65. Solo

679 32 1
                                    

Hai..
Hallo..
Bismillah..

❤️❤️❤️

Angka yang tertera di pojok kiri atas gawai dalam genggaman Arga menunjukkan pukul 12. 30 saat ia menyadari sudah setengah jam ia larut terpekur menatapnya. Dan sudah setengah jam pula guru homeschoolingnya keluar dari rumahnya. Ya, selama menunggu waktu ajaran baru, Andhika memberikan fasilitas homeschooling untuk Arga. Sampai waktu nanti di mana ia akan pindah sekolah ke sekolah swasta elit pilihan ayahnya. Bukan kemauannya. Karena seperti biasa, ia hanya berperan sebagai boneka, sedang Andhika sebagai sang sutradara. Geraknya mengikuti gerak tangan sang ayah. Tanpa bisa menolak bahkan membantah. Walau sering adu urat leher, tapi selalu berakhir sama, Andhikalah pemegang kendalinya.

Pagi tadi ia sempat terperanjat dengan sebuah video yang lewat di beranda sosial media, sebuah unggahan yang berasal dari akun Sulthan, gusnya. Yang berhasil mengganggu pikirannya hingga membuat konsentrasinya hilang entah ke mana saat ia harus menaruh perhatian penuh pada guru yang tengah menyampaikan materi.

Dan kini, kembali ia membuka video yang sama. Ekspresi-ekspresi itu, ekspresi teman-teman sekolahnya yang selama ini tak pernah ia amati. Ia selalu bersikap abai, tak peduli dengan apapun yang terjadi selama berada di pesantren. Hingga hanya beberapa orang temannya saja yang ia hafal namanya. Selebihnya ia tidak tahu. Dan enggan untuk mencari tahu. Dengan nama besar orang tua yang tersemat di akhir namanya, ia bisa melakukan apapun, termasuk menyuruh-nyuruh temannya dengan imbalan yang  lumayan besar. Ya, cukuplah buat beli sebungkus paket nasi Padang murah meriah, apalagi di hari Jumat berkah.

Lewat video itu, sesuatu yang hangat terasa menjalar di sekujur tubuhnya, ingatannya membawanya pada segala memori tentang dirinya dan Al-Hidayah.

Dari apa yang ia lihat di video itu, ia bisa merasakan ketulusan Shofia saat ia dapati bahu guru Bahasa Inggrisnya itu bergetar saat melihat dirinya di salah satu slide yang ditayangkan. Mengingatkannya pada beberapa interaksinya dengan guru yang terkenal cantik itu. Satu-satunya guru yang melakukan pendekatan padanya dengan banyak celoteh yang diiringi kesabaran tingkat dewa yang lebih banyak ia abaikan. Atau lebih tepatnya selalu ia abaikan. Dirinya akan pergi tanpa aba-aba bahkan saat Shofia belum selesai menyampaikan nasihat untuknya. Berbeda dengan guru-guru lain yang tampaknya sudah jengah dengan segala kenakalan yang selama ini ia lakukan. Mereka cenderung tak peduli dan membiarkannya, karena status sosial yang dimiliki sang ayah. Walaupun ada beberapa dari mereka yang kadang menunjukkan kekesalan padanya tanpa berani memberikan hukuman. Namun, semua itu seakan bukan sesuatu yang mampu menghalanginya untuk berbuat seenaknya sendiri.

Shofia dengan begitu telaten tanpa memberikan tekanan dan intimidasi padanya mencoba menelusuri sisi lain Arga yang tak mampu orang lain pahami. Dan kini Arga bisa merasakan bahwa wanita itu selama ini telah memberikan perlakuan yang berbeda dari orang-orang yang bersinggungan dengannya. Dari semua bahasa yang Shofia sampaikan padanya mengisyaratkan bahwa wanita itu mampu melihat setiap lara yang ia simpan rapat-rapat dalam hidupnya. Ada yang berdenyut berbeda di satu titik dalam hatinya. Perasaan bahwa masih ada seseorang yang peduli dengan apa yang ia rasakan dan alami.

Di sana pula ia bisa melihat bagaimana Asep teman sekamarnya di asrama, juga teman sebangkunya di sekolah, yang selama ini cenderung tidak diperlakukan sebagai teman baginya tapi lebih kepada kaki tangannya yang bisa ia setir, ia suruh-suruh untuk mengerjakan semua tugas sekolah yang sering ia lewatkan.

Awalnya Asep melakukan semua itu karena mendapatkan imbalan yang besar atas apa yang ia lakukan untuk anak pejabat itu. Namun tak jarang pula tanpa disuruh, Asep dengan sendirinya membawakannya makanan dari dapur pesantren, sekali waktu membelikan obat saat masuk angin mendera tubuhnya. Lambat laun, mungkin Asep merasa bahwa keberadaan dirinya memang Allah kirimkan untuk melengkapi takdir Arga yang gersang dan tandus. Baginya Arga tak ubahnya tanaman kering yang butuh setetes air jernih yang mampu menyegarkan kembali tubuhnya yang kerontang. Itu sebabnya ia bisa bertahan berdampingan dengan seorang teman yang mirip dengan pokok pohon yang hanya bisa  diam membisu kala diajak bicara. Berhadapan dengan Arga tak ubahnya lewat depan kuburan, hawa dingin dan horor begitu terasa. Karena wajahnya seakan tak terlatih untuk tersenyum.

Until You Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang