85. Tak Berdaya

246 32 20
                                    


Gapura bertuliskan "SELAMAT DATANG, Anda telah memasuki kawasan Pondok Pesantren An-Nur" sebagai penanda bahwa mobil yang ditumpangi Sulthan sudah memasuki area PP. An-Nur milik kyai Harun ayah dari Ning Humaira, Malang.

"Gus, janji cuma nengok Yo. Nggak macem-macem?" Celetuk Aiman, saat mobil yang ditumpanginya memasuki pelataran parkir.

"Hus! Opo maksud mu dengan kata  macem-macem to Man? Iki pondok pesantren loh, bukan pasar. Lah Piye aku kate macem-macem? Dipikir aku bakal ngamuk-ngamuk koyo preman pasar? Bisa-bisa aku ditendang kyai Harun."

"Bukan macem-macem koyo ngono kui to Gus. Maksudku, macem-macem kui semacam nambah istri apa gimana gitu loh Gus? "

"Lah dipikir makan di warteg apa sih Man pake nambah segala?"

"Lebih baik selesaikan dulu masalah yang sedang terjadi antara sampeyan sama Ning Shofia, jangan buru-buru memutuskan sesuatu dalam keadaan emosi Gus. "

"Awakmu ngomong opo to Man, Man. Wong aku arep menengok Ning Humaira yang lagi sakit, kok Yo pikirane aneh-aneh. Sakjane mau isuk koe sarapan opo to Man? Opo kurang akeh porsine? Sampe ngawur pikirane. "

"Ya habisnya, kemaren kyai Harun kaya ngomong serius banget Gus. "

"Lah terus kudu cengangas-cengenges koyo koe ta?"

Aiman memutar mata lalu mendengus. Ingin mengakhiri perdebatan yang tak berujung dengan Gus tampan yang sepertinya sedang mode 'senggol bacok' itu.

***

Wajah Harun sontak cerah, saat netranya menangkap sosok Sulthan tengah berjalan mendekat ke arah ndalem. Kebetulan dirinya baru saja pulang dari masjid alun-alun kota mengisi kajian waktu Dhuha.

Sulthan berjalan bak artis papan atas ibukota, selain dikawal oleh beberapa santri setempat, sepanjang jalan semua mata dibuat tak berkedip tertuju pada sosoknya yang menawan. Tubuh tinggi tegapnya yang terbalut sarung berwarna khaki dan kemeja putih yang membuat auranya semakin bercahaya. Setiap hentak langkahnya tak luput dari setiap bibir untuk tak mengucap Masya Allah, sebagai bentuk kekaguman pada makhluk ciptaan-Nya.

"Masya Allah, coba masih single ya, mesti wis tak shalawati saben wengi. "

"Shalawati, shalawati, awakmu demen tapi Guse boten remen, wes ta, lek ngimpi gak usah dhuwur-dhuwur, mengko nek  tibo ngejeblak, amnesia kan repot. "

"Ya namanya juga usaha, Allah itu nggak pernah menyia-nyiakan do'a hamba-Nya. Jadi jangan pernah menyerah. "

"Masya Allah, Gus Sulthan aja nggantenge koyo ngene, piye AREP mbayangake wajahe nabi Yusuf Yo rek, Allahu Akbar.. "

"Iyo Yo, Ki sikilku lemes tenan loh Iki. Jantungku berdebar-debar, tanganku gemeteran. "

"Eh Siti, Ojo mati disik Ti, Siti.. "

"Eh lambemu. Aku AREP semaput, Dudu AREP mati. Sadis kamu Rin. "

"Ya sepurane Ti.. "

Beberapa kalimat yang terlontar dari barisan para santriwati yang tak sanggup untuk berpaling dari pesona kegantengan wajah Sulthan berdengung di sela-sela keramaian. Bisik-bisik yang tak terdengar jelas mengiringi derap langkah Sulthan yang tampak tegas dan sesekali senyuman ramah ia lemparkan sebagai sikap kesopanan mengingat dirinya adalah tamu dari luar pesantren. Pekikan kecil sontak bersahutan kala senyum Gus viral itu begitu manis tersungging.

Langkah Sulthan telah sampai menjejak lantai ndalem. Beriringan dengan mendekatnya Harun. Pria berilmu itu menerbitkan senyum seraya mengulurkan tangan, menyambut kedatangan Gus viral yang sangat dinantikannya.

Until You Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang