26. Interaksi

1K 74 2
                                    

"Kau belum tidur?" Junno Keluar dari kamarnya saat mendengar suara televisi di ruang tengah, dan Camelia masih berada di sana menatap layar yang menayangkan acara malam.

"Aku tidak bisa tidur." Perempuan itu menjawab.

"Masih memikirkan adikmu?"

Camelia menganggukan kepala.

"Kenapa?" Junho bertanya, dan itu membuat Camelia mendongak.

"Apa dia sangat berarti bagimu, sehingga kau memikirkannya sedalam itu?"

Camelia belum menjawab.

"Hanya orang paling berarti yang berhak kau pikirkan, dan sebaliknya mereka juga menganggapmu berarti. Tapi dari caranya tadi bicara kepadamu, aku rasa dia tak begitu." Junno melenggang ke arah dapur kemudian melakukan sesuatu, dan dalam beberapa menit saja dia sudah kembali.

Pria itu meletakkan dua cangkir kopi di meja yang salah satunya dia geser ke depan Camelia.

"Apa dia sering berbuat begitu kepadamu?" Junho memulai percakapan.

"Tidak. Hanya akhir-akhir ini saja setelah aku sering telat mengirimkan uang." Camelia menjawab.

"Sebelumnya tidak pernah?"

Dia menggeleng lagi.

"Kenapa?"

"Ya karena aku telat mengirim uang."

"Maksudku kenapa kau sampai telat mengirimkan uang?" Junho menyesap kopinya yang mengepulkan uap panas.

Camelia mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

"Kau sedang mendidik keluargamu untuk tidak terlalu boros?" tanya Junno kemudian, tetapi Camelia tetap tak menjawab.

"Menurutku itu bagus meski sebenarnya terlambat melakukannya. Tapi memang harus ada yang dilakukan. Apalagi jika mereka sudah terbiasa begitu." Pria itu merebahkan punggungnya pada sandaran sofa.

"Apa perkiraanku ini benar?" Lalu dia melipat kedua tangannya di dada.

"Kau sudah terbiasa memanjakan adikmu ya? Sejak kapan? Sejak kecil?" tanya Junno lagi.

"Aku hanya memenuhi kebutuhan mereka, dan itu memang sangat banyak. Tapi aku tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Mereka terbiasa aku beri segalanya hingga jadi  …." Camelia menggantung kata-katanya.

"Ada berapa adikmu?" Pria itu menatapnya dari jarak yang cukup dekat.

"Dua."

"Mereka sekolah?"

"Kuliah. Mutiara bahkan baru saja masuk di universitas swasta, jadi dia butuh banyak biaya."

"Kau sudah membayar biaya kuliahnya?"

"Sudah." Camelia mengangguk lagi. "Kuliah Alif juga sudah satu smester aku bayar."

"Lalu apa lagi yang dia minta?" Junno melangkah batasan itu semakin jauh saja.

"Biaya sehari-hari padahal bulan minggu sebelumnya sudah aku berikan."

Junno menghembuskan napas keras. "Tindakanmu sudah benar, lalu apa lagi yang kau pikirkan? Kau sudah menjalankan kewajibanmu sebagai kakak jika itu yang mereka permasalahkan, lantas apa yang membuatmu berpikir sekeras ini?"

Camelia menggeser ponselnya ke dekat Junno.

"Apa?" Pria itu menatap ponsel dan wajah Camelia secara bergantian.

"Ibuku menelpon tapi tidak aku angkat. Lalu setelahnya mengirim pesan."

"Ck!" Junno berdecak.

"Kalau tidak kepadaku, lalu pada siapa mereka meminta? Ayah kami sudah tidak peduli apalagi sekarang dia sudah punya keluarga sendiri."

"Hah  …." Pria itu kembali menghela napasnya. "Lalu apa yang dikerjakan ibumu di rumah? Apa dia sakit?  Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain meminta kepadamu?" Pertanyaan itu muncul bertubi-tubi, namun Camelia tidak menjawab lagi.

"Bisa aku pastikan jika ibumu tidak melakukan apa-apa selain mengandalkanmu, kan?" Pria itu kembali menyesap kopinya, dan tetap tak ada jawaban yang keluar dari mulut perempuan itu.

"Dan kau masih memikirkan mereka padahal tidak ada yang peduli selain pada uangmu. Sungguh tidak masuk diakal." Junno menggelengkan kepala, sementara Camelia masih bungkam.

"Lalu sekarang kau masih belum mau tidur? Besok kau syuting pagi-pagi sekali, jadi saranku lebih baik kau istirahat saja," ujar Junno kemudian, dan dia pun beranjak dari tempatnya duduk.

"Kau menyuruhku tidur tapi malah memberiku segelas kopi. Bagaimana aku bisa tidur?" Perempuan itu menggerutu.

"Ya tidak usah diminum, apa susahnya?" Dan Junno segera mengambil cangkir tersebut dari hadapan Camelia, namun dia segera merebutnya sehingga isinya tumpah mengenai pakaian pria itu.

"Aaa!" Junno memekik karena cairan hitam dengan aroma wangi yang khas itu tembus ke dalam dan mengenai kulitnya.

Terasa sedikit panas, dan cairan itu bahkan mengalir hingga ke celananya.

"Oh, astaga! Maafkan aku!" Camelia tentu saja bereaksi.

"Kenapa kau merebutnya?" Junno pun sebaliknya.

"Aku mau meminumnya kenapa kau ambil?" Perempuan itu menarik beberapa lembar tisu kemudian mengusap-usap dada Junno yang basah.

"Aku kira kau tidak mau  …." Dan Junno berusaha meraih tisu di tangan Camelia.

"Diam!" Namun dia membentaknya.

Sebelah tangannya yang lain bahkan menekan dada pria itu sehingga dia berhenti bergerak dan membiarkannya mengeringkan cairan kopi di kaosnya.

Suasana terasa hening untuk beberapa saat dan tak ada satupun dari mereka yang berkata-kata.

Camelia sibuk mengeringkan kaosnya dengan tisu, dan dia sempat menggantinya sebanyak dua kali. Sementara Junno menatapnya dalam diam.

Wajah yang hanya dengan polesan cream itu tampak mulus dengan sedikit kilauan karena tertimpa cahaya lampu dari langit-langit ruang tengah. Pipinya sedikit merona entah karena apa, dan bibirnya yang menggoda tetap tertutup rapat.

Tidak bisa dipungkiri perempuan ini memang miliki paras yang cantik. Apalagi jika sudah berdandan dan mengenakan pakaian yang bagus, maka seluruh dunia pun pasti akan mengakuinya.

Itulah sebabnya dia sempat menjadi salah satu artis termahal dengan segudang prestasi. Sebelum karirnya meredup beberapa tahun belakangan.

Tidak mungkin! Batin Junno ketika sesuatu berdesir di dalam dadanya.

"Umm  … ehhmm." Lalu dia berdeham.

Camelia melirik dan di saat yang bersamaan pria itu memalingkan pandangan.

"Kau baik saja?" Dia bertanya.

"Ap-apa? Aku? Ya  … aku baik-baik saja, tidak apa. Tidak perlu khawatir karena semuanya baik-baik saja." Junno menjawab, dan posisi kedua tangan Camelia masih berada di dadanya.

Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, dan ini sepertinya bukan hal yang baik.

"Eee  … apa sudah selesai?" tanya nya kemudian, yang membuat Camelia menarik kedua tangannya.

"Baiklah." Junno pun segera bangkit dan membawa kedua cangkir kopi ke arah dapur.

"Tidurlah. Kita harus pergi pagi-pagi sekali besok," katanya yang melintas di hadapan Camelia dan terus menjauh hingga dia tiba di depan pintu kamarnya.

Pria itu berbalik lalu kembali. "Jendelanya sudah dikunci belum ya? Aku lupa." Dia bergumam sambil memeriksa beberapa jendela di semua sisi apartemen.

Lalu dia berbalik ke pintu yang padahal terkunci otomatis jika ditutup tanpa harus menautkan kunci lainnya. Yang dulu dia sendiri yang mengaturnya sebelum pergi bertugas untuk keamanan istrinya.

Monitor CCTV di dekat pintu pun tak luput dari pemeriksaannya. Dan setelah yakin semuanya aman, Junno bergegas menuju kamarnya.

"Selamat malam," katanya yang menutup pintu rapat-rapat, sementara Camelia terdiam di sofanya.

"Pria yang aneh." Dia bangkit sambil menggelengkan kepala. Kemudian beranjak pula ke arah kamarnya.

My Hot BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang