20. Bukan Saya

684 44 0
                                    

Seandainya cinta dapat kukendalikan,
Maka akan kuperintahkan ia agar berlabuh padamu,
Namun ternyata ia begitu melekat kuat,
Saat ia telah jatuh pada satu hati,
Pada nyatanya, ia begitu sulit berpindah ke selainnya.

Humaira Zayda Rifaya, gadis itu cantik secantik namanya. Memiliki kepribadian yang menarik. Keaktifannya dalam berorganisasi membuatnya dikenal banyak orang. Seorang putri kyai yang kharismatik. Siapa yang akan menolak jika disandingkan dengannya?

Namanya yang tak asing di kalangan santri karena dedikasinya dalam organisasi keagamaan telah membuatnya dikenal banyak orang, mungkin itu yang menjadi salah satu alasan kedua keluarga pesantren berencana menjodohkan mereka. Sosoknya yang sering tampil di depan umum, diharapkan mampu mengimbangi Sulthan yang begitu diidolakan.

Sulthan mungkin akan dicap sebagai laki-laki bodoh yang telah menolak gadis cantik itu. Tapi ia akan merasa lemah sebagai laki-laki jika tidak berjuang untuk mendapatkan cintanya. Dirinya tahu, bahwa keputusannya akan melukai gadis itu juga keluarganya, tapi bukankah keterbukaan lebih baik dilakukan sejak awal, walau pahit namun setelahnya ia yakin akan ada jalan lain yang membawa gadis itu menemukan kebahagiaannya. Bukan dirinya, tapi orang lain yang lebih bisa menjadikan gadis itu merasa menjadi wanita yang paling dicintai.

"Maaf kyai, ada yang mau saya sampaikan." Sulthan mengatur nafas, menghimpun segala keberanian untuk mengutarakan maksud kedatangannya.

Abah Yahya menatap putranya penuh harap. Semoga Allah membuat keajaiban dengan membalikkan hatinya. Merubah keputusan yang akan ia ambil.

Sedang kyai Harun, keningnya berkerut cemas. Raut khawatir tergambar di wajah teduhnya. Ada rasa takut jika jawaban Sulthan nantinya akan membawa ketidakpuasan baginya dan putrinya.

"Saya harap, apa yang akan saya dengar akan membawa kebahagiaan untuk putri saya Gus."

Deg!

Ucapan Kyai Harun begitu lembut. Namun terdengar ada penekanan di setiap katanya. Membuat keberanian Sulthan sedikit goyah. Namun kembali ia bulatkan tekad, sepahit apapun ia harus menyampaikan apa yang sudah menjadi keputusannya.

"Ning Humaira, seperti yang saya ketahui, dia gadis yang baik, cerdas, juga memiliki wajah yang menarik dipandang, kyai. Pendidikan yang ia dapatkan saya akui, kelak mampu menjadikannya guru yang hebat bagi anak-anaknya. Sosoknya yang begitu memikat, membuatnya pantas mendapatkan cinta yang besar kyai, dari seorang pria yang benar-benar akan memperlakukannya bagaikan ratu. Tapi, sepertinya pria itu bukan saya kyai. Karena di hati saya sudah ada nama seorang wanita. Seandainya hati saya tak berpenghuni, mungkin saya bisa belajar untuk mencintai Ning Humaira. Namun, rasanya sulit, untuk mengusir penghuni lama, lalu diganti dengan penghuni yang baru. Maaf kyai, dengan segala kerendahan hati tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada keluarga kyai khususnya Ning Humaira. " Urai Sulthan, setiap kata ia ucapkan dengan lembut walaupun ia sadar betul, selembut apapun keputusan yang ia sampaikan tetap saja akan ada hati yang terluka.

"Bukankah ada pepatah Jawa mengatakan 'witing Tresna jalaran saka kulino?' cinta tumbuh karena terbiasa? Setelah kalian menikah, bukankah tak akan ada jarak di antara kalian, sehingga saya yakin cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Apalagi seperti yang kamu bilang tadi, kalau putri saya Humaira memiliki banyak kelebihan yang membuatnya tampak menarik bagi siapapun yang mengenalnya? Jadi, ada kemungkinan kamu juga bisa jatuh cinta padanya kan Gus?" Gurat kecewa tak mampu kyai Harun sembunyikan. Sekuat mungkin ia menekan egonya agar emosi tak meledak. Ayah mana yang rela jika putrinya ditolak? Sedang ia tahu, cinta putrinya begitu besar terhadap pria di depannya, dan menaruh harapan besar padanya.

"Maaf Run, saya sebagai ayah sulthan sangat menyesali keputusan putraku ini. Tapi bukankah dia laki-laki dewasa yang punya kemerdekaan sendiri untuk menentukan jalan hidupnya? Saya sudah memintanya untuk memikirkan matang-matang keputusan yang akan ia ambil. Namun sebagai orang tua bukankah memaksakan kehendak kita tanpa mau mendengar pendapat anak adalah sebuah keegoisan?" Kini Abah memperdengarkan suaranya. Berusaha meredam emosi tertahan yang nampak dari raut wajah kyai Harun. Ia hanya berusaha menjadi ayah yang baik bagi anaknya. Mengusahakan yang terbaik yang ia bisa.

Ada titik air menyembul, mengalir perlahan, membasahi pipi gadis berkacamata di sebalik tirai. Hati gadis mana, yang tak koyak mendengar pujaan hatinya menolak bersanding dengannya. Jemari Humaira menyeka tiap tetes air mata yang terus mengalir, menahan rasa sesak di dada yang membuatnya seakan sulit untuk bernafas.

Al-Azhar, Cairo Mesir

Kehadiran seorang pria yang begitu tiba-tiba cukup mengejutkan bagi Humaira. Pria tinggi tegap dengan ransel di punggung datang memberikan tempat duduk saat tiba-tiba kepalanya berdenyut nyeri, dengan tubuh hampir limbung di tengah pasar dan menuntunnya agar duduk menepi di pinggiran pasar, dekat penjual sayur yang tak jauh dari tempat ia berdiri tadi. Pria itu berlalu sebentar lalu kembali dengan sebotol air mineral di tangannya.

"Minum mbak, ini ada roti. Makan mbak. Muka mbak pucet banget. " Ucap laki-laki itu, tangannya bergerak memutar tutup botol yang masih tersegel dan memberikan padanya.

"Mbak kenapa, apa perlu ke dokter?"

"Nggak mas, makasih. Nanti ada temen saya kok. Dia lagi nyari sesuatu tadi. " Ucap Humaira dengan suara pelan, seolah tak bertenaga. Netranya menatap lekat wajah tampan pria yang menolongnya.

"Kalau gitu saya pergi dulu ya mbak. Sudah ditunggu teman. " Pria itu pun melenggang, setelah sebelumnya berkata dalam bahasa arab meminta pada tukang sayur di samping tempat ia duduk untuk menjaganya dan dibalas anggukan oleh sang pedagang. Sebelum benar-benar pergi ia menoleh, mengucap pamit.

"Assalamualaikum mbak. "

"Waalaikumussalam." Lirih Humaira, dengan tatap lekat ke arah punggung pria itu yang menghilang ditelan kerumunan.

"Ra, kamu kenapa? Terus tadi Gus Sulthan ngapain?" Kania, temannya yang tadi memisahkan diri untuk mencari barang yang akan ia beli, telah kembali.

'Gus Sulthan?'

Pria itu, tidak tahu bahwa malam-malam gadis yang sudah ditolongnya itu tak lagi aman. Bayangnya membuat fokusnya pecah. Dalam diam ia hanya bisa mengagumi dan meneropong segala aktifitasnya lewat akun sosial medianya.

Sulthan Malik Arrayyan. Satu nama ia ketik di kolom pencarian akun Instagram. Begitu laman profil pria itu ditampilkan, dirinya dibuat terpana dengan semua gambar-gambar yang menampilkan ketampanan pria itu. Dari sana ia tahu, bahwa pria itu seorang konten kreator dakwah. Karena banyak reels yang merekam beberapa menit tausiyahnya. Semakin ia scroll ke bawah, semakin ia dibuat terkagum-kagum dengan profil sang pemilik akun itu. Dibacanya bio yang tertera di bawah foto profil pria itu, alangkah terkejutnya ia, saat tahu bahwa pria itu putra dari kyai Yahya yang begitu tersohor.

Beberapa waktu lalu, saat ayahnya menyebutkan beberapa rekomendasi bakal calon mantu yang datang melamar, putra dari pengasuh beberapa pondok pesantren yang salah satunya ada nama Sulthan, membuat secercah harapan yang ia pikir selama ini sulit menjadi nyata, seakan menemukan jalannya. Pria yang selama ini hanya dapat ia temui dalam angan, hampir saja ia mampu menggapainya.

Memori kembali berputar, menyisakan Isak di sela sesak yang menghimpit dadanya. Kenyataan begitu pahit menghunjam hatinya, yang mau tak mau harus ia telan walau menusuk pedih  kerongkongannya.

"Baiklah, aku hanya manusia biasa yang tak punya kuasa mengatur hati manusia. Termasuk hati putramu mas. Aku juga tak punya daya untuk memaksa. Tapi besar harapanku, seandainya nanti putramu berubah pikiran, aku masih membuka lebar-lebar pintu rumahku untukmu Gus. " Terdengar menyedihkan memang, tapi ia hanya berusaha melakukan tugasnya sebagai seorang ayah. Yang rela melakukan apapun demi kebahagiaan putri tercintanya.

"Sebagai orang tua kita hanya bertugas mengarahkan, tapi keputusan kita serahkan pada anak kita Run. Semoga kita bisa berbesar hati menerima keputusan mereka dan mendoakan yang terbaik untuk mereka." Pungkas Yahya. Jujur ia sangat menyayangkan keputusan Sulthan. Humaira adalah gadis yang baik, sopan dan juga cerdas. Ia beruntung karena Harun memilihnya sebagai calon besan. Tapi, mau bagaimana lagi, begitu keras usahanya untuk membujuk putranya itu, ia tetap bersikeras dengan keputusannya. Sekarang ia dibuat penasaran dengan gadis mana Sulthan telah menautkan hatinya.

***

Until You Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang