Page 56 : Coalition

25.5K 3.3K 98
                                    

☘️~Happy reading~☘️

"Sesuai dugaan anda, Yang Mulia." Netra biru gelap milik Duke Fluternd mengawasi gerak-gerik sang Putra Mahkota yang sedang duduk di kursinya.

Dapat Hugo lihat, Alexander menghela nafas pelan setelah mendengar ucapannya. Membuatnya mendapatkan suatu kesimpulan.

"Wanita itu benar-benar ingin menyingkirkanku ya," ujar pelan Pangeran pertama Altasia itu. Kepala pria itu tertunduk, sebelah lengannya terangkat memegang sisi wajah, menggambarkan rasa pening yang melanda.

"Jadi, bagaimana Yang Mulia?" tanya Hugo seraya meminum teh hangat yang memang sudah disediakan untuknya. Segera saja, sensasi pahit dari teh tanpa gula itu menyentuh lidah sang Duke, tak lupa dengan aroma khas daun kering yang menyambut hidung pria itu.

Sang Duke meminta kesediaan sang Pangeran untuk ikut serta dalam meruntuhkan ambisi gila milik Ratu Senna. Tentu saja Hugo juga sudah menjelaskan rencana-rencana yang telah disusun oleh Valencia, juga memaparkan bukti yang didapat olehnya untuk meyakinkan Alexander.

Yah, walaupun awalnya Hugo tidak setuju untuk memberitahukan rencana ini secara gamblang, tapi apa boleh buat, tidak ada pilihan lain. Sekarang Hugo hanya berharap bahwa Alexander akan setuju untuk berpihak kepada mereka, seperti kata Valencia sebelumnya.

Sang Duke hanya khawatir jikalau Alexander tidak tertarik dengan rencana mereka dan berakhir dengan membeberkan rencana tersebut pada Ratu Senna.

Memang terdengar mustahil jika dipikir-pikir lagi. Tapi tetap saja, apa salahnya untuk bersikap waspada?

"Satu hal yang ingin kutanyakan." Alexander mendongak menatap lurus netra biru sang Duke. Mata sang Putra Mahkota memancarkan keseriusan yang dibalut rasa penasaran.

"Silahkan, Yang Mulia," balas Hugo setelah meletakkan kembali cangkir berisi teh hangat miliknya ke atas meja. Isi kepala pria itu sekarang tengah memproses jawaban-jawaban yang tersedia seraya memprediksi pertanyaan yang ingin dilontarkan Alexander.

"Kenapa, rencana ini harus dilakukan secara tertutup dan diam-diam? Bukankah akan lebih baik jika kita membongkarnya secara langsung agar seisi kerajaan ini tahu?" tanya Alexander, mengungkapkan alasan dari rasa penasarannya kini.

"Kami merencanakannya bukan tanpa alasan, Yang Mulia," balas Sang Duke menatap Putra Mahkota dengan sorot tak terbaca, raut datar itu tidak hilang dari wajah tampannya.

"Jika kebusukan Ratu Senna diketahui oleh seisi kerajaan, tentu para bawahannya tidak akan diam saja, hal itu bisa berujung pada konflik yang serius."

"Peperangan dan kudeta?" lanjut Alexander, mulai paham dengan alur perencanaan yang sudah dikemukakan oleh sang Duke.

Hugo mengangguk setuju, sedikit takjub dengan cara berfikir cepat sang Pangeran dalam memahami situasi.

"Faksi milik wanita itu terlalu kuat, sulit untuk menantangnya secara langsung dan terang-terangan." Hugo kembali meneguk teh hangat miliknya, membasahi tenggorokannya yang mulai kering setelah mengeluarkan banyak kata.

"Jadi, dapat kusimpulkan bahwa rencana ini dilakukan secara diam-diam untuk menghindarkan Kerajaan dari potensi krisis internal yang mengancam." Sungguh, rencana ini pasti sudah dibuat dengan penuh perhitungan juga pertimbangan, membuat Sang Putra Mahkota itu berdecak kagum!

"Tepat sekali, Yang Mulia." Hugo mengangguk kecil menyetujui simpulan akhir yang disampaikan sang Pangeran.

"Sungguh di luar perkiraanku," gumam kecil Alexander yang masih dapat didengar oleh lawan bicaranya. Sang Pangeran seperti tengah menimang-nimang keputusan akhir yang akan dibuat.

"Sepertinya, anda masih membutuhkan waktu ... " Hugo berdiri dari kursinya, pria itu sedikit mencuri pandang ke arah mentari yang kini sudah berada di pucuk kepala, menandakan telah memasuki waktu siang.

"Saya akan dengan senang hati menunggu keputusan anda, Yang Mulia Putra Mahkota, secepatnya." Sang Duke melakukan courtesy kepada Alexander, menunjukkan penghormatannya pada putra Raja Ferdinand itu.

"Saya harap, anda dapat membuat keputusan yang bijak." Hugo menatap dingin pada Alexander sebelum benar-benar pergi meninggalkan pria itu.

"Apa dia baru saja mengancamku?"

☘️*******☘️

"Lama tidak berjumpa, paman Delon." Valencia berdiri tegap di depan jeruji besi itu, menatap dengan dingin sesuatu dibaliknya.

"Paman? Panggilan yang sungguh lucu," timpal suara berat milik sang Count Adamantine itu. Oh! Ataukah harus kita panggil calon mantan Count?

"Sungguh menyedihkan," ejek Nona Adelaine itu dengan tampang pongah, hati kecilnya tertawa melihat kondisi Delon yang mengenaskan.

"Bagaimana rasanya dikhianati oleh majikanmu? Pasti sangat nikmat bukan?" lanjut gadis itu berusaha memantik emosi Delon. Kapan lagi Valencia melihat kehancuran Delon? Terlebih itu bukan disebabkan oleh dirinya. Sungguh sangat menghibur!

"Ironi yang manis, kau terlihat menikmatinya, paman."

"Berhenti memanggilku seperti itu, dasar gadis sialan!" Delon menggeram keras setelah membentak gadis di hadapannya itu dengan luapan amarah tak tertahan.

"Astaga, apa kau baru saja membentakku? Aku sangat sedih." Berbanding terbalik dengan ucapannya, bibir gadis itu nyatanya melengkung membentuk seringai mengejek, membuat amarah Delon melonjak tiap kali melihatnya.

"Mati saja kau dasar jalang sialan!" hardik Delon lagi, menatap sang Nona
Adelaine dengan penuh kebencian.

"Bukankah yang akan mati itu, kau?" Valencia menimpali dengan santai. Senyuman mengejek yang tadi terpatri di wajahnya kini luntur, berganti dengan sorot dingin nan tajam yang gadis itu lemparkan dengan netra merahnya.

Tak disangka, Delon malah tertawa terbahak-bahak. Pria itu seperti sudah kehilangan kewarasannya.

"Ya, aku akan mati menyusul Ayahmu yang bodoh itu!" ujar paruh baya itu disela tawanya yang membahana.

Tiba-tiba, tawa Delon berhenti begitu saja. Pria itu menatap bingung pada gadis di hadapannya yang kini terkikik geli memegang perutnya. Ini bukan reaksi yang diharapkannya!

"Lucu sekali, kau pikir ayahku sudah mati?" tanya Valencia dingin, netra merahnya menatap rendah pada pria di hadapannya itu, membuat Delon sedikitnya merasa terintimidasi.

"A-apa?" Delon menatap Nona Adelaine itu dengan tampang kosong, matanya membulat terbelalak kala menyadari sesuatu. Sial! Rencananya gagal.

Melihat sikap gadis di hadapannya kini, Delon ragu bahwa rencana pembunuhan yang telah ia siapkan untuk melenyapkan kepala keluarga Adelaine itu berjalan dengan lancar.

"Pecundang." Valencia menatap puas tampang putus asa yang ditampilkan pamannya itu. Delon saat ini telah menyadari kekalahan telak yang menimpanya.

Pria bodoh yang malang.

☘️*******☘️

Hai~ author balik lagi nihh, kangen gak? Kangen gak? Wkwkwk

Maaf ya, agak telat😥 sibuk bgt minggu ini nyiapin PAS, gk punya banyak waktu luang buat ngerjain kelanjutannya😭 hiks ...

Tapi tenang aja, cerita ini gk bakal berhenti kok😉 yakali udah sejauh ini Author stop gitu aja, kan sayang banget 😙

Hihihi, doain aja ya semoga Author diberi kelancaran dan kemudahan dalam mengerjakan segala sesuatu, termasuk melanjutkan cerita ini tanpa halangan hehe 😆👍

Udah segitu aja dulu yaa, koreksi aja kalo ada typo😉

Byeee~☘️

Next dungss!

Miss Adelaine's Revenge [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang