43. Batu Bata

815 32 5
                                    

Percikan api yang membentuk bunga Desember dari setangkai kawat lidi yang berpijar dalam genggaman seorang wanita, memendarkan wajah ayunya ditengah pekatnya malam. Cahayanya menampakkan senyum yang telah hilang dari peredaran, sejak pulang dari acara syukuran ulang tahun Athar. Menularkan senyum lega nan manis dari pria di sampingnya yang sedari tadi tak mengalihkan pandangannya walau banyak suara berisik, riuh rendah manusia yang melebur bersama desir angin malam. Di tangannya sama-sama menggenggam lidi kembang api yang berpijar pula.

Kelopak mata yang tadinya sembab dan memerah, kini berkerut menyematkan lengkungan bulan sabit di bibirnya. Merekah indah bak kelopak bunga mawar di musim semi. Wajahnya tampak sangat berbinar, entah karena ramainya manusia di sekeliling mereka, atau karena hamparan langit gelap yang bertabur bintang, atau karena kembang api yang berpijar terang.

Netra legam itu terus menatapnya, tak ingin sedetikpun melewatkan kesempatan yang ada. Kesempatan untuk menikmati wajah cantik istrinya dalam jarak begitu dekat tanpa mengusik sang empunya. Ternyata distraksi yang ia tawarkan pada perempuan yang tengah dirundung gelisah itu, mampu memberikan efek menggembirakan seperti yang ia harapkan. Sepanjang sore tadi, hawa suram tergambar jelas di wajah Shofia. Perempuan yang sangat dicintainya itu mendadak bungkam seakan malas berkata-kata. Rencananya membawa Shofia ke alun-alun beberapa waktu lalu yang sempat gagal akhirnya kesampaian juga. Demi mengembalikan ceria ke dalam diri wanita yang sedang terbelenggu nestapa.

Rumput jepang terhampar melingkar, bak permadani hijau nan luas menjadi alas di mana dua sejoli itu tengah duduk menikmati suasana hingar bingar alun-alun kota.

Beratapkan langit penuh bintang bergelayut membuat gelapnya malam berpendar indah. Seolah mengajak bulan turut menari merayakan malam penuh suka cita.

"Apa mas nggak nyesel, sudah menolak Ning Humaira? Beliau itu sudah cantik, cerdas, aktif menyuarakan gagasan-gagasan keren demi menebar manfaat untuk orang banyak. Beliau begitu dihormati dan disegani masyarakat, sangat pas seandainya menjadi pasangan seorang Gus Sulthan yang juga begitu dielu-elukan banyak orang. Ning sama mas itu, sama-sama orang yang diidolakan. Menolak berlian, demi batu bata kaya saya, yang bukan siapa-siapa ini, apa bukan suatu tindakan bodoh mas?" Segelintir hal yang mengganggu pikirannya beberapa saat yang lalu setelah bertemu dengan Ning Humaira, memaksa untuk keluar menerobos pintu perasaan gamang yang memenuhi benaknya.

Setelah cukup bermain-main dengan kembang api, sepasang suami istri itu kini tengah duduk lesehan, saling berhadapan dengan meja kecil sebagai pemisah sembari memperhatikan orang-orang berlalu lalang di sekeliling mereka. Menunggu pesanan bakso mereka datang.

Sulthan menghela, merasa lega karena patung cantiknya pada akhirnya kembali bersuara.

"Nggak, kenapa harus nyesel? Kan aku udah pernah bilang, kalau aku memilihmu bukan semata-mata kemauanku sendiri. Tapi hasil dari istikharah yang aku panjatkan selama ini.."

"Apa mas nggak takut jika penyesalan itu akan muncul di kemudian hari?" Tanya Shofia seolah jawaban Sulthan belum sepenuhnya memuaskan apa yang ingin ia dengar. Perasaan tak nyaman menyerang jika mengingat pernikahan mereka dibangun dengan dua hati yang tak sejalan.

"Kamu sendiri, apa ada rasa takut jika hal itu terjadi?" Sulthan meletakkan tangan di atas meja, mengangkat wajah, menatap lurus pada wanita yang tampaknya menyimpan gurat kekhawatiran yang belum mampu perempuan itu sadari. Tatapannya lekat, seakan menunggu jawaban. Namun bukan jawaban yang ia dengar, melainkan sikap kikuk tersaji jelas dari wanita yang tampak cantik dengan jilbab dusty pink, yang melambai-lambai diterpa hembusan angin. Gerak matanya sibuk mencari tempat untuk mengalihkan fokusnya. Namun mata elang itu mengurungnya hingga ia tak kuasa untuk bergerak.

Sulthan menyerah. Walaupun ia merasa ada kekhawatiran yang tergambar dari gestur wanitanya. Walau hanya sedikit. Mungkin hanya satu titik, sehingga wanita itu belum mampu menyadarinya. Sulthan tak lagi menuntut jawaban. Akan ia biarkan rasa yang berbeda itu tumbuh secara perlahan di hati Shofia, tanpa paksaan dan tanpa tekanan. Biarkan ia mengalir dengan sendirinya seperti udara dalam setiap hembusan nafasnya, yang terus menerus ia hirup, geraknya tak begitu terasa. Namun, alirannya mampu memenuhi seluruh rongga paru-parunya. Semoga dengan segala ketulusan yang ia berikan dalam memperlakukan istri tercintanya selama ini mampu merubah isi hatinya secara perlahan.

"Siapa bilang kamu bukan siapa-siapa? Kalau kamu anggap Ning Humaira adalah berlian karena sosoknya yang tampak berkilau, lalu apa yang mendasari kamu mengganggap diri kamu itu batu bata?

Kamu pasti pernah dengar, tentang bukan sebongkah emas yang dibutuhkan oleh orang yang sedang tenggelam. Melainkan sebongkah balok kayu. Semahal apapun emas, benda itu tak akan mampu membawa orang yang tenggelam ke permukaan. Karena sifatnya yang memiliki massa jenis yang lebih besar dibanding massa jenis air laut. Makanya ia tenggelam dan tidak bisa dipakai untuk menolong orang yang tenggelam. Segala sesuatu sudah ada tempat dan fungsinya masing-masing.

Ning Humaira yang aktif dalam organisasi, ia sedang berusaha sebaik mungkin yang ia bisa untuk mengupayakan dirinya menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang banyak. Dan kamu, hanya karena kamu nggak dikenal banyak orang bukan berarti kamu bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa.

Sebagai guru, kamu juga tak kalah penting dalam berkontribusi di dalam proses tumbuh kembang seseorang. Menyampaikan ilmu yang kamu pelajari sehingga kelak mereka bisa menjadi makhluk yang bermanfaat untuk orang lain. Membantu orang tua mereka dalam mengajarkan ilmu di luar yang bisa mereka ajarkan.

Lagipula, kata siapa batu bata itu biasa? Batu bata itu terbentuk dari tanah lembek yang ditempa, dibakar dalam suhu tinggi hingga ia menjadi keras. Hingga akhirnya ia mampu membentuk dinding yang kokoh.

Ohya, puisi Alfan menjadi salah satu bukti bahwa kamu bukan batu bata biasa. Apalagi, batu bata yang ini, batu batanya bisa senyum. Kalau udah senyum, kilau berlian lewat. Batu batanya Gus Sulthan. Yang kalau ngambek bikin orang bingung nggak ketulungan. " Sulthan menjeda kalimat panjangnya, mendapati bibir istrinya yang tiba-tiba mengerucut kesal. Lalu tersenyum samar sebelum melanjutkan kalimatnya lagi.

"Jangan insecure, tapi jangan pula cepat merasa puas dan berbangga diri. Teruslah semangat untuk berubah lebih baik ke depannya. Tapi kamu juga harus ingat, semua orang berdiri di tempatnya masing-masing dengan tugasnya masing-masing pula. Tugas kamu sebagai guru juga nggak kalah keren. Kamu tahu, semua pelajaran yang murid kamu amalkan, akan menjadi amal jariyah untukmu, yang pahalanya akan selalu mengalir seumur hidupmu, bahkan lebih dari itu.

Yang aku dengar dari Alfan, kamu itu sering jadi tong sampah buat murid-murid kamu. Kamu itu tempat curhat paling nyaman melebihi guru BK katanya. Itu kenapa banyak murid yang mengidolakan kamu dik. Dan Alfan, salah satu dari mereka yang baper sama perhatian kamu yang besar itu. "

Shofia tertegun. Sibuk menelaah tiap kalimat yang meluncur dari bibir suaminya. Suami yang selama ini ia lihat sebelah mata. Hanya karena hobinya yang ia anggap terlalu narsis bagi seorang Gus. Baginya Gus itu, selalu ingin menampakkan diri, dan haus akan pujian manusia. Mungkin inilah alasan mengapa banyak orang yang terbius dengan wajah ganteng dan terhipnotis dengan segala tutur kata manis yang terucap dari suami tampannya itu. Gaya bicara yang lembut sehingga mudah menembus ke relung hati siapa pun yang mendengarnya. Dan selama ini, semua kebaikan yang ada padanya tertutup oleh ketidaksukaannya pada laki-laki yang kini duduk berhadapan dengannya.

Dua mangkok bakso dan dua gelas es teh datang memecah ketertegunan Shofia. Bapak penjual bakso pun berlalu, setelah mempersilahkan pelanggannya untuk menikmati bakso istimewa buatannya dengan perang batin mendera.

Kayak pernah liat, tapi siapa ya? Tapi Di mana ya?

Shofia mengangkat tangan hendak mengambil botol saus di hadapannya. Dalam gerak cepat, ia tak tahu jika Sulthan juga akan mengambil botol itu. Dia tak bisa mencegah kala tangannya terlanjur menangkup tangan suaminya yang tengah memegang badan botol. Begitu kulitnya merasakan kulit tangan pria itu, dengan secepat kilat Shofia segera menarik tangannya. Dan wajah itu, wajah tampan milik suaminya menampilkan ekspresi nakal seolah mengatakan,"eh udah berani pegang-pegang ya sekarang" .

"Maaf mas, nggak sengaja. Silahkan mas duluan. " Shofia mengerjap gugup.

"Sengaja juga nggak apa-apa. Mau pegang lagi juga boleh. " Selalu, senyum tengil tergores di wajah Sulthan. Yang ditanggapi dengan pelototan Shofia yang semakin membuat pria itu terkekeh.

"Siniin mangkoknya. " Sulthan bermaksud menuangkan saus pada bakso milik Shofia.

"Nggak apa-apa mas. Biar saya sendiri."

"Siniin mangkoknya, atau.. mau aku cium.. di sini. "

***

Until You Love MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang