Senin pun tiba. Hari yang dibenci sebagian orang, karena harus kembali ke rutinitas yang membosankan. Andai saja jam di hari Minggu bisa ditambah menjadi lebih dari 24 jam, mungkin banyak orang akan merasa bahagia.
Hari ini, seperti yang sudah dijadwalkan, Alif, Shofia dan Khodijah akan pergi ke pondok pesantren Al-falah tempat di mana lomba diadakan. Bersama beberapa santri laki-laki dan perempuan terpilih mereka berangkat dengan semangat.
Dua santri laki-laki dan satu perempuan mewakili lomba cerdas cermat. Mereka didampingi Shofia, Alif dan Khodijah. Sedangkan dari cabang olahraga dan ekstra kurikuler didampingi guru yang lain. Mereka akan bersaing dengan kelompok dari pesantren lainnya. Masing-masing kelompok yang mengikuti cerdas cermat berdiri di belakang meja kecil, dan terdapat tombol di atasnya. Siapapun yang dapat menjawab pertanyaan bisa memencet tombol itu. Siapa cepat, dia boleh menjawab.
Shofia terhenyak saat tahu Sulthan duduk menjadi salah satu juri di sana. Bagaimana bisa ia tidak tahu? Aiman bahkan tidak memberitahu padanya.
Sulthan tengah bercengkrama dengan juri lainnya yang duduk di sampingnya. Seorang ustadz dari pesantren itu. Ada empat juri sudah siap duduk di kursi yang telah disediakan. Sulthan selalu tampak seperti gelas di tengah hamparan pasir pantai yang diterpa sinar mentari, tampak berkilau dari kejauhan.
Sulthan tahu ada Shofia di kursi penonton di di sana. Keberadaan Shofia di sini membuatnya memutar otak agar bisa hadir di perlombaan ini. Gus Raffa yang seharusnya duduk sebagai juri, dengan terpaksa menuruti kemauan sang adik untuk menggantikannya. Dirayunya sang kakak, dengan berbagai alasan yang membuatnya tak bisa menolak permintaan sang adik. Bahkan ia menunda jadwal colab bersama temannya hari ini menjadi esok hari.
Lomba berjalan sangat seru. Masing-masing peserta, sepertinya benar-benar murid terpilih dari sekolahnya. Riuh rendah tepuk tangan terdengar membahana ke seluruh ruangan. Yel-yel digaungkan oleh para pendukungnya masing-masing, menambah semangat para peserta. Saat peserta yang mewakili sekolah dimana ia mengajar, berturut-turut mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan, Shofia, Khodijah juga Alif tampak sumringah. Senyum tak lepas dari wajah mereka, saling lempar pandang satu sama lain. Shofia tampak kehausan, dengan sigap Alif menyodorkan botol air mineral pada gadis itu yang tutupnya sudah ia buka sebelumnya. Shofia menerimanya dengan seulas senyum.
Dari kejauhan ujung netra legam itu menangkap bayangan yang membuat tatapannya menajam. Nafasnya memburu, sepertinya keputusannya untuk hadir di sana adalah keputusan yang salah. Bukan pemandangan seperti itu yang ia harapkan. Namun bukan Sulthan, jika ia tidak bisa menghandle perasaannya yang tak menentu seperti sekarang ini. Ia masih bisa melaksanakan tugasnya di sana dengan baik. Walau air mukanya tampak sedikit suram.
***
Acara selesai. Sulthan berjalan menghampiri santrinya, yang berdiri bersama Shofia, Khodijah juga Alif.
"Selamat ya. Kalian keren. Terima kasih sudah berusaha dengan maksimal. " Uluran tangan ia berikan pada santri laki-laki, dan menangkupkan kedua tangan di dada saat menatap santri perempuan.
"Terima kasih Gus. " Balas para santri.
"Syukron ustadz. " Ucap Sulthan, menyalami Alif dan merengkuh tubuhnya. Ditepuk-tepuknya lengan Alif, akrab. Pelukan khas para laki-laki.
"Afwan Gus." Balas Alif.
"Laper nggak Di?" Tanyanya pada Khodijah. Gerak matanya bergulir ke arah samping Khodijah, melirik Shofia sekilas.
"Tau aja Gus." Seloroh Khodijah.
"Pengen traktir kalian makan. Tapi saya masih ada acara ramah-tamah di sini. Jadi mungkin lain kali. " Sesal Sulthan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Until You Love Me
RomanceKepulangan Gus Sulthan setelah menyelesaikan pendidikan S2-nya dari Kairo Mesir begitu dinantikan para warga pesantren Al-Hidayah. Namun menjadi awal hari sial bagi Shofia, seorang guru di MA di bawah naungan pondok pesantren Al-Hidayah. Gadis itu t...