam.
Raja Ferdinand menghela nafas panjang melihat tingkah putranya. Sikap dingin dan cuek Alexander lah, yang membuat sang Raja sulit untuk membangun hubungan harmonis antara ayah dan anak.
"Jadi apa yang sebenarnya kita tunggu?" tanya Raja Ferdinand dengan raut wajah yang kentara dari biasanya. Tidak ada lagi wajah cerah yang selalu terpancar, hanya ada tatapan tajam yang mengintai. Aura seorang pemimpin juga terasa menguar dan menyebabkan tekanan tersendiri bagi Alexander.
"Jangan membuang waktu berhargaku untuk omong kosong!" Oke, kali ini Raja Ferdinand cukup serius dengan ucapannya. Waktu istirahat sang Raja hanya sekitar empat jam perhari, wajar jika paruh baya itu marah karena waktunya terpotong sia-sia.
"Sebentar lagi, sebentar lagi mereka akan tiba, jadi mohon Yang Mulia Raja untuk bersabar." Alexander terpaksa menurunkan egonya demi menenangkan emosi Raja Ferdinand yang mulai menguap.
Suasana kemudian hening, Raja Altasia itu kini menyibukkan diri dengan membaca beberapa surat kabar untuk menghilangkan kantuk yang kian melanda.
Berbeda dengan Sang Putra Mahkota yang kini duduk dengan tenang dan masih menyesap teh hangatnya yang nikmat.
☘️*******☘️
Dalam gelapnya lorong Istana Altasia, terlihat sesosok berjubah hitam yang tanpa ragu melangkah menyusuri kelamnya malam. Surai merah terlihat menyembul di balik tudung jubah yang dikenakannya. Itu Kevin, sang Ajudan setia Putra Mahkota.
Kevin seketika berhenti, kepalanya berbalik untuk memastikan tak ada siapapun yang mengikutinya. Setelah beberapa saat, pria itu kemudian melanjutkan kembali langkahnya.
Sang Ajudan terus melaju, tak lama kemudian, Kevin menghentikan lagi langkahnya. Pria tampan berambut merah itu hanya berdiri diam, kedua tangannya mengepal di samping tubuh.
Tanpa aba-aba, sesosok jubah hitam lain datang entah dari mana. Kevin dengan insting tajamnya seketika mengayunkan tendangan sekuat tenaga. Khawatir jika sosok tersebut mengancam kelancaran rencana sang Tuan.
Di sisi lain, sosok tersebut juga tak kalah gesit menahan tendangan sang Ajudan Putra Mahkota itu. Mengurangi dampak destruktif yang bisa ditimbulkan, karena bagaimanapun serangan yang dikeluarkan oleh Kevin tidak main-main akibatnya.
"Refleks yang bagus!" kalimat pujian itu terdengar dari si sosok misterius, seiring dengan gerakan lengannya yang membuka tudung jubah, menunjukkan jati diri dan identitas.
Kevin terbelalak kala melihat netra hijau yang familiar. Pria berambut merah itu lantas menarik kembali tendangannya dan menurunkan kewaspadaan yang mendera hatinya beberapa saat lalu.
"Sudah sampai ternyata, Saya kira Anda akan datang bersama dengan mereka."
☘️*******☘️
Haiiiii~ apa kabarnya kalian semuaa?? 😆 rindu banget sumpahhhh😉 semoga sehat selalu deh^_^
Bentar lagi gesss! Bentar lagiiii!!!🤩
Gimana nih menurut kalian sejauh ini?? Author nyadar kok ada beberapa part yang pas diketik tuh author-nya lagi nggak mood, jadi gitu deh berantakannn 😥 maaf banget 😫
Jadii, kalo ada typo atau apapun itu jangan segan yaa, nanti author catet buat bahan revisi, makasihh;-)
Udah segitu dulu aja kali ya😌 ketemu lagi di next chapter yaa byeee~☘️
Next bisa yukkk!
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Adelaine's Revenge [HIATUS]
FantasySorak-Sorai yang penuh dengan cacian bergema di setiap penjuru Kerajaan Altasia. Semua orang berkumpul hanya untuk menyaksikan kematiannya. 'Wanita hina!!' 'Bunuh dia!!' 'Sampah Altasia pantas mati!!' 'Akhirnya kematiannya tiba!' Di tengah kerumunan...