Di depan pintu kamar, Arga menghembuskan nafas pelan mencoba meraup keberanian yang ia rangkum sejak tadi siang. Banyak hal yang ia pikirkan setelah melihat postingan santri Al-Hidayah tentang Shofia. Keputusan yang tiba-tiba tercetus yang tak pernah sedikitpun terbayang bahkan dalam rencananya beberapa hari terakhir setelah ia diambil paksa oleh ayahnya dari pesantren. Saat itu, bisa dibilang Arga menikmati keputusan ayahnya untuk membawanya pulang. Bahkan amat sangat mensyukurinya. Dalam diam, ia berjingkrak riang.Bukankah itu tujuan dari semua tingkah kenakalannya selama ini?
Membuat gara-gara agar dikeluarkan dari penjara suci, yang ia pikir terlalu banyak membatasi gerak dan mengurung segala minat serta merampas kebebasan dalam hidupnya. Dan akhirnya, setelah berkali-kali pelanggaran yang dilakukan, kini ia telah sampai pada tujuannya.
Namun kali ini agaknya Arga berubah haluan. Ia ingin kembali ke sana. Ke dalam penjara suci yang ia rasa lebih nyaman daripada istana megahnya. Dan detik ini juga, Ia sudah membulatkan tekad untuk menyuarakan keinginannya sendiri. Tak peduli seberapa keras ayahnya akan menolak keputusannya. Ia akan berkeras untuk memperjuangkan apa yang ia inginkan.
Seolah mendapatkan secercah kekuatan, Ia ingin mencoba membenahi niatnya. Bisa saja apa yang selama ini ia cari, yang tak lain adalah ketenangan dan juga kehangatan justru ada di dalam pesantren. Dan selama itu pula ia sudah abai dan mengacuhkannya. Dan mungkin saja dengan belajar di pondok pesantren ia bisa membahagiakan ibunya di surga. Karena ia akan belajar bagaimana caranya menjadi anak yang berbakti khususnya kepada sang ibu yang telah tiada.
Langkahnya terlihat ragu, namun kepalan tangannya seolah menunjukkan tekad kuat yang tak akan membuatnya mundur sejengkal pun. Arga menghampiri ayahnya yang tengah bercengkrama dengan keluarga barunya. Ya, keluarga kecil penuh kehangatan. Namun di sekelilingnya terdapat sekat yang amat tebal yang seolah tak mengizinkan Arga untuk masuk ke dalamnya. Menjadikan dirinya tak ubahnya setetes minyak yang tak bisa melebur dengan mereka yang layaknya air dalam bejana. Di dalamnya ia terombang-ambing sendiri. Dia asing di rumahnya sendiri. Bukan, ini bukan rumah. Arga tak punya rumah. Satu-satunya rumah yang mampu menghangatkannya adalah ibunya. Saat sang ibu pergi, maka di saat yang sama, roboh pula rumahnya. Dan di saat itu juga ia seolah kehilangan tempat untuk pulang.
Di ruang tengah Arga bisa melihat, Andhika duduk melantai di karpet empuk yang menjanjikan kehangatan yang timpang di rumah megah nan luas itu. Bersama Arsyila, istrinya, dan kedua anaknya yang tampak tampan dan cantik. Raka, putra pertamanya yang berusia tiga belas tahun. Nama inilah yang membuat telinga Arga berdengung hebat, karena setiap kali ia mendengar nama Raka disebut sang ayah, saat itulah ia harus menahan rasa pedihnya dibanding-bandingkan. Raka yang begitu dielu-elukan karena mewarisi DNA kepintaran Andhika, terbukti dengan segala prestasi yang ia raih.
Dunia sangat adil bukan?
Dia sudah merampas ayahnya, dan dia yang berada di atas angin.
Raka, yang sebelumnya ia ketahui sebagai putra bawaan sang ibu tiri. Namun, belakangan ia ketahui bahwa Raka juga anak dari Andhika. Karena selama ini ayahnya itu telah menduakan Silvia, ibunya. Diam-diam sang ayah menjalin cinta dengan Arsyila dengan menikah siri. Dan pernikahan keduanya yang diadakan dua tahun yang lalu hanya sebagai bentuk peresmian agar Arsyila mendapat pengakuan setelah sekian lama disembunyikan. Selama itu pula Arga dan sang ibu menahan rasa sakitnya diabaikan dan tak dianggap ada. Tak ada cinta untuk Silvia, adalah alasan yang ia tangkap dari berbagai perlakuan tak adil sang ayah terhadap ibunya.
Sandrina, Adik tirinya yang kedua, yang baru berusia setahun. Anak perempuan mungil yang lucu. Tingkahnya yang lincah dan wajahnya yang menggemaskan akan menarik siapapun untuk menyapa. Namun, kehampaan hati Arga, seolah menahan Arga untuk mendekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Until You Love Me
Любовные романыKepulangan Gus Sulthan setelah menyelesaikan pendidikan S2-nya dari Kairo Mesir begitu dinantikan para warga pesantren Al-Hidayah. Namun menjadi awal hari sial bagi Shofia, seorang guru di MA di bawah naungan pondok pesantren Al-Hidayah. Gadis itu t...