26. Sowan?

658 44 1
                                    

Gemuruh di dada bergejolak hebat
Mengoyak hati, perih
Rasa yang kian tumbuh,
Akankah berakhir di sini,
Kala ia Tak kunjung temukan semi.

"Kenapa ta si Sulthan dik?" Tanya Abah di sela kegiatannya makan seblak buatan Shofia.

"Gak eruh bah. (Nggak tau bah)." Jawab Salma sambil mengedikkan bahu.

"Sana Dik. Dilihat dulu putramu itu." Titah Abah khawatir.

"Nggih bah." Salma pun meninggalkan Yahya sendiri di ruang makan dan beringsut menuju kamar Sulthan.

Melihat ada yang nampak aneh dalam pengawasannya, umi Salma tergerak untuk berbicara dari hati ke hati dengan putranya.

Diketuknya pintu kamar Sulthan yang terbuka sebagian.

"Masuk umi," titah Sulthan.

Umi Salma pun masuk, menghampiri Sulthan dan duduk di sebelahnya. Di sofa panjang Gus itu tengah mengatur nafasnya yang memburu karena rasa cemburu yang menguasai hatinya. Tasbih digital yang melingkar di jari telunjuknya tak henti-hentinya ia tekan seirama dengan lafal istighfar yang terbersit dalam hatinya.

"Ada apa sih nak?" Tanya umi Salma lembut, diusapnya punggung putranya yang tampak murung.

"Nggak ada apa-apa kok Mi, " jawab Sulthan. Senyum getir tak mampu menutupi kekacauan yang terjadi di hatinya. Dahi Salma mengernyit mencoba membaca apa yang sedang terjadi pada putranya.

"Umi denger, kamu sering ngerjain Shofia ya. Nyuruh dia ke pasar, memasak, ke mall. Kasihan loh, anak orang itu."

"Itu demi kebaikannya umi. Untuk melatih agar dia kuat dan tegar. Tak gentar dalam menghadapi segala ujian dalam hidup jika kelak ia jadi pemimpin. Atau pendamping seorang pemimpin. "

Umi Salma tersenyum simpul mendengar alasan dari putranya itu. "Maksud kamu pendamping seorang Gus gitu? Menjadi Ning di pesantren ini? " tanya umi menyelidik.

"Hmm?" Salma tak tahan untuk menahan senyum. Netra teduh milik wanita paruh baya itu menelisik, mencari ujung mata Sulthan yang tengah menunduk. Begitu tatap mereka beradu, seulas senyum kontan tergambar di wajah putranya selaras dengan telinganya yang mendadak memerah karena tersipu.

Reaksi Sulthan meyakinkan Salma tentang dugaannya selama ini. Dalam diam ia memperhatikan segala perlakuan Sulthan terhadap Shofia. Dan puncaknya adalah saat kemarin Sulthan menggoda Shofia di atas panggung majelis. Pernyataan putranya bahwa ia menyukai gadis yang pandai memasak tidak lain pasti itu Shofia. Sudah lama ia dan Yahya punya rencana untuk menjodohkan Sulthan dan Shofia, tapi Harun datang untuk meminta Sulthan untuk menikahi Humaira. Tak disangka, Sulthan menolaknya. Sepertinya perasaan anaknya itu begitu kuat untuk Shofia. Mengingat Humaira putri kyai Harun itu disebut-sebut sebagai wanita yang istri-able di kalangan para Gus.

"Apa Abah sama umi perlu sowan ke rumah Shofia di solo?"

Sulthan tercekat. Istighfarnya terhenti demi menangkap ucapan uminya barusan.

"Sowan?"

"Iya, buat ketemu sama orangtua Shofia." Jawab umi Salma lembut.

"Umi setuju, seandainya Sulthan menikah dengan Shofia? " raut wajah Sulthan sontak berubah. Yang awalnya terlihat tampak lesu, kini berubah antusias.

"Kenapa enggak? Shofia gadis yang baik. Dia sudah lama di sini. Umi kira dia pantas menjadi pendampingmu. Apalagi kamu tergila-gila sama masakannya kan?" goda umi pada anak laki-laki keduanya itu.

"Terlebih lagi, dia itu putri dari sahabat Abah dulu waktu mondok. Abah pasti senang kalau bisa besanan sama sahabatnya itu. "

Sulthan membisu. Jujur dia bahagia, kekhawatirannya selama ini jika orangtuanya tak akan suka jika ia menikahi Shofia ternyata hanya ketakutannya saja. Tapi, ada ketakutan lain yang sulit ia elak dalam hatinya.

Until You Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang