82. Hampa

347 23 8
                                    

Jam di dinding kamar sudah menunjuk angka 01.00. Langit pekat nan gelap yang terhampar memayungi pesantren Al-Hidayah, menjadi refleksi di bulat mata Shofia yang sayu, terbingkai sendu dari balik jendela kamarnya. Suasana pesantren yang teramat sepi karena para penghuninya yang sudah didera lelap. Tak juga mengantarnya pada rasa kantuk dan mendorongnya untuk segera merebahkan diri. Bahkan gemuruh dari dalam perutnya tak sedikitpun ia pedulikan. Terhitung sejak pagi ini entah kenapa rasa lapar tak begitu ia rasakan. Nasi goreng masakan umi pun hanya sedikit yang berhasil masuk ke dalam mulutnya. Itupun karena ingin menghargai belas kasih dari sang ibu mertua.

Matanya masih terjaga, menatap nanar pelataran pesantren, berandai-andai jika sosok tegap itu akan kembali pulang. Menemuinya, menambal seribu lubang rindu yang kian merongrong ketenangan hari-harinya.

Tiga hari sudah, tak ada yang berbeda. Shofia melewati malam-malamnya dengan hampa. Ia merasa Sulthan tengah menghukumnya dengan setimpal. Ia jera. Sungguh jera.

Seminggu berada di Riau, Sulthan menjadikan siang malamnya bak seorang kekasih yang menunggu tanpa kepastian. Selama ini dirinya begitu cuek dengan semua perhatian sang suami, membalas pesannya seperlunya saja. Menjawab telponnya cukup sekedarnya. Dan sekarang, dia merasa hampir gila menanti kabar dari suami tampannya.

Tanpa pria itu ketahui, selama seminggu itu dirinya dibuat kelimpungan menahan gejolak rindu, yang membuatnya kebingungan. Tak tahu bagaimana caranya agar rasa rindu yang mengusik konsentrasinya itu bisa ia halau. Ia terlalu gengsi dan takut untuk mengakui bahwa rindu kepada suami yang selama ini diacuhkannya telah membuatnya seperti orang linglung. Hingga hari itu tiba, saat Khodijah lancang memberanikan diri menelpon Sulthan. Saat itu, ia kesal dengan apa yang dilakukan Khodijah tapi di sisi lain dia sangat berterimakasih kepada sahabatnya itu. Khodijah seolah tahu apa yang sedang menjadi kegalauan hatinya. Jujur, dia senang bukan main. Dia merasakan rindunya terobati, walau belum sepenuhnya. Andai rasa malu tak ia rasakan, mungkin ia akan menelpon Sulthan berulang kali demi mendengar suara sang suami tercinta yang sangat dirindukannya. Dan kepulangan suaminya kala itu ternyata bukanlah akhir dari penantiannya, melainkan semakin merana dilanda rindu yang berkelanjutan.

Hatinya kembali terkoyak senada dengan air bening yang mengalir membasahi pipi, kala mengingat bagaimana Sulthan berkali-kali menolak berbicara dengannya saat ia meminta tolong Aiman agar bisa tersambung dengan suaminya, saat ia tahu Aiman sedang bersama suaminya. Ia tak bisa menghubunginya sendiri karena gawai Sulthan ada di tangannya. Sengaja ia menahan gawai milik suaminya tanpa berniat memberikannya pada Aiman untuk diserahkan pada Sulthan agar suaminya lah yang mengambilnya sendiri, dengan begitu Shofia berharap bisa bertemu dan menjelaskan semua yang tampak keruh di mata Sulthan. Lama ia menunggu jawaban dan pada akhirnya hanya jawaban getir Aiman yang terdengar pedih di telinganya.

"Maaf Ning, Gus sedang nggak bisa diganggu. Beliau cukup sibuk hari ini. "

Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali bahkan ratusan kali. Sepanjang tiga hari ini begitu gigihnya ia mencoba sekuat tenaga untuk bisa berbicara dengan sang suami. Bertanya alamat tempat Sulthan berada agar bisa datang dan menemuinya, namun jawaban Aiman selalu sama.

"Maaf Ning, Gus lagi ketemu tamu penting, jadi nggak bisa nyempetin waktu buat ketemu sama Ning. "

Pipinya kian panas sejalan dengan aliran air mata yang kian deras. Ia bangkit, mengambil gawai Sulthan di atas nakas. Ditatapnya layar wallpaper smartphone yang masih terkunci, sontak membuat dadanya terasa sesak. Sulthan memasang gambar batu bata dan setangkai mawar yang pernah ia posting di Instagramnya.

Lagi-lagi suara Sulthan berdengung di telinganya.

"Maafin mas ya, mas nggak bisa kaya suami-suami lain yang pasang foto pernikahan atau pasang foto istri di profil akun-akun sosial media mas. Bukan mas nggak cinta, tapi mas ingin jagain kamu dari mata-mata nakal dan hati-hati yang hasad. "

Shofia semakin tergugu.

Sempat bingung kira-kira apa password yang dipakai suaminya.

Mungkin tanggal lahir Sulthan?
Ah, ternyata bukan.

Lalu entah kenapa ia terpikir tanggal pernikahan mereka.

Dan ya, layarnya berhasil terbuka.

Dibukanya galeri. Shofia dibuat terbelalak, saat mendapati banyak sekali foto dirinya di sana. Foto saat sibuk menilai tugas-tugas muridnya, saat sibuk mengetik dengan laptopnya, saat sibuk membereskan peralatan makan di meja makan setelah acara makan selesai. Foto wajahnya saat terlelap, saat khusyuk murojaah.

Deraian air mata mengalir tak terkendali. Suaminya mengambil begitu banyak gambar dirinya, tapi tak satupun ia posting ke akun media sosialnya. Pria itu benar-benar menjaga dirinya. Satu persangkaannya dulu terbantahkan sudah. Dulu dia berpikir setelah menikah dengan Sulthan, ia akan dituntut bisa berlenggak-lenggok di depan kamera untuk memenuhi permintaan para netizen. Dan dulu dia sempat khawatir jika semua itu terjadi, bagaimana dia akan menolak permintaan suaminya. Ternyata apa yang ia takutkan tidak pernah terjadi. Sulthan tak pernah memaksanya untuk tampil di depan kamera seperti dirinya. Sang suami membebaskan Shofia menjadi dirinya sendiri. Tak masalah jika menjadi Shofia yang hanya seorang guru yang tak pandai berpose.

Kini ia membuka akun Instagram, di mana banyak sekali DM yang masuk. Pesan-pesan genit yang masuk dari akun-akun dengan username dan foto-foto cantik yang Sulthan masukkan ke dalam daftar akun yang diblokir.

"Assalamualaikum calon suami.. good morning.."

"Assalamualaikum suamiku, i Miss u."

"Assalamualaikum calon imam, aku mau dong jadi makmum kedua. "

Ada beberapa akun Ig yang memintanya untuk menjadi model baju muslimah yang ditujukan untuk Shofia.

Assalamualaikum Gus. Apa kabar Gus?

Gus, maaf. Bisa nggak ya minta kerjasama istri nya untuk menjadi model baju-baju kami?

Wah, istri saya pemalu orangnya mas.

Wajar itu Gus. Awal-awal emang malu, tapi lama-lama jadi terbiasa.

Tapi, istri saya bukan malu seperti itu.

Lalu?

Dia malu sama Fatimatuzzahra.

Masya Allah Gus, sekarang saya yang malu.

Sesak di dada semakin mencekik. Bahunya berguncang. Shofia meringkuk. Bantalnya yang basah tak sedikitpun membuat tangisnya mereda.

Apa yang harus aku lakukan mas? Untuk menebus semua kebodohan dan keegoisanku?

Bagaimana aku bisa selamat dari rasa rindu yang kian hari seakan mencekik leherku?

Shofia meraung dalam diam. Ia tak pernah menyangka jika diabaikan Sulthan akan semenyakitkan ini. Rasanya jauh lebih sakit saat ia mendengar lamaran Sulthan dan mendapati kenyataan bahwa mimpinya untuk hidup bersama dengan Alif telah pupus.

Mas, aku mencintaimu..

Uhibbuka fillah ya zaujii,

Shofia baru merasa jika ternyata jatuh cinta sepihak akan sepilu ini. Apa yang bisa ia lakukan untuk menebus segala luka yang ia torehkan untuk suaminya nanti?

Lalu, bagaimana jika Sulthan benar-benar telah menutup akses hatinya dan berhenti berharap akan cinta sang istri untuknya?

Akankah hatinya akan terkatung-katung sendirian lalu terjatuh setelah mendapatkan perlakuan bak seorang ratu?

Tidak, aku berjanji aku akan memperlakukanmu layaknya raja, layaknya seorang Sulthan.. seorang Sulthan yang merajai hatiku. Hanya Sulthan seorang. Tak ada yang lain. Sekarang dan nanti.. selamanya..

Seakan seluruh tenaga telah habis. Suara Isak tak lagi terdengar. Shofia telah terpejam. Ia lelah. Walau dalam tidur, Shofia berharap bisa kembali bertemu dengan sang suami. Melepas sedikit rasa rindu. Mendekapnya walau hanya dalam mimpi.

***

Selasa, 22 Oktober 2024.

Kalau ide lagi lancar, aku bakal update cepet . Hehe.
Tapi kalau lagi mampet emang mau dipaksain kaya apa juga. Susah.
Ini udah menjelang end. Dan aku pengen cepet2 end juga. 🤣🤣

Vote komen pliss 🙏

Until You Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang