Mentari menyala terang di Minggu pagi. Bersinar angkuh, memancarkan terik yang menyengat seolah tak terusik dengan riuhnya pasar yang kini Shofia dan Khodijah tengah berada di dalamnya. Ndalem tanpa Abah yang sedang pergi mengisi kajian di Surabaya dan umi ikut mendampingi, serta tak adanya sosok Sulthan di sampingnya membuat suasana di dalamnya terasa senyap. Hanya ada mbak Marni, mbak Asih dan mbak Ani yang sibuk menjalankan tugasnya masing-masing.
Ada waktu luang tanpa kegiatan, ia memutuskan untuk pergi ke pasar berbelanja kebutuhan bahan makanan yang stoknya mulai menipis di kulkas.
Entah kenapa terasa ada yang berbeda dengan suasana pasar hari ini. Tatapan tajam puluhan manusia di sana membuat Shofia merasa terkepung menjadi target dari puluhan mata pedang sepanjang ia berjalan sejak ia menjejakkan kaki di tempat bertemunya penjual dan pembeli itu. Tak bisa dipungkiri hawa yang berbeda membuatnya cukup terintimidasi dengan tatapan menyelidik dan sesekali terlihat para pengunjung berbisik-bisik dengan ujung mata tak lepas darinya.
"Ning, jangan galak-galak to, sama muridnya. Kasihan anak orang. " Tukas ibu yang menjual cabai dengan raut masam, saat Shofia sibuk memilih cabai merah. Mendengar celetukan si ibu, wajah Shofia yang tadinya tertunduk memilih cabe sontak mendongak menatap wanita tambun dengan jilbab hijaunya. Lalu melirik Khodijah yang wajahnya juga nampak terkejut seperti halnya dirinya.
"Maksud ibu apa ya?" Tanya Shofia bingung. Karena seringnya ia ditugaskan berbelanja ke pasar, menjadikan dirinya familiar di mata para penjual di sana. Walaupun sejak diperistri Sulthan, masker tak pernah lupa ia pakai saat berada di tempat ramai.
"Loh sampeyan nggak tahu ta Ning. Sampeyan kui viral di tok-tok. Jangan keras-keras lah ndidik anak. " Seorang ibu lain yang sedang memilih kentang ikut menimpali.
"Iya istri Gus itu harusnya lemah lembut. Jangan mentang-mentang istri pemilik pesantren terus berbuat seenaknya. " Celetuk penjual bumbu dapur yang bersebelahan dengan penjual cabe.
"Dinasehati secara halus kan bisa. Nggak perlu pake kekerasan fisik. " Dengan ketus penjual cabe kembali menyahut.
Shofia yang tidak tahu apa yang sedang mereka bicarakan hanya bisa diam tak tahu bagaimana harus menanggapi. Setelah selesai dan membayar belanjaannya ia pun berpindah tempat untuk melanjutkan belanjanya. Meninggalkan tatapan menuduh dari orang-orang di sekitar sana. Lamat-lamat terdengar orang-orang saling berbisik saat ia melintas di hadapan pengunjung pasar yang berlalu lalang.
"Oh, itu istrinya Gus Sulthan."
"Cantik ya, tapi kasar."
"Kok bisa sih Gus Sulthan punya istri kayak gitu. "
"Itu loh guru killer di pesantren Al-Hidayah yang nampar muridnya."
Shofia benar-benar dibuat kebingungan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Memangnya berita viral apa yang sedang beredar?
Kini ia tiba di depan penjual ayam langganannya.
"Pak, ayamnya dua kilo. Potong jadi enam belas ya pak." Ucap Shofia, ia mencoba untuk tak terpengaruh dengan tatapan dan bisikan sinis di sekelilingnya.
"Nggeh Ning. Nggak usah didengerin Ning. Saya percaya kok kalau berita yang tersebar itu cuma hoax, alias fitnah. Saya kenal sampeyan Ning. Nggak mungkin sampeyan melakukan seperti yang diberitakan. " Tandas bapak penjual ayam mencoba membela Shofia.
"Kita semua tahu, nggak semua yang ada di sosmed itu bisa dipercaya. Jaman sekarang kan bisa aja foto itu diedit sedemikian rupa untuk kepentingan kejahatan. Tapi saya tahu kok, Ning orang baik. Pasti ini kerjaan orang yang iri sama keluarga kyai. Nggak berkah hidup itu orang. Udah memfitnah keluarga kyai. " Ujar pak penjual ayam mencoba menghibur Shofia seraya memotong bagian-bagian ayam menjadi potongan yang lebih kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Until You Love Me
RomantizmKepulangan Gus Sulthan setelah menyelesaikan pendidikan S2-nya dari Kairo Mesir begitu dinantikan para warga pesantren Al-Hidayah. Namun menjadi awal hari sial bagi Shofia, seorang guru di MA di bawah naungan pondok pesantren Al-Hidayah. Gadis itu t...