Junno meletakkan nampan berisi makanan yang dibuatkannya untuk Camelia, sementara perempuan itu asyik melamun di tempat tidurnya sambil menatap ke luar gedung lewat jendela. Kemudian dia menoleh saat merasakan ada pergerakan di sisi kosong di rampingnya.
“Sudah membuat keputusan?” Junno segera memulai percakapan seraya menyerahkan segelas coklat panas kepadanya.
Camelia tak langsung menjawab melainkan pelan-pelan menyesap minuman yang masih mengepulkan uap panas tersebut.
“Aku tidak bisa menjanjikan banyak hal kepadamu. Bahkan mungkin hidupmu akan berubah jika nanti bersedia menjadi istriku. Tapi aku akan mengusahakan sebisaku untuk menghidupimu dan anak kita.”
“Anak kita.” Batin Camelia menggumam.
“Mungkin ini tidak akan mudah, tapi tidak sulit juga seandainya kau bersedia membiarkan aku mengambil tanggung jawab itu. Karena memang sudah seharusnya seperti itu, bukan?”
Perempuan itu menatap wajah tegas milik Junno. Otaknya terus berputar mencari keraguan di dalam manik kelamnya yang kadang terlihat tegas, tapi sering kali mengandung kelembutan yang belum pernah dia temukan pada siapa pun. Tetapi tak ada, dan sorot matanya benar-benar tampak meyakinkan.
Ada selaksa luka yang menganga di dalam dada. Bukan karena cinta yang membuat dia trauma. Tetapi kepercayaan yang dihancurkan oleh banyak orang terdekatnya yang membuat Camelia menelan kekecewaan yang begitu besar. Dan dia takut itu akan terjadi lagi.
Saat ini mungkin dia kuat dan bisa menjalani masa sulit karena ada Junno yang berada di sampingnya. Menguatkan, mengobati luka dan menjadi pendukung utama di saat orang lain berangsur pergi. Bahkan ibu dan kedua adiknya pun tak mampu berada di sisinya. Bukan karena tak mampu, tapi karena mereka tak mau. Meski berulang kali, lewat beberapa media sosial dan acara gosip sering kali berbicara soal permintaan pulang dan semacamnya, tetapi Camelia merasa itu bukanlah hal yang tepat dilakukan ketimbang bersama Junno.
“Aku sendirian sekarang.” Dia mulai buka suara. “Ayahku ada, tapi dia memilih mengurus keluarga barunya dan anak-anak yang perempuan itu bawa. Dia memberinya rumah dan kehidupan yang layak juga nyaman. Tanpa harus memikirkan bagaimana sulitnya mencari uang sendiri sampai-sampai kau rela menjual harga diri.” Suaranya terdengar bergetar.
“Ibu dan adik-adikku juga ada. Tapi mereka memilih tutup mata dan telinga demi kenyamanan hidup ketimbang menguatkan aku di saat-saat seperti ini. Aku tau apa yang mereka katakan di depan wartawan tidak berasal dari hati dan karena memang menginginkanku untuk berada di sana, melainkan membutuhkan aku sebagai penopang hidup. Dan kau tau bagaimana rasanya itu?”
Junno balas menatap wajahnya yang beberapa hari belakang tak menggunakan make up itu. Pada dasarnya dia memang cantik dan sebenarnya tak memerlukan banyak polesan, tetapi tuntutan pekerjaan membuatnya merubah banyak hal yang bukan dirinya.
“Dan orang-orang terdekatku yang lain? Manager, produser, bahkan orang-orang di agensi mengkhianatiku sejak aku berada di sana. Lalu siapa lagi yang bisa aku percaya setelah ini?”
“Kau bisa mempercayaiku, Mell.” Seperti biasa, Junno dengan segala keyakinan dan kepercayaan dirinya mengulurkan tangan untuk meraih perempuan itu yang berada di ambang kegamangan. Soal bagaimana hidupnya ke depan dan bagaimana dia harus menghadapi ini? Sementara yang dia tahu hanyalah bekerja di dunia hiburan. Entah itu berakting atau menjadi model. Tapi setelah skandal ini terbuka, juga skandal-skandal lain yang mungkin akan segera terungkap, Camelia tidak tahu hidupnya akan seperti apa.
“Yak kau kandung itu adalah anakku, lalu bagaimana aku akan mengabaikannya? Dia adalah tanggung jawabku, dan kau juga. Jadi, mengapa kau tidak membiarkan aku untuk melakukannya saja?”
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hot Bodyguard
RomanceJunno yang baru saja bebas dari penjara setelah 3 tahun menjalani hukuman karena melakukan penembakan terhadap selingkuhan istrinya, tahu-tahu ditawari pekerjaan oleh sahabatnya, Adam. Yakni menjadi pengawal bagi seorang aktris, Camelia Abigail yang...