☘️~Happy reading~☘️
Dengan berat hati, Sang Raja kemudian meminta Duke Fluternd untuk menghadap. Pria bermahkota itu tau bahwa ini bukan keputusan yang bijak, mengingat sang Duke tidak sedang dalam kondisi yang baik.
Hugo hanya menghela nafas panjang. Dalam kondisi apapun, mau tidak mau perintah sang Raja harus dipenuhi. Sebelum melangkahkan kakinya menuju tempat sang Raja, pria itu menatap Valencia untuk sesaat dan menganggukkan kepalanya pelan.
Melihat tunangannya kian berjalan jauh menjauhinya, Valencia lantas menghela nafas panjang seraya memejamkan kedua mata, berharap semuanya berjalan baik dan kejadian di masa lalu tidak terjadi lagi.
"Hormat saya, Yang Mulia Raja," ujar Hugo saat pria itu telah sampai di hadapan sang Raja Altasia.
"Duke Fluternd, apakah kau bersedia memberikan kesaksianmu sekarang juga di sini atas peryataan dari count Adamantine?" tanya Sang Raja tanpa ragu, dalam hatinya pria tua itu merasa bersalah telah melakukan hal ini pada Hugo yang masih belum pulih dari lukanya.
"Sebuah kehormatan saya, Yang Mulia." Hugo menarik nafasnya panjang sebelum menyetujui.
Sang Raja kemudian menganggukkan kepalanya pertanda mempersilahkan sang Duke berbicara.
"Saya akan memberikan kesaksian saya atas pernyataan yang diucapkan oleh count Adamantine," ujar Hugo, menyatakan dengan jelas bahwa pria itu tidak akan membeberkan semua kesaksiannya.
Terjadi keheningan sebentar sebelum sang Duke kembali melanjutkan kesaksiannya.
Valencia menyaksikan semuanya dengan cermat dan teliti. Untuk saat ini, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Perhatian gadis itu kemudian teralihkan pada sebuah pohon yang tinggi, netra merahnya tiba-tiba terbelalak kaget ketika menyadari sesuatu.
"Bahaya!" ucap gadis itu dengan panik.
"Di saat penyerangan itu terjadi kepada Yang Mulia Putra Mahkota, saya melihat para pelaku ... "
"Awas!!"
Grepp!
Sebuah teriakan tiba-tiba terdengar oleh Hugo, seiring dengan dekapan hangat yang dirasakan pria itu di punggungnya.
Jlebbb!
Tak lama setelahnya, terdengar lagi suara mengerikan yang sangat dikenali oleh pria itu. Suara ujung besi yang mengoyak menembus daging!
"Lindungi Sang Raja!" teriak pemimpin pasukan diikuti kehebohan karena penyerangan tiba-tiba yang terjadi lagi.
Dengan hati gundah dan gelisah, Hugo membalikkan tubuhnya ketika menyadari bahwa seseorang sudah melindunginya dari terjangan anak panah, sang Duke berharap bahwa itu bukan seseorang yang dikenalnya.
Namun ...
Dengan gemetar sang Duke menahan tubuh tunangannya yang hendak ambruk dengan sebuah anak panah menancap dipunggung gadis itu.
"Kenapa?" tanya Hugo menahan sesak di dadanya seraya memeluk tubuh Valencia yang sudah lemas tidak bertenaga.
"Kau ... ceroboh," lirih gadis itu sebelum tidak sadarkan diri.
Sang Duke dengan cepat dan tergesa-gesa berlari menggendong tunangannya menuju kemah kesehatan.
"Maafkan aku, kumohon bertahanlah!" ujar sang Duke dengan suara parau. Bodoh! Dia sangat bodoh! Bagaimana mungkin dia tidak menyadari apapun? Karena kebodohannya, tunangannya terluka, dasar Duke bodoh!
Dalam setiap langkahnya, pria itu berkali-kali mengucapkan permohonan maaf, berharap dengan hati kecilnya bahwa sang tunangan akan segera pulih setelah menerima permintaan maafnya.
Beberapa orang berbaju putih langsung saja menghampiri keduanya ketika sang Duke sudah hampir sampai di kemah kesehatan.
Mereka dengan segera memindahkan tubuh lemas gadis itu pada sebuah brangkar, dan sebelum benar-benar membawanya masuk, salah seorang dari mereka melihat anak panah yang tertancap di tubuh gadis itu dan segera menyadari sesuatu.
Sementara lainnya, masuk ke dalam membawa Valencia yang disusul oleh sang Duke. Seorang tadi segera saja berlari menghampiri sang Raja yang kini tengah berada di balik perlindungan formasi prajuritnya.
"Hormat Yang Mulia Raja," pria itu sampai di hadapan sang Raja dengan terengah-engah.
Awalnya, para prajurit mengacungkan senjata mereka, bersikap waspada mengingat tragedi yang baru saja terjadi.
"Apa tujuanmu?" tanya sang pemimpin pasukan setelah mengenali pakaian putih khas tenaga kesehatan yang dikenakan oleh pria tadi.
"Yang Mulia, saya ingin mengatakan sesuatu," ujarnya, melemparkan pandangan sesaat pada Ratu Senna dan Count Adamantine yang masih dijegal oleh prajurit.
Sebelum melanjutkan perkataan yang sempat tertahan, terlihat pria itu menelan ludahnya susah payah dengan bercucuran keringat dingin dari dahinya.
"Saya ... " seakan ragu, pria itu kembali menatap Ratu Senna untuk sesaat dengan pandangan goyah.
"Saya melihat lambang keluarga Adamantine pada anak panah yang menancap di punggung Nona Adelaine," lanjutnya dengan sekali tarikan nafas.
Sontak saja pernyataan yang tiba-tiba itu mengejutkan semua orang, termasuk sang Raja.
"Tangkap dan bawa Adamantine itu ke penjara, sekarang!" lantang sang Raja dengan menggebu-gebu. Sepertinya pria bermahkota itu sudah muak dengan tingkah sang Count.
"Tidak! Ini fitnah!" teriak Delon tak kalah histeris, menolak pernyataan bahwa dialah yang bersalah atas semua hal ini.
"Saya tidak bersalah Yang Mulia! Saya bukan pelakunya!" raung Sang Count tanpa henti, menolak keras tuduhan palsu ini.
Sementara itu, disaat fokus semua orang teralihkan pada Delon yang meronta-ronta. Pria berbaju putih tadi hanya tertunduk diam dengan tubuh gemetar, menatap kosong ke bawah dengan jantung yang berdetak dengan tempo cepat.
"Aku pasti sudah gila," lirihan itu terdengar sangat pelan, hampir menyerupai bisikan.
Dan di suasana kacau itu, tanpa disadari oleh siapapun, seseorang tersenyum dengan begitu sumringah, seakan bangga dengan apa yang sudah dia lakukan.
☘️*******☘️
Haii~ apa kabar kalian semuaa?? Kangen banget author sama kalian🤩
Maaf ya kalo belum bisa jadi penulis yang baik dan konsisten buat update cerita ini😭 Soalnya emang susah banget-nget nemu waktu buat nulis ini cerita😥
Oh iya, typonya ya kalo nemu😉 menurut kalian chapter ini gimana? Ada saran kah? Atau kritik? Author terima dengan senang hati💚
Yaudah deh byee~☘️
Next-nya jangan lupa😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Adelaine's Revenge [HIATUS]
FantasySorak-Sorai yang penuh dengan cacian bergema di setiap penjuru Kerajaan Altasia. Semua orang berkumpul hanya untuk menyaksikan kematiannya. 'Wanita hina!!' 'Bunuh dia!!' 'Sampah Altasia pantas mati!!' 'Akhirnya kematiannya tiba!' Di tengah kerumunan...