7. Healing

807 52 0
                                    

“Umi, izin masuk kamar Gus Sulthan nggih. Tadi diperintah buat beresin bajunya yang masih di koper.” Shofia mendapati Salma tengah duduk di ruang tengah seraya merangkai bunga di vas.

“Oh ya silahkan Vi.” Jawab umi Salma, raut wajahnya menyiratkan kebingungan.

Mengapa Sulthan harus menyuruh Shofia. Harusnya mbak Marni yang melakukan itu semua.

“Mbak Marni tolong tunjukkan kamar Gus sama Shofia ya. “ Perintah umi Salma pada Marni.

“Mari mbak. “ Marni berjalan mendahului yang diikuti Shofia di belakangnya.

“Ini mbak kamar Gus. Apa perlu saya bantu?” Tunjuk Marni. Ia sepertinya juga bingung dengan apa yang diperintahkan Gus pada Shofia. Biasanya para santri atau abdi pondok hanya diperintah untuk bersih-bersih di luar kamar dan bantu-bantu memasak di dapur. Bagian membereskan kamar ya dia sebagai asisten rumah tangga ndalem, yang dibantu dua orang lainnya.

“Ndak usah mbak, tadi Gus nyuruh saya. Jadi biar saya yang beresin. “ Ucap Shofia. Marni pun meninggalkan Shofia sendiri.

Shofia tertegun. Menatap ruangan berukuran empat kali enam meter itu yang didominasi warna putih, abu-abu dan hitam. Di samping tempat tidur ada sebuah sofa berwarna hitam dan di sebelahnya terdapat rak buku yang berisi kitab-kitab. Dua lemari pakaian, yang sepertinya satu di antaranya masih tampak baru. Mungkin baru dibeli oleh Gus itu. Karena di dalamnya masih kosong. Dan tugas Shofia di sini untuk memindahkan baju-baju yang masih tersimpan di koper itu ke dalam lemari baru itu.

Tak heran mengapa baju Sulthan bisa sebanyak itu. Berbeda dengan Gus Rafa dan mungkin Gus-gus yang lain, rutinitas Gus yang tak bisa jauh dari kamera itu mengharuskan beliau memiliki banyak outfit untuk menunjang penampilannya di depan kamera. Untuk pemotretan lah, pengambilan video untuk kepentingan endorse lah. Koleksi bajunya tak ubahnya seorang selebriti.

Dasar Gus artis!

Entah mengapa sedari awal Sulthan menginjakkan kaki di pondok ini, tak seperti para wanita di pondoknya yang begitu histeris saat bertemu dengannya, Shofia menganggapnya biasa saja. Ia tak suka Sulthan yang bergaya bak selebriti. Begitu mudahnya berkumpul dengan lawan jenis. Yang jelas-jelas bukan mahrom. Juga gayanya yang tengil, juga sok ganteng di matanya.

Shofia mengira bahwa kedekatannya dengan Syakila Namira karena ada hubungan khusus seperti pacaran. Padahal hubungan mereka sebatas partner dalam membuat konten.

Sudah menjadi maklum, mengapa Sulthan baru beberapa hari pulang ke Indonesia sudah begitu di elu-elukan. Karena sepak terjangnya di media sosial sudah mewabah hingga ke pelosok negeri. Konten dakwahnya selalu ditonton oleh jutaan penonton, subscriber-nya juga tak kalah banyak. Wajah tampannya menjadi daya tarik tersendiri bagi emak-emak juga para gadis. Sedang para bapak menyukai gaya ceramahnya yang sering diselingi dengan canda.

“Ekhem!” dehem Sulthan membuat Shofia sontak terjengit kaget, saat mendapati Sulthan sudah berada di ambang pintu.

“Assalamualaikum,” Ucap Sulthan.

“Waalaikum salam.” Jawab Shofia, wajahnya menyiratkan kebingungan.

Ngapain dia ke sini?
Bukannya tadi dia bilang mau nunggu sampai selesai?

“Permisi Gus,” pamit Shofia. Masa bodo sama perintah yang belum selesai dikerjakan, yang jelas ia harus angkat kaki dari sana. Ia merasa tak nyaman berada dalam satu ruangan dengan Sulthan. Apalagi di dalam kamar seperti ini.

“Loh, itu belum selesai loh. Masih ada baju yang belum masuk lemari.” Cegah Sulthan sambil menunjuk tumpukan baju di atas ranjangnya.

“Tadi Gus bilang, mau nunggu sampai saya selesai. Ini belum selesai kok udah masuk. Jadi saya keluar saja Gus.” Tandas Shofia.

Until You Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang