89. Ending

221 34 12
                                    

Melihat reaksi Sulthan yang terdiam dan menatapnya lekat, rasa malu tiba-tiba menyelimuti wajah Shofia. Hampir saja ia kabur, hingga cekalan Sulthan menghentikannya dan memaksanya kembali duduk. Mata Shofia membola, pipinya merona Semerah tomat. Apa ia terkesan agresif?

"Ulangi! " Perintah Sulthan dengan tampang galak yang dibuat-buat. Sedang tangan Shofia masih berada dalam genggamannya.

"Apanya mas? " Tanya Shofia bingung.

Bukan suara yang terdengar, tapi telunjuk Sulthan terangkat dan menyentuh pipi kanannya.

Apa? Yang tadi aja malunya masih di ubun-ubun. Bagaimana bisa aku melakukannya lagi?

Dengan ragu Shofia menggeleng.

"Oh, jadi nggak mau? Karena nggak mau, mas tambah hukumannya. " Ancam Sulthan.

"Jangan mas. " Wajah Shofia kembali panik.

"Ya udah, Sekarang, cium mas empat kali." Jemari Sulthan menunjuk keningnya," di sini sekali," lalu menunjuk pipi kanannya, "di sini sekali," kemudian pipi kirinya, " di sini sekali. " Terakhir jemari Sulthan menunjuk di bibirnya. "Terus di sini. "

Shofia membeku, ragu.

"Kalau kamu nggak mau lakuin, mas bakal diemin kamu lagi selama seminggu ke depan. "

Tanpa pikir panjang Shofia menuruti perintah Sulthan perlahan. Diawali mengecup kening sang suami sekali, lalu pipi kanan, kemudian pipi kiri. Dan terakhir bib..

Shofia tersentak saat pinggulnya ditarik merapat ke tubuh Sulthan ketika bibirnya baru saja mendarat menyentuh bibir suaminya itu. Matanya sontak melebar begitu ia rasakan sentuhan bibirnya mendapat balasan. Menyentuhnya dengan lembut dan menuntut balasan. Kali ini Shofia seakan larut dalam suasana. Perlakuan lembut Sulthan tak bisa membuatnya berkutik. Mungkin karena Shofia sudah bisa menerima kehadiran Sulthan, sosok suami yang sudah mengambil alih hatinya dari Alif. Bukannya menepis, kali ini ia menikmatinya, seolah mengakui bahwa inilah waktu yang ia tunggu-tunggu setelah memendam rindu sebegitu hebatnya dua minggu ini. Merasa nyaman dan tak lagi merasa malu, dia mulai membalas dan tak lagi berusaha menghindar.

"Loh mas nggak jadi nengok ustadz Alif? "

Dasar Shofia, pintar sekali mengalihkan issue saat bibir mereka kembali mengurai. Demi menutupi rasa malu dan salah tingkah kala jemari Sulthan menyeka sudut bibirnya yang basah, Shofia malah melontarkan tanya yang bahkan dia sendiri kaget mendengarnya. Karena dia menyebut nama Alif di tengah suasana yang membakar keduanya. Bagaimana ini? Bagaimana jika Sulthan murka?

Sulthan menjentikkan jari di kening Shofia pelan, "Aku mau nengok Alif yang lagi sakit. Bukan mau nganter dia ke bandara. Jadi mau aku nengok nanti malam kek, besok kek, lusa kek nggak akan jadi masalah. Hari ini Mas mau fokus pacaran sama kamu. " Sulthan menyeringai. Membuat Shofia menelan saliva. Dia panik.

Pria itu berdiri, berjalan menuju pintu. Menguncinya. Kini jantung Shofia tak mampu lagi ia ajak kompromi. Keringat dingin mulai menyembul.

Dan benar saja, suami tampannya itu kembali mendekat dan meraih tubuhnya, menggendongnya dan membawanya ke ranjang tidur mereka.

"Tapi mas, ini masih pagi bagaimana kalau Abah sama umi butuh kita dan sewaktu-waktu memanggil?" Suara Shofia bergetar.

"Jangan bilang kamu lupa dik. Bukannya tadi malam Umi sama Abah udah pamit mau pergi ke Probolinggo ba'da subuh tadi untuk menghadiri walimatul 'ursy dilanjut undangan ceramah mungkin pulang malam. Mbak Marni lagi ke pasar, dan mas yakin dia nggak akan berani ganggu pasutri yang betah berdiam diri di kamar. Jadi kita mau main sepak bola sampai siang, sore bahkan malam it's Okay, AMAN. "

Until You Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang