DIA ELGARA | 09

7.8K 313 5
                                        

Setelah menyerahkan uang berjumlah enam ribu rupiah kepada tukang ojek, Gara segera turun dari motor tersebut lalu membuka gerbang rumahnya yang tidak dikunci. Lain kali jika Gara bertemu dengan tukang ojek barusan, ingatkan dia untuk memberikan uang lebih atas tanda terima kasih padanya.

Tadi, Gara sama sekali tidak bisa menghubungi ayah atau ibunya dengan ponsel. Jadi dia memutuskan untuk menaiki ojek. Namun uangnya hanya tersisa enam ribu rupiah saja. Tapi untungnya tukang ojek yang satu ini baik hati dengan tetap memberi Gara tumpangan dengan dibayar enam ribu saja walaupun menempuh jarak yang lumayan jauh.

Barusan Gara juga tidak bisa menahan tukang ojek itu sebentar untuk memberi uang lebih karena beliau buru-buru untuk segera melaksanakan shalat Jum'at. Jadi, ingatkan Gara lain kali.

Begitu Gara masuk ke halaman rumahnya, pemandangan pertama yang ia lihat adalah Diva sedang bermain dengan alat masak-masakan sambil duduk lesehan diatas rerumputan sendirian.

"Papa." Anak itu menoleh sekilas memberi senyum pada Gara, lalu fokus kembali pada mainannya.

Gara balik tersenyum tipis. Sebenarnya ia beberapa kali selalu heran ketika melihat Diva yang sedang bermain sendirian. Anak itu jarang tersenyum bahkan lebih banyak memasang ekspresi cuek. Berbicara sendiri, namun wajahnya tidak tersenyum sama sekali. Tapi itu berlaku hanya jika dia bermain sendirian. Jika ditemani orang lain, beda cerita. Dia paling cerewet.

"Ayo masuk rumah!" ajak Gara pada Diva. Khawatir karena bocah itu bermain dibawah terik matahari.

"Janan ajak Ipa!" sentaknya.

"Buset! Lagi badmood ternyata," ujar Gara ngeri.

"Yaudah kalau gitu mainnya di teras, jangan di rumput. Liat, lagi panas terik. Muka lo aja udah merah tuh." Gara menunjuk wajah bulat Diva dengan kulit putih yang sudah memerah karena mungkin sudah terlalu lama berjemur di bawah matahari.

Diva memasang wajah garang. "Papa dalem!" suruhnya sambil menunjuk pintu rumah supaya cowok itu segera masuk ke dalam rumah.

"Iya iya," ujar Gara seraya berjalan meninggalkan Diva sendirian di luar rumah. Jika nanti Diva hilang, jangan salahkan Gara. Salahkan saja orang yang membiarkan Diva bermain sendirian di halaman rumah.

****

Gara berpapasan dengan Elena di tangga rumah menuju lantai dua saat ia hendak naik ke kamarnya. Wanita itu membawa sebuah selimut bergambar Captain America yang seingat Gara itu adalah milik Varo, kakaknya.

"Cepetan mandi, El. Papa kamu sama Zafran aja udah ke masjid," titah Elena. "Tuh dengar. Udah khutbah."

"Iya," balas Gara. Cowok itu lalu menaiki anak tangga dan sampai di depan pintu kamarnya.

"Oh ya, Ma," celetuk Gara membuat Elena yang baru sampai di anak tangga paling bawah itu menoleh ke atas. "Hati-hati Diva dibiarin main sendiri diluar," beritahunya.

"Iya-iya. Lagian Diva emang udah biasa main sendiri di halaman rumah kalau kamu mau tau," balas Elena. Memang saat Gara sekolah, Elena lebih sering membiarkan Diva bermain sendiri dihalaman rumah ketimbang bermain di dalam rumah. Ia takut Diva menjangkau barang-barang tajam ataupun barang-barang yang terbuat dari kaca. Sedangkan dihalaman rumah, hanya ada beberapa tanaman. Dan sekelilingnya di tutup gerbang.

"Yaudah," kata Gara. Lalu ia masuk ke kamarnya dan segera mandi sebentar sebelum berangkat ke masjid.

****

Setelah siap dengan baju koko dan sarung kotak-kotak berwarna biru sebagai bawahannya, beserta peci hitam yang ia simpan di saku baju, Gara segera turun dari kamarnya.

"Ganteng banget bujang mama," puji Elena melihat penampilan alim Gara. Biasanya remaja itu berpenampilan khas berandalan atau anak geng motor dengan memakai celana levi's bolong dibagian lutut dan jaket hitam sebagai atasan.

Wanita itu juga sudah duduk bersama Diva di ruang tengah.

"Iya dong," kata Gara merasa bangga diri. "Kan anak mama ini make prinsip 2A. Alim sama Amburadul."

Elena menyeryit. "Yaudah sana cepetan berangkat. Sebentar lagi adzan tau."

"Yaudah, assalamualaikum," pamit Gara lalu segera keluar rumah untuk mendatangi masjid terdekat.

"Waalaikumsalam."

*****

Seperginya Gara, Elena beranjak menuju dapur untuk membuatkan Diva susu hangat karena anak itu memintanya. Hanya butuh waktu lima menitan bagi Elena untuk membuatkan Diva susu hangat yang langsung di pindahkan ke dalam sebuah botol minum anak, lalu ia membawanya kembali ke ruang tengah.

Tau-tau ternyata Diva sedang memakan sebuah permen lolipop berwarna hijau yang entah sejak kapan ada ditangannya. Spontan Elena buru-buru mendekatinya dan menarik permen itu dari tangan Diva, tapi tidak dipaksa.

"Kamu dapat permen ini darimana, Va?" tanya Elena menginterogasi. Seingatnya ia tidak pernah memberi permen pada Diva, kemarin, tadi ataupun barusan.

"Dali kaka-kaka," katanya sembari menjilat kembali permen tersebut.

"Kakak-kakak siapa?"

"Nda tau," jawabnya santai.

Elena menghela nafas. Perasaannya tidak enak. Ia menarik wajah Diva supaya anak itu mau menatapnya. "Diva dengerin Grandma. Kamu dikasih permen ini sama siapa?" tanyanya lebih lembut.

Anak itu menunjuk kearah luar. "Dali kaka-kaka di yuay."

"Kakak-kakak diluar siapa? Diluar nggak ada kakak-kakak," ujar Elena mulai panik. Ia takut permennya adalah pemberian dari penculik atau tukang hipnotis. Oh, katakan saja Elena berlebihan. Tapi bukankah orang-orang semacam itu memang ada? Dan mereka suka menculik anak-anak.

"Ada. Kaka-kaka tantik. Ipa cuka."

Perasaan Elena semakin tidak karuan. Tapi wanita itu mencoba untuk tenang. Nanti ia akan bicara pada suaminya dan Gara setelah mereka pulang.

****

Tidak membutuhkan waktu terlalu lama, Gara, Zafran dan ayahnya sudah kembali dari masjid. Gara berjalan masuk kedalam rumah dengan menyampirkan sarungnya pada bahu lalu Zafran dan ayahnya yang berjalan dibelakang.

"El!" Elena yang sedari tadi menunggu di ruang tengah itu langsung mendekati mereka.

Wanita itu menunjuk Diva yang duduk lesehan di depan televisi lalu mulai menjelaskan kejadian soal permen yang tiba-tiba dimakan oleh Diva tadi. Ia sangat takut jika permen itu adalah pemberian orang tidak dikenal. Elena bisa santai jika permen itu ternyata dari tetangganya. Tapi bagaimana jika bukan?

Gara menyimak dengan seksama. Ia berjalan mendekati meja. Mengambil bungkus permen yang sudah robek dari atas meja tersebut, mengamati bungkusnya dari luar.

"Ini kaya permen yang El beli waktu itu di minimarket," gumamnya. "Eh tapi kan permen kaya gini emang banyak dijual."

"Menurut kamu siapa yang ngasih itu ke Diva?" tanya Elena meminta pendapat Gara.

"Orang gila mungkin," celetuk Zafran.

Gara membalikan badannya. "Permen ini emang banyak dijual. Tapi permen ini kebanyakan dijual di supermarket sama minimarket doang. Harganya juga lumayan. Jadi nggak mungkin orang gila yang ngasih ini ke Diva."

Zafran manggut-manggut.

"Makanya, Ma. Kan daritadi El bilang hati-hati biarin Diva main diluar sendirian," ujar Gara.

Elena hanya menghela nafas.

Mata Gara melirik Diva yang asyik menonton kartun dua bocah dari Malaysia itu, lalu melirik bungkus permen di tangannya. Ia bergumam dalam hati. "Tapi ini beneran kaya permen yang waktu itu gue beli buat Diva, yang warnanya hijau. Permen yang jadinya gue kasih ke... Geladys."

****

Maaf ya kalau word disetiap part nya itu kadang panjang kadang pendek. Karena itu sesuai mood dan ide aku yang lagi ngalir 🦄💗

DIA ELGARA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang