Hai, hallo.
Assalamualaikum
👋👋***
"Jadi, apa sih yang membuat Ning Shofia begitu aware dengan kesehatan mental para santriwan dan santriwati, anak didik sampeyan Ning?"
Acara talk show mulai berjalan. Syakila tampak percaya diri memandu acara di tengah audiens. Sebuah pertanyaan ia lempar kepada Shofia, sebuah pertanyaan yang mewakili rasa ingin tahu para netizen yang tak sekali dua kali guru itu dengar, tapi berkali-kali semenjak undangan menghadiri podcast mengalir padanya sejak postingan viral tentang dirinya mewarnai jagad maya. Pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepadanya sebagai guru yang peduli terhadap kesehatan mental murid-muridnya.
"Seperti yang kita tahu, anak santri yang mondok itu berasal dari berbagai daerah. Mereka ke sini untuk belajar, rela meninggalkan rumah, orang tua, keluarga dan saudara-saudaranya. Kebetulan saya tahu betul bagaimana rasanya berada jauh dari orang-orang yang kita sayang. Bagaimana rasanya kalau tiba-tiba rasa kangen orang-orang di rumah menyerang, kadang muncul rasa pengen pulang, kangen suasana rumah, kangen temen-temen sepermainan, karena saya juga pernah lama menuntut ilmu di pondok pesantren. Dan hal-hal semacam itu mungkin menjadi hal yang tidak begitu sulit dilewati bagi mereka yang memiliki kemampuan dalam beradaptasi dengan cepat. Berbeda dengan mereka yang pendiam dan pemalu, mereka butuh waktu yang cukup lama dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan baru mereka. Pasti tidak mudah bagi mereka untuk bisa membaur dan bergaul dengan teman-temannya. Nggak kebayang kan, mereka harus melewati masa-masa jauh dari orang-orang yang mereka sayang dengan rasa sepi, ditambah di sini mereka mengalami kesulitan dalam bergaul. Itu kenapa saya ingin menjadi jembatan untuk mereka, berusaha menghadirkan rumah untuk mereka, agar mereka merasa nyaman dengan suasana yang hangat di sekolah, yang diharapkan mampu memaksimalkan semangat mereka dalam belajar. Seperti anak-anak pendiam, pemalu, sebenarnya mereka butuh dukungan dari luar untuk memulai. Tak jarang saya temui, setelah beberapa kali pendekatan dan pada akhirnya ketika mereka sudah merasa nyaman, mereka bisa ngereog dan ngelawak juga.. ," Shofia terpingkal, saat memorinya membawanya pada nama-nama muridnya yang ia ceritakan.
"Arga juga dulu dingin kaya es kul-kul. Tapi sekarang Alhamdulillah, dikit-dikit udah mulai cair dia, udah sering senyum. Makasih ya Asep ya. Mau setia menemani Arga, padahal kata Asep. Ngomong sama Arga itu berasa ngomong sama tembok Miss. Saking jarangnya bersuara dia. Bener nggak Ga?" Arga yang dilirik, tersenyum simpul. Mengundang sorak-sorai dari para santriwati. Maklum, Arga sekarang sudah menjadi idola baru di pesantren.
"Kita nggak pernah tahu, kondisi jiwa dan ketahanan mental seseorang dalam menghadapi sebuah masalah. Ada yang agak sedih, sedih, sangat sedih. Ada yang cukup murung, ada yang menangis meraung-raung, ada yang sampai mengurung diri di kamar berhari-hari.
Ada yang beruntung, punya orang sekitar yang bisa mereka jadikan telinga, meminjamkan bahu untuk bersandar. Ada yang punya semua itu, tapi mereka takut untuk bercerita.
Saya nggak mau menyesal untuk kedua kalinya, karena dulu saya tidak mampu membaca keadaan di mana teman saya membutuhkan saya sebagai pendengar untuk segala keluh kesahnya. Teman saya, sebut saja dia Seruni, dia yang periang, dia yang selalu menjadi pabrik tawa untuk orang-orang di sekitarnya. Ternyata menyimpan luka yang ia simpan rapat-rapat dalam hidupnya. Padahal dia punya kami, teman-temannya yang bisa saja ia temui kapan saja ia mau. Karena kita satu kampus, satu kost. Tapi dia punya trauma tersendiri, sehingga ia lebih memilih menyimpannya sendiri, hingga suatu hari kami menerima berita yang sangat-sangat tidak ingin kami dengar dalam hidup kami. Dia memilih untuk menyerah, dia seakan tak punya sesuatu yang bisa ia jadikan sebagai alasan untuk tetap bertahan. Dia tak lagi bisa menahan rasa sepi dan hampa karena berasal dari keluarga broken home. Seandainya saya tahu sejak dulu, saya ingin jadi orang yang selalu ada untuknya, meyakinkan dia, kalau dia bisa anggap saya sebagai dinding kamarnya yang akan selalu mendengar ceritanya tanpa menyela sebelum dia menyelesaikan ceritanya. Kalau dia bisa jadikan saya sebagai bantal tidurnya yang akan menyerap semua deraian air matanya. Dan dia bisa anggap saya sebagai bantal guling, yang bisa ia peluk saat tubuhnya terasa gontai dan hilang pegangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Until You Love Me
RomanceKepulangan Gus Sulthan setelah menyelesaikan pendidikan S2-nya dari Kairo Mesir begitu dinantikan para warga pesantren Al-Hidayah. Namun menjadi awal hari sial bagi Shofia, seorang guru di MA di bawah naungan pondok pesantren Al-Hidayah. Gadis itu t...