☘️~Happy reading~☘️
Setelah kepergian sang Duke, Valencia hanya ditemani oleh keheningan. Netra merahnya yang menawan menatap hamparan langit jingga di atas sana, hembusan angin meniup helaian rambut putihnya.
Tiba-tiba, gadis itu merasakan sebuah mantel terlampir di bahunya, membuatnya seketika menoleh untuk menemukan siapakah gerangan yang sudah melakukannya.
"Apa yang sedang kau lakukan di sini, Putriku?" tanya Hendry, ternyata sang ayah lah yang memasangkannya mantel.
Gadis itu kemudian tersenyum kecil menatap Hendry. "Hanya sedang menikmati angin sore."
"Hari sudah mulai petang, angin malam tidak baik untuk kesehatanmu, segera lah masuk," nasihat sang ayah pada Valencia yang kini melebarkan senyumnya.
"Ayah bisa masuk lebih dulu, aku akan menyusul," balas gadis itu kembali mengalihkan pandangannya pada sang mentari yang kini mulai tenggelam di ufuk barat.
Sang Marquess memandang putrinya dengan tatapan sendu. "Maafkan Ayah, apa kau tertekan dengan pertunangan?"
Mendengar itu Valencia lantas menggeleng keras. Tentu saja pertunangan ini tidak memberatkan dirinya, justru sebaliknya. Lagipula, gadis itulah yang terlebih dahulu menawarkan pertunangan ini pada sang Duke.
"Tidak Ayah, bukan seperti itu! Aku sama sekali tidak keberatan dengan pertunangan ini."
"Benarkah?" tanya pria paruh baya itu menatap putrinya dengan tatapan ragu, seakan tidak percaya ucapan gadis itu.
"Tentu saja, lagipula Tuan Duke tidak seburuk itu, dia pria dengan sikap yang baik, dan wajahnya juga cukup tampan," Valencia berujar dengan senyum lebar, berusaha terlihat seperti seorang gadis yang sedang kasmaran.
"Ya, dia pria yang baik. Orangtuanya adalah sahabat dekat Ayah, kau tahu Valencia? Bahwa sebelum kalian berdua lahir, kami memang berencana untuk menjodohkan kalian berdua," ucap Hendry menerawang, mengingat kembali kenangan masa mudanya.
"Benarkah? Aku baru mengetahuinya," tanya gadis itu bingung. Di kehidupan pertamanya, tidak ada satupun orang yang membahas hal ini, pun sang Duke sudah lebih dulu disingkirkan oleh Ratu Senna.
"Ya, Ayah memang tidak berniat untuk menceritakan hal ini padamu ataupun Hugo setelah insiden mengerikan itu terjadi," ujar Hendry dengan sorot sayu.
"Insiden?" gumam Valencia yang terdengar oleh sang ayah.
"Ya, kejadian yang merenggut sahabat Ayah, juga kejadian yang menyebabkan Hugo menjadi yatim-piatu di usia belia." Sang Marquess memandang langit dengan pandangan mengembun.
Valencia hanya diam dan terus mendengarkan, membiarkan sang ayah tenggelam dalam kenangan memori lama.
"Ayah tidak bisa membayangkan, kehidupan kelam yang bocah kecil itu alami setelah kematian orangtuanya, tumbuh tanpa kasih sayang, bertahan hidup menghadapi dunia yang kejam, dia pria yang tangguh."
Sang Marquess tidak bisa membayangkan, jika insiden mengerikan itu juga terjadi menimpanya, apa yang akan terjadi dengan anak-anaknya kelak?
Mendengarkan cerita ayahnya, Valencia merasa hatinya mencelos. Nasib sang Duke benar-benar menyedihkan, apalagi setelah mengetahui bahwa di kehidupan pertamanya Hugo mati dengan ketidakadilan, bahkan setelah kematiannya pun, pria malang itu difitnah dengan keji sebagai pemberontak.
Melihat putrinya hanya diam dan termenung, Hendry lantas berucap. "Ayah menceritakan ini, karena bagaimanapun juga besok kau akan pergi untuk menyusul calon suamimu di kediamannya, Ayah harap kau bisa tahu bagaimana caramu bersikap pada tunanganmu, mengerti?"
Valencia menghela napasnya panjang sebelum tersenyum kepada ayahnya. "Tentu, aku mengerti, Ayah."
"Kenapa? Apa ada hal lain yang mengganggumu, Putriku?" Melihat keresahan gadis itu, Hendry lantas bertanya.
"Tidak hanya saja ... " Valencia tidak melanjutkan kembali ucapannya, sudut matanya mulai mengembun, dadanya sesak dibaluti kesedihan.
Bruk
Gadis itu menabrakkan tubuhnya pada sang Ayah, memeluk Hendry dengan erat dan mengeluarkan lelehan cairan bening dari kedua sudut matanya, terisak mengeluarkan semua kesedihannya.
"Kenapa kau menangis, Valencia?" tanya Hendry setelah membalas pelukan gadis itu, mengelus kepalanya penuh kasih sayang sebagai seorang ayah.
"Aku hanya tidak siap untuk pergi meninggalkan keluargaku," ujar gadis itu disela tangisnya, membuat sang ayah kembali mengeluarkan embun kesedihan di sudut matanya.
Pertunangan yang terjadi di antara bangsawan, mengharuskan agar pihak perempuan untuk tinggal di kediaman calon suaminya sampai pernikahan dilaksanakan. Walaupun tidak ada aturan khusus, tapi ini semua sudah menjadi semacam tradisi para bangsawan di Altasia.
Hal inilah yang mendasari rencana Valencia untuk mengajukan pertunangan pada sang Duke. Gadis itu berharap, keputusannya akan menjauhkan keluarganya dari ancaman musuh, menggunakan dirinya beserta sang Duke sebagai perisai yang menahan semua serangan musuh.
Tapi setelah secara tidak sengaja mendengar pembicaraan ayahnya bersama Hugo tadi, Valencia menjadi ragu akan rencananya sendiri, gadis itu merasa tidak tenang jika harus meninggalkan keluarganya di saat seperti ini.
"Jangan seperti ini, Hugo adalah pria yang baik, dia pasti akan mengijinkanmu untuk berkunjung sesekali kemari," Hendry menepuk kepala putrinya, berusaha menenangkan gadis itu yang kini terisak semakin keras.
"Sudahlah, berhenti menangis, kau sebentar lagi akan menjadi tunangan seorang Duke, semua orang akan menertawakanmu jika mereka tahu keadaanmu sekarang," canda sang Marquess berusaha mencairkan suasana.
Mendengar ucapan sang ayah, senyum kecil kemudian terbit di bibir gadis itu. Perlahan, Valencia melepaskan pelukannya dan menatap Hendry dengan senyuman secerah mentari.
Sang Marquess kemudian menjulurkan sebelah tangannya dan menghapus cairan bening yang menggenang di sudut mata putrinya itu.
"Putri Ayah tidak boleh menangis lagi, mengerti?"
"Aku pasti akan sangat merindukan Ayah," ujar gadis itu sebelum memeluk ayahnya sekali lagi.
"Sudah-sudah, bagaimana kalau temui kedua saudaramu? Kalian tumbuh besar bersama, bagaimanapun kalian harus membicarakan hal ini, bukan?" usul Hendry setelah gadis itu melepaskan pelukan mereka.
"Tentu, aku akan mengunjungi mereka."
Ayahnya benar, Valencia memang harus membicarakan semua ini bersama kedua saudaranya, terlebih setelah melihat raut masam Arthur saat dirinya menyetujui lamaran ini.
☘️*******☘️
Hoiii~ author kambek nih! Gimana kabarnya? Semoga sehat selalu🥺 Maaf ya jadi jarang update, soalnya lagi sibuk di rl😩😩
Biasanya satu chapter tuh, bisa ngabisin sekitar dua hari, itupun pas waktu luang😌😌
Kalo ada typo kasih tau ya😉 author menerima segala saran dan kritik atas cerita ini, kalo sekiranya ada pertanyaan drop di komen aja ya, ntar author sempetin buat jawab hehe😅
Yaudah deh, segitu aja dulu, ketemu lagi di next chapter bye~☘️
Next pasti?🤣
KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Adelaine's Revenge [HIATUS]
FantasySorak-Sorai yang penuh dengan cacian bergema di setiap penjuru Kerajaan Altasia. Semua orang berkumpul hanya untuk menyaksikan kematiannya. 'Wanita hina!!' 'Bunuh dia!!' 'Sampah Altasia pantas mati!!' 'Akhirnya kematiannya tiba!' Di tengah kerumunan...