DIA ELGARA | 11

7.9K 320 11
                                        

Keluarga Raga masih berkumpul di ruang tengah selepas perginya Geladys. Mereka semua beristirahat sekaligus menebak-nebak kenapa bisa dan apa alasannya ada cewek asing yang masuk ke rumah mereka. Mencuri. Pemikiran itu tentu sempat singgah di kepala mereka. Namun hal itu tidak benar karena Geladys terbukti tidak membawa atau mencuri barang apapun dari rumah mereka.

"Apan jadi inget dulu, Ma."

Atensi Elena beralih pada Zafran yang duduk disebelahnya dengan kepala menunduk. Spontan Elena meraih kedua pundak Zafran, menepuknya sebanyak dua kali hingga anaknya itu mengangkat kepalanya.

"Jangan ngomong kaya gitu. Itu dulu, sekarang kamu udah punya mama, papa, abang sama Diva. Ya?"

Tatapan mata Zafran menyorot dalam. Namun kedua sudut bibirnya tertarik sedikit membentuk seulas senyum tipis.

"Ini juga harus kamu jadiin alasan, kenapa kita harus baik hati sama orang yang kurang mampu," tambah Elena.

Kini Zafran mulai tersenyum lebih lebar. Ia merasa menjadi orang yang paling beruntung karena di pertemukan dengan keluarga sebaik ini. Raga dan Elena, pria dan wanita baik hati yang mau mengangkatnya sebagai anak mereka. Dan kini, ia menjadi putra bungsu di keluarga ini.

****

Sangat wajar jika kejadian tadi siang membuat Gara kepikiran sampai malam menjelang tidur. Kini Gara tiduran dengan pikiran berkecamuk diatas ranjang kamarnya. Matanya terus menatap langit-langit kamar dengan pandangan bingung. Tadi ia sampai di marahi habis-habisan oleh Elena karena teledor tidak mengunci pintu rumah sampai membuat orang asing masuk. Walaupun tadi Geladys terbukti tidak mengambil atau mencuri barang apapun dari rumah mereka.

Gara merubah posisi tidurnya jadi menyamping menghadap kearah Diva yang sedang fokus dengan buku-buku tulis kosong bekas Gara kelas XI.

"Va," bisik Gara pelan.

Diva menoleh sekilas.

Raut wajah Gara berubah kesal. Respon Diva terlalu cuek. Namun terkadang Diva memang selalu seperti itu. Anak berusia dua setengah tahunan itu lebih banyak memasang raut wajah cuek jika sedang bermain sendirian, atau tidak sedang diajak bicara oleh orang lain. Mulutnya mengoceh sendiri, namun tatapannya hanya datar.

"Lo cantik, Va," puji Gara.

Tapi respon Diva tetap sama.

Gara tertawa. "Mirip bidadari," ujarnya.

Jujur saja Gara sangat mengakui bagaimana indahnya pahatan wajah Diva yang terlihat sempurna. Mata bulat, hidung kecil dan bentuk bibir tipis yang sama dengan Gara. Wajahnya juga bulat, dan cara matanya menatap sesuatu pun persis dengan Gara.

Terkadang Gara merasa egois. Seluruh bentuk wajah Diva hanya menurun darinya, dia tidak mau pahatan wajah itu disamakan dengan orang lain.

Terutama wajah ibu dari Diva. Gara membencinya. Dia tidak mau Diva memiliki wajah yang mengingatkannya pada sosok perempuan yang mengkhianatinya.

Gara menghela nafas. Pemikiran itu selalu singgah dipikirannya hampir tiap malam. Padahal sudah dua tahun lamanya waktu yang Gara habiskan untuk melupakan masa itu. Tapi bayangannya seakan sudah melekat di pikiran Gara tanpa bisa digantikan oleh siapapun. Terutama dengan hadirnya Diva yang menemani Gara.

Gara menyentuh sebelah pipi chubby Diva sambil tersenyum. "Menurut lo, lo cantik mirip siapa?"

"Milip babi," jawab Diva.

Gara cengo. "Kok babi sih?!"

"Ya nda tau lah. Ipa mau aja milip babi."

Speechless.

DIA ELGARA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang