☘️~Happy reading~☘️
Di suatu malam yang diiringi derasnya hujan dan kencangnya terpaan badai. Terdapat suatu bangunan megah yang berdiri kokoh di tengah rimbunnya pepohonan rindang.
Di dalam sebuah ruangan di sana, terbaring seorang anak bersurai hitam. Kelopak matanya kemudian terbuka, manakala mendengar suara keributan yang menghampiri telinganya.
Netra biru yang indah itu kemudian memandang ke jendela, menampilkan kegelapan yang disertai amukan badai dan hujan di luar kediamannya.
"Di luar sana masih gelap, itu artinya matahari belum terbit," gumam bocah kecil itu dengan polos, mengingat pelajaran orang tuanya mengenai siklus siang dan malam.
"Kenapa sangat berisik? Memangnya ada orang yang melakukan kegiatan saat malam hari?" ungkapnya dengan bingung, biasanya keributan seperti ini ia dengar dari aktivitas para pelayan di pagi hari.
"Aku ingin tahu, siapa yang bekerja di malam hari seperti ini." Bocah itu kemudian turun dari ranjangnya dan bergegas keluar memuaskan rasa penasarannya.
Semakin dia berjalan, keributan itu kian keras dia dengar.
"Berisik sekali, kenapa mereka tidak bekerja di pagi hari saja?" gerutu si bocah dengan kesal. Pria kecil itu sesekali mengusap kelopak matanya dengan telapak tangan, menghalau kantuk yang masih tertinggal.
Langkah kecil bocah itu akhirnya mampu mengantarkan dirinya ke anak tangga. Alis tebalnya lantas berkerut sesaat setelah menyadari bahwa sumber keributan itu berasal dari kamar orangtuanya sendiri.
"Apa yang dilakukan oleh ayah dan ibu malam-malam seperti ini?"
Dengan langkah kecilnya, bocah itu akhirnya telah sampai di ujung tangga. Kemudian, dengan perlahan berjalan menuju sumber suara yang sedari tadi membuatnya penasaran.
Keributan itu semakin keras dan jelas ia dengar sesaat setelah tiba di depan daun pintu kamar orangtuanya.
Kriett
Lengan kecilnya dengan perlahan menggeser sedikit papan kayu yang dipenuhi oleh ukiran itu, menghasilkan celah kecil untuk mengintip ke dalam.
Gelap.
Ya, hanya kegelapan yang bisa bocah itu lihat. Netra birunya dengan teliti mencoba melihat sesuatu di dalam kegelapan itu, sekilas si bocah kecil mendapati semacam gerakan-gerakan siluet hitam? Entahlah, yang pasti suara gaduh itu masih jelas terdengar dan kini bertambah dengan getaran-getaran yang seperti disebabkan oleh benturan pada dinding.
Matanya kian menyipit dipenuhi rasa keingintahuan yang besar akan sesuatu yang terjadi di dalam. Lengan kecilnya memegang pintu dan mendorongnya sedikit, berharap dapat menciptakan celah agar ia bisa melihat dengan lebih jelas.
Kilat tiba-tiba menyambar, cahaya birunya yang terang menghalau gelap untuk sesaat.
Bocah kecil itu membulatkan matanya kaget, cahaya dari kilat tadi mampu menunjukkan keadaan yang terjadi di kamar orangtuanya.
Tanpa sadar, kakinya melangkah mundur, lengannya yang memegang pintu tadi seketika secara tidak sengaja membuka pintu tersebut secara penuh, membuat pemandangan di dalam terlihat semakin jelas.
Kakinya terasa sangat lemas, bocah kecil itu akhirnya terjatuh ke belakang, netra birunya kini menampilkan kengerian yang gila, lelehan bening tertahan di ujung pelupuk matanya.
Si hadapannya, berdiri seseorang berpakaian serba hitam dengan membawa sebuah pedang di tangan kanannya dan menenteng sesuatu di tangan kirinya.
Pria itu lantas berdiri menghadap si bocah, mengangkat tangan kirinya ke depan, menunjukkan sesuatu yang membuat bocah kecil itu hampir muntah dan pingsan di tempat.
Sebuah kepala.
Ya, benda bulat yang dipenuhi bercak darah itu adalah sebuah kepala, hanya kepala, yang wajahnya sangat bocah kecil itu kenali. Itu ... adalah kepala ayahnya.
Pria kecil dengan netra biru itu mengalami mual hebat di perutnya, kepalanya terasa sangat pening dan jantungnya kini berdetak dengan sangat kencang, ditambah dengan keringat dingin yang mengalir deras membanjiri tubuhnya.
Orang berpakaian hitam itu lalu menodongkan pedangnya pada si bocah yang masih diam membisu di tempatnya.
Belum sempat orang berpakaian hitam itu melangkahkan kaki, sesuatu tiba-tiba menerjangnya dari samping.
"Cepatlah, pergi dari sini, Hugo!"
"Ibu!" teriak bocah itu secara spontan, iris birunya bergetar hebat, kala melihat sang ibu yang dengan berani mencoba menantang si pria berpakaian hitam.
Zrattt
"Tidakk!"
Zrattt
"Berhenti! Jangan! Aku mohon!" Hugo kecil terus menangis meratapi pemandangan di hadapannya.
Sayangnya, perjuangan wanita itu tidak berlangsung lama. Dengan tanpa kesulitan, si pria berpakaian hitam menebas satu persatu anggota tubuhnya, mulai dari kepala sampai kaki, menyisakan tubuh termutilasi bersimbah darah.
Setelahnya, orang berpakaian hitam itu melemparkan pedangnya ke sembarang arah. Kedua lengan itu kini menenteng masing-masing kepala dari orang tua si bocah, bibirnya perlahan membentuk lengkungan, menciptakan senyuman paling mengerikan yang pernah ada.
☘️*******☘️
"Tidak!" Netra biru gelap itu tiba-tiba terbuka. Hugo terbangun dengan nafas tersenggal dan keringat dingin yang membasahi pelipisnya.
"Mimpi itu ... lagi," gumamnya pelan dengan raut frustasi.
"Kau baik-baik saja?" tanya suara lembut yang familiar itu. Hugo dengan cepat menoleh ke samping, matanya kembali membulat mendapati kehadiran seseorang yang selalu membayangi pikirannya akhir-akhir ini.
"Valencia?" ujarnya, menatap tidak percaya akan kehadiran gadis itu.
Sang Duke lalu dengan cepat meraih pinggang tunangannya dan mendudukkan gadis itu di pangkuannya. Memeluk erat Valencia dan menenggelamkan wajahnya di bahu mungil gadis itu.
"A-apa ini? Apa yang kau lakukan?!" tanya gadis berambut putih itu dengan panik dan kebingungan akan tingkah aneh Hugo.
"Kau sudah sadar?" Bariton sang Duke yang teredam di bahu Valencia. Suara beratnya yang khas terdengar di telinga gadis itu.
"I-iya, beberapa saat yang lalu," jawab Valencia dengan kikuk, wajah nona muda itu memerah kala merasakan rengkuhan tunangannya yang bertambah erat.
"Jangan tinggalkan aku." Kalimat singkat itu tiba-tiba terucap dari sang Duke dengan tidak terduga, membuat Valencia sedikit tersentak saat mendengarnya. Sontak saja rona wajah gadis itu semakin memerah sehingga tak ada bedanya dengan kepiting rebus, dia sangat malu!
"Tentu, aku akan selalu bersamamu," balas Valencia dengan wajah bersemu yang masih belum padam. Entah kenapa kata-kata itu terlontar begitu saja dari bibirnya. Membuat Valencia merasa aneh dan heran kepada dirinya sendiri. Sialan, rasa malunya semakin bertambah.
☘️*******☘️
Haiii readers~ Gimana keadaan kalian di bulan Oktober yang indah dan penuh keceriaan ini? Hihihi
Maaf ya alurnya agak lama, pengen banget tamatin cepet😤 author usahain deh ya, soalnya pengen buat cerita lain juga😥
Oh iya, maaf ya kalo chapter ini cringe atau aneh atau garing gitu 😭 sekali lagi maaf banget ya:'(
Author juga minta maaf karena gak bisa up panjang-panjang buat tiap chapter-nya😭
Kalo ada typo atau apa kasih tau aja ya jangan sungkan😆 saran sama masukan juga buat cerita ini.
Oke deh segitu aja dulu, byeee~☘️
Next dong!
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Adelaine's Revenge [HIATUS]
FantasySorak-Sorai yang penuh dengan cacian bergema di setiap penjuru Kerajaan Altasia. Semua orang berkumpul hanya untuk menyaksikan kematiannya. 'Wanita hina!!' 'Bunuh dia!!' 'Sampah Altasia pantas mati!!' 'Akhirnya kematiannya tiba!' Di tengah kerumunan...