43. Kedatangan Bima

1.6K 139 44
                                    

Junno hampir saja membenamkan miliknya pada Camelia ketika terdengar bel pintu berbunyi. Sontak saja konsentrasi mereka buyar dan keduanya saling pandang untuk beberapa saat.

Kemudian Junno menoleh pada layar monitor laptopnya dan segera, ia menarik diri ketika melihat sosok yang berdiri di depan pintu unit apartemen yang mereka tinggali.

"Junn?" Camelia berusaha menghentikannya, tetapi pria itu cepat-cepat menjauh kemudian memunguti pakaiannya.

"Bima datang." katanya, seraya mengenakan benda tersebut.

"Apa?" Perempuan itu bangkit.

"Bima datang, dan dia ada di depan pintu." Junno kemudian melemparkan pakaian Camelia ke hadapannya.

"Bima?"

"Ya, sebaiknya kau …." Dia berjalan ke arah pintu, namun berhenti sebentar dan menoleh. "Berpakaian dan keluarlah." katanya yang berjalan tergesa.

Junno menoleh lagi sebelum ia membuka pintu untuk memastikan jika perempuan itu sudah keluar dari kamarnya dan dalam keadaan baik.

Dia menarik napas sebentar, kemudian menekan handle pintu, dan segera saja sosok yang menunggu di depan unit mereka menerobos masuk.

"Ada apa ini? Kenapa kode masuknya diganti? Kau gila ya?" Bima hampir meradang.

"Selamat sore, Pak?" Dan Junno mencoba menyapanya.

"Sejak kapan kode masuk pintunya diganti? Mengapa tidak ada pemberitahuan kepadaku?" tanya Bima lagi dengan raut kesal.

Junno hampir saja membuka mulutnya untuk menjawab ketika Camelia maju dan menarik Bima.

"Baru pagi ini, Pak. Semalam ada yang mencoba masuk." Dia menjelaskan.

"Apa?"

"Ya. Ada orang yang mencoba masuk, jadi saya meminta Junno untuk mengganti kata sandinya. Agar lebih aman."

Bima mengerutkan dahi.

"Semakin hari terornya terasa semakin berbahaya saja. Kalau kemarin-kemarin berani muncul di hadapan publik, sekarang sudah mendatangi tempat ini." Camelia menariknya ke arah sofa sehingga mereka bisa duduk di sana.

"Mengapa kau tidak mengatakannya kepadaku?" Dan pria itu kembali menatap Junno dengan raut menyelidik.

"Saya pikir itu tidak perlu karena Bapak sibuk?" Camelia kembali meraih perhatiannya.

"Tapi apa tidak bisa walau hanya mengirim pesan? Agar aku tahu bagaimana keadaanmu?" Bima dengan suara yang sedikit menggeram.

"Saya takut terbaca Bu Delisa. Bukankah Bapa sedang bersama keluarga? Bahkan semalam sedang menemani Zakia?" Kemudian perempuan itu mengingatkan.

Bima terdiam sambil menatap ke dalam sepasang mata bermanik hitam milik Camelia dan dia mencari hal lain yang mungkin perempuan itu sembunyikan.

"Bagaimana kalau Bu Delisa menemukan pesannya? Apa yang akan terjadi?" ucap perempuan itu lagi yang balas menatap wajah tegas Bima.

"Saya bahkan tidak bisa membayangkan akan sehancur apa jadinya jika nanti …."

Pria itu tiba-tiba saja memeluk tubuh Camelia erat-erat. Dia membenamkan wajahnya di ceruk leher perempuan itu dan merasakan aroma tubuhnya yang begitu ia rindukan.

Berminggu-minggu tak bertemu rupanya membuat pikiran dan hatinya terasa linglung dan dia merasa tak tahan untuk diam lebih lama.

Sementara pandangan Camelia tertuju pada Junno yang berdiri di dekat pintu menatap pemandangan tersebut dengan perasaan yang entah bagaimana dia harus menyebutnya.

Ada sedikit rasa ngilu di hati, sesak di dada dan tenggorokannya sedikit tercekat. Tetapi tak ada yang bisa dia lakukan selain diam.

Tetapi sesaat kemudian ia tersadar dan memutuskan untuk keluar saja meski Camelia hampir menghentikannya. Namun hal itu tak bisa dilakukan karena keberadaan Bima.

"Aku hanya sangat merindukanmu, Camelia." Pria itu berujar.

Camelia terkekeh meski perasaannya malah tak karuan karena tertuju pada pria yang kini tengah berjalan keluar dari apartemen yang mereka tinggali.

Bima membingkai wajahnya, kemudian ia mendongak untuk meraih ciuman dari bibir sensual milik Camelia yang dia rindukan.

Dan kedua bibir itu hampir saja bertabrakan ketika Camelia tiba-tiba saja menoleh ke arah lain. Yang membuat Bima hanya mendapatkan pipi mulusnya saja.

"Umm … maaf, Pak. Saya sedang flu." Perempuan itu mengusap-usap hidungnya dan menghirup udara cepat-cepat seperti orang yang terkena flu.

"Flu?" Dahi Bima kembali berkerut.

"Iya, kemarin syuting sampai malam dan saya lupa malah mandi dengan air dingin. Jadinya begini." Camelia beralasan.

"Eee … sudah ke dokter?" tanya Bima kemudian.

"Belum, Pak. Hari Sabtu dokternya libur."

"Bisa ke rumah sakit kan? Ada dokter jaga. Kalau tidak ada, katakan saja kepadaku rumah sakit mana yang tidak menyediakan dokter jaga untuk hari libur? Maka aku akan menginstruksikan kepada bawahan ku untuk menindak mereka."

Camelia tertawa.

"Tidak usah, Pak. Junno sudah membelikan saya obat di apotek, jadi sepertinya bisa bertahan. Tapi kalau hari Senin masih begini, sepertinya saya harus ke dokter."

"Hmm … baiklah." Pria itu masih memeluknya.

"Pak, bisakah saya …."

"Tapi aku merindukanmu." Lalu Bima berbisik di telinganya. Dia kembali menghirup aroma yang menguar dari rambut perempuan itu dan menikmatinya seperti biasa, dan hasratnya menanjak dengan segera.

"Eee …." Camelia memutar otak.

Pikirannya terus saja tertuju kepada Junno dan dia mulai merasa asing dengan pria ini. Tetapi dia ingat dengan apa yang harus dilakukannya jika Bima datang berkunjung, seperti yang selalu dilakukannya selama ini.

"Waktuku tidak banyak, Sayang. Nanti malam aku harus pergi ke Jayapura untui kepentingan partai." Pria itu mulai melepaskan kancing kemejanya.

"Umm … Pak?" Namun Camelia mencoba menghentikannya. Dan otaknya masih berputar mencari cara untuk tidak melakukan hal tersebut malam ini.

Dahinya berkerut, dan dia tak mengerti dengan perasaannya. Sebagian besar hatinya menolak, dan sebagai kecilnya malah mengingatkan untuk tak lagi bersedia melakukan apa pun.

"Pak, saya …."

"Karena setelah ini kita tidak bisa bertemu lagi. Kegiatan partai akan semakin padat. Dan aku tak akan punya waktu bahkan untuk keluargaku, jadi …." Pria itu hampir melepaskan kemejanya, dan dengan tergesa ia mulai mencumbu Camelia.

Namun sang artis terus mencoba menghindar dan mencari alasan untuk menolaknya.

"Saya … sedang datang bulan, Pak!" Dan kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya, membuat Bima segera berhenti.

"Umm … saya sedang datang bulan, dan ini hari pertama, jadi …." lanjutnya, dan dengan dada yang berdebar dia menatap wajah pria itu.

"Sejak kapan datang bulan bisa menghentikanmu untuk melayaniku?"

Camelia terkesiap. Apalagi ketika Bima meremat rambutnya, kemudian menariknya agar lebih dekat. Dan dia mengerti dengan apa yang pria itu inginkan. Tetapi tak seperti biasanya, otak, pikiran dan hatinya malah menolak.

Wajah Camelia sudah berada di depan alat tempurnya yang sudah menegang di balik celana, dan tangannya Bima tarik untuk menyentuhnya.

Perempuan itu memejamkan mata dan sekuat tenaga dia menahan diri untuk tak melakukannya, apalagi ketika perasaannya jelas-jelas menolak hal tersebut.

Tetapi Bima terus menekannya dengan perasaan tak sabar, dan saat ini dia tidak peduli dengan apapun. Yang ada hanya keinginan untuk menuntaskan hasrat dan kerinduannya akan sentuhan Camelia, dan dia benar-benar sangat menginginkannya.

My Hot BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang