Setelah melakukan shalat sunnah dua rakaat, Shofia pergi ke kamar mandi. Entah apa yang ia lakukan di sana. Karena bersih-bersih sudah ia lakukan saat akan melaksanakan shalat. Mungkin ia tengah menjinakkan degup jantung yang menggila, atau mengatur deru nafas yang seakan kejar-kejaran dengan detak jantungnya.
Sulthan tengah duduk menekuri sebuah buku di sofa saat Shofia keluar dari kamar mandi. Derap wanita itu serta suara pintu tertutup menyentak keheningan pria yang telah mengganti kemeja putih dan celana hitamnya dengan kaos putih dan sarung batik sogan. Wajahnya mendongak perlahan, pandangannya teralihkan dari buku yang ia pegang kepada sosok penghuni baru kamarnya. Degup jantungnya kini tak terkendali, bahkan suaranya terdengar oleh telinganya sendiri seakan berlomba dengan detak jarum jam dinding yang tergantung. Dengan desiran darah yang mengalir deras netranya terus memindai jengkal demi jengkal tubuh Shofia dari kaki, hingga tubuh bagian atas istrinya itu. Dan begitu pandangannya lurus sempurna, dengan susah payah ia meneguk saliva.
Bagaimana tidak?
Pemandangan di hadapannya menampilkan wanita bersurai sedikit bergelombang sepunggung yang dibiarkan tergerai, gaun tidur yang ia pakai memamerkan bagian tubuh yang selama ini tersembunyi, kulit putih mulusnya begitu tampak bercahaya di bawah temaram lampu. Wanita itu tampak begitu cantik.
Dengan gaun tidur tanpa lengan berwarna broken white, Shofia tampak berdiri dengan canggung. Dengan sekuat tenaga rasa malu coba ia tepis dari dalam benaknya, karena ia tahu mulai malam ini Sulthan adalah pemegang kunci surganya, maka ia akan berusaha melayani sang suami dengan sebaik-baiknya. Mengabaikan perasaannya yang masih dihuni orang lain, ia akan berusaha menerima laki-laki yang kini telah menjadi suaminya itu.
Bibir Sulthan bergetar, gelenyar aneh menjalari seluruh tubuhnya, membuat tubuhnya seakan terbakar. Panas. Ia merasakan ruangan ini begitu panas. Dengan tak tahu malu buliran lembut peluh menyembul dari pelipisnya.
Namun, gejolak yang membuncah dari dalam dirinya sontak sirna saat ia menemukan sinar yang redup dari netra indah Shofia. Mata sendu itu seakan merefleksikan rasa di dalam hatinya, pendarnya tak mencerminkan kebahagiaan di dalam sana.
Sulthan bangkit, meraih outer yang tersampir di sofa lalu menghampiri istrinya. Di pasangkannya outer itu untuk menutupi tubuh Shofia.
“Jangan terlalu terbuka, nanti kalau masuk angin. Gimana, heum? “ Seloroh Sulthan, netranya terus menatap iris coklat wanita itu seraya tersenyum samar. Shofia yang tengah terpaku, sontak terlonjak begitu mendapati dirinya sudah berada dalam gendongan Sulthan.
“Gus! “ Matanya membola, tangannya refleks melingkar di leher pria itu.
Sulthan membawa Shofia ke ranjang, dan merebahkannya di sana. Shofia membisu. Tubuhnya membeku.Ditatapnya wajah cantik istrinya tanpa hijab yang selalu ia kenakan. Sungguh, betapa maha karya Tuhan tersaji jelas di matanya. Semua detail wajah itu, mata, hidung, alis dan bulu mata yang begitu indah. Dan mata hazel itu, bagai lautan yang menenggelamkan dirinya dalam pesona wanita terkasihnya itu.
Kepalanya menunduk, dikecupnya kening Shofia lembut dan dalam.
“Maafkan aku, sudah lancang mengetuk pintu hatimu. Padahal aku tahu ada orang lain di dalamnya. Aku berharap ia tidak akan berlama-lama. Karena aku sudah mantap dan tak mungkin mundur. Karena aku sudah terikat janji dengan Tuhanku. Maka biarkan aku menunggu di depan pintu ini, menunggu sampai ia pergi. Hingga di suatu hari nanti, kamu sendiri yang akan membukakan pintu itu untukku. “ Ucapnya.
“Hari ini begitu melelahkan. Istirahatkan dirimu. Tidurlah..” Imbuhnya seraya membelai kepala Shofia.
“Gus..” Lirih Shofia merasa tak enak. Membuat Sulthan yang hampir saja berbaring kembali menatapnya.
“Tenanglah, Aku tidak akan memaksamu untuk melayaniku. Sampai aku benar-benar berhasil membuatmu jatuh cinta padaku. Mengganti nama orang lain di dalam hatimu menjadi namaku. Aku mencintaimu, dan aku ingin kamu juga mencintaiku. Aku akan bersabar menunggu hari itu. Di mana aku bisa melihat sorot kebahagiaan di matamu saat kau bersamaku. “ Ucap Sulthan.
“Tapi selama aku menunggu, izinkan aku melakukan kewajibanku sebagai suami, untuk mencintai dan menyayangi, memperlakukanmu selayaknya seorang istri yang aku kasihi, memberikanmu perhatian dan pertolongan saat kau membutuhkan. Sebagai tanggung jawabku kepada Tuhanku.” Ia meraih tubuh Shofia ke dalam dekapannya menghirup dalam-dalam harum Surai hitam panjang itu. Shofia tenggelam dalam dada bidang itu, menghidu aroma maskulin yang membawanya ke dalam ketenangan yang entah dari mana datangnya, padahal selama ini saat bersinggungan dengan Sulthan urat lehernya selalu menegang karena kesal. Perlahan air mata yang menggenang mengucur membasahi pipinya. Dua sejoli itu tengah menikmati tiap degup jantung yang bertalu-talu, membawa mereka pada rasa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Beberapa jam berlalu, rasa lelap tak kunjung Sulthan dapatkan. Ia pun melepaskan tangannya dari tubuh Shofia, lalu bangkit dengan perlahan dari ranjang. Ia melirik jam dinding menunjukkan jam dua malam. Ia berjalan ke kamar mandi, ia mandi dan mengambil wudlu untuk shalat malam.
Setelah shalat malam, ia buka mushafnya dan mulai membacanya. Shofia yang juga tak tidur seperti halnya Sulthan, mendengar suara merdunya dalam diam. Suara jernihnya seolah memecah keheningan malam. Ia mendengarkan dengan mata terpejam. Jujur ia bingung apa yang harus ia lakukan. Hingga suara merdu Sulthan mengantarkannya pada rasa lelap yang sedari tadi tak kunjung datang.“Dik, bangun.” Ucapnya seraya membelai puncak kepala Shofia. Perlahan mata Shofia terbuka. Ia sedikit terlonjak mendapati wajah Sulthan yang begitu dekat dengan wajahnya. Hampir saja ia lupa bahwa sekarang ia telah menikah. Dan orang di depannya ini adalah suaminya.
“Kenapa? Kaget ya liat bidadara? “ Goda Sulthan, semakin mendekatkan wajahnya di depan wajah Shofia.
Shofia membalas dengan raut jengah seraya memundurkan wajahnya.
“Bangun yuk. Udah adzan subuh. Maaf tadi nggak ngajak tahajud, kayaknya kamu capek banget. “Ajak Sulthan seraya mengusap pipi istrinya. Manis. Kata yang mampu menggambarkan perlakuan Sulthan padanya. Alih-alih memaksakan malam pertama, laki-laki itu justru membuatnya merasa seperti tuan putri yang begitu dimanja.
“Aku ke masjid dulu.” Dikecupnya kening Shofia lalu berjalan meninggalkan kamar.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Until You Love Me
RomanceKepulangan Gus Sulthan setelah menyelesaikan pendidikan S2-nya dari Kairo Mesir begitu dinantikan para warga pesantren Al-Hidayah. Namun menjadi awal hari sial bagi Shofia, seorang guru di MA di bawah naungan pondok pesantren Al-Hidayah. Gadis itu t...