******
Senyum di wajah rupawan itu tak henti-hentinya terus tersungging. Gawai di tangannya pun tak luput dari pandangan setiap ada jeda waktu di sela interaksinya dengan teman rombongan. Yang menjadi fokus tatapannya pun tetap itu-itu saja, room chat istrinya, Shofia. Matanya yang tajam selalu berbinar terang saat tertuju pada kata hu'um.
Sebenarnya bisa saja Sulthan menghubungi Shofia lagi sebab jaringan telepon yang sudah kembali lancar. Karena rombongannya sudah keluar dari daerah pedalaman. Tapi satu pelajaran berhasil ia dapatkan. Bahwa hikmah dari sulitnya ia dalam menghubungi istrinya selama seminggu kemarin saat terkendala signal, ternyata membawa efek yang tak pernah terpikirkan olehnya. Shofia, istri juteknya itu setelah sekian lama, akhirnya meneleponnya dan secara mengejutkan mengakui bahwa ia merindukannya, merindukan suami yang selama ini begitu sabar menanti cinta untuknya akan hadir di hati wanita itu. Selama ini Shofia hanya akan menelponnya untuk menyampaikan hal-hal penting berkaitan dengan pesantren yang harus diberitahukan pada Sulthan. Hanya hal penting, tak pernah menanyakan hal-hal kecil sebagai wujud perhatian seperti sudah makan belum? Bagaimana di sana, apakah menyenangkan? Mas sehat kan? Apalagi basa-basi yang wajar dilakukan sepasang suami istri. Itulah alasan mengapa Sulthan seolah hilang kewarasan saat Shofia melakukan semua itu pada saat telepon beberapa saat yang lalu.
Sulthan berpikir mungkin jika ia menahan keinginannya untuk segera menelepon Shofia, bisa saja istrinya itu akan menghubunginya kembali. Itu sebabnya ia menghalau sekuat tenaga keinginannya untuk telepon balik Shofia dan berharap istrinya akan kembali menghubunginya.
"Gus, aku sudah kontak mas Irham kalau kita mau ketemu kyai Basri. Tapi sayang Gus, katanya kyai Basri belum pulang dari umroh. Mungkin tiga hari lagi beliau menjejakkan tanah air. Gimana?" Sambil menikmati makan siangnya berupa ayam goreng di sebuah warung sederhana, Ustadz Zaki melaporkan.
"Kalau begitu jadwal kepulangan, kita majukan saja ustadz. Bukankah rencana sowan ke kyai Basri itu tujuan akhir dari perjalanan kita kali ini? " Jawab Sulthan.
"Betul Gus. Jadi nanti sore kita sudah bisa siap-siap untuk pulang. " Timpal Ustadz Zaki.
"Waduh, sepertinya Gus Sulthan sudah tak bisa lagi membendung rasa rindu sama istri tercinta nih. Dari tadi mesam-mesem ae( senyum-senyum aja), dilut-dilut (sebentar-sebentar) ngecek hape. " Terdengar Ustadz Fardan menggoda sebelum menggigit ayam di tangannya.
"Gayane ngeledek, padahal sampeyan Yo wis cenat-cenut kan tadz, mbayangke wajah cantik istri sampeyan neng omah. Wes mboh, kupingku krungu ping piro sampeyan nyebut sayang-sayangan neng telepon ambe bojomu mau. Walah tadz, tadz.. mbokyao ojo gawe kita-kita orang rasane pengen kabur tekan Mars dong tadz, tadz... ." Ledek Sulthan.
(Gayanya meledek, padahal kamu juga sudah kangen kan tadz, membayangkan wajah cantik istrimu di rumah. Nggak tahu deh, sudah berapa kali telingaku denger kalian sayang-sayangan di telepon. Walah tadz, jangan bikin kita pengen kabur ke Mars dong tadz).
Ustadz Fardan yang merasa tersindir pun hanya bisa cengengesan dan membuang muka, malu.
"Oh ya Man. Pulangnya kita diem-diem aja ya. Nggak usah kabarin umi, Abah. Apalagi Ning Shofia. " Pinta Sulthan pada Aiman.
"Loh, gimana? Kalau nggak ngabari nanti nggak ada persiapan sambutan dong Gus. Kan enak kalau kita pulang nanti disambut dengan makanan enak. "
Sulthan senyum-senyum tidak jelas. Sebelum menjawab ucapan Aiman.
Makanan enak bisa dipesan menyusul nanti. Tapi bayangan memeluk Shofia dari belakang entah di dapur, entah saat ia sedang membereskan tempat tidur di kamar, entah sedang berdiri di depan kolam ikan, saat pulang nanti, akan lebih menggiurkan dari semua menu makanan enak yang bisa disajikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Until You Love Me
RomanceKepulangan Gus Sulthan setelah menyelesaikan pendidikan S2-nya dari Kairo Mesir begitu dinantikan para warga pesantren Al-Hidayah. Namun menjadi awal hari sial bagi Shofia, seorang guru di MA di bawah naungan pondok pesantren Al-Hidayah. Gadis itu t...