73. Rumah

1K 158 17
                                    

Suasana makan malam saat itu terasa sedikit canggung karena sepertinya tak ada yang berminat memulai percakapan sedikit pun. Mereka hanya saling melirik tanpa basa-basi dan tampak buru-buru untuk menyelesaikan kegiatan agar bisa segera memisahkan diri. Terutama Junno dan Abyaksa, sang ayah. Dua pria berbeda usia itu masih saling mendiamkan meski sebelumnya Surati sudah mewanti-wanti untuk bersikap biasa saja.

“Ehhm ….” Akhirnya perempuan itu berdeham. “Tambah lagi, Camelia. Apa kamu tidak suka makanannya?” Dia kepada Camelia.

“Emm … suka, Bu. Ini sotonya enak. Ibu buat sendiri?” Yang segera mendapatkan respon dari Camelia.

“Tentu saja, semua yang kita makan di rumah ini dibuat dengan tangan Ibu sendiri. Tidak ada yang beli dari tempat lain kecuali bahan mentah dan bumbunya saja.”

“Oh, pantas. Rasanya khas.” Camelia tersenyum sambil menyuapkan sesendok nasi dengan kuah kuning berisi irisan daging ayam dan sayuran juga sedikit soun itu.

“Kamu sendiri bagaimana?” Lalu Surati bertanya.

“Apanya?”

“Masakan apa yang menjadi andalanmu? Nanti kita berbagi resep. Junno suka sekali dengan soto ini.”

“Saya?”

“Ya.”

“Maksud Ibu, masak?”

“Iya, apa lagi?”

“Eee … soal itu … saya tidak bisa.” Camelia dengan raut malu-malu dan suara pelan.

“Apa?”

“Saya tidak bisa masak, Bu. Maaf.”

Surati terdiam untuk menajamkan pendengarannya karena perempuan cantik di depannya berbicara dengan suara yang teramat pelan.

“Camelia tidak bisa masak, Bu. Tidak bisa menanak nasi atau membuat makanan lainnya.” Junno akhirnya ikut berbicara untuk menjelaskan.

“Begitu?”

“Ya, setiap hari kalau tidak beli ya Junno yang buatkan kalau mau makan.” Camelia tampak takut-takut untuk berbicara. Dia tahu mungkin saja memasak dan pekerjaan rumah tangga lainnya yang tak bisa dia kerjakan merupakan hal penting bagi keluarga ini. Terlihat dari kemampuan Junno melakukannya walau dia seorang anak laki-laki.

“Hmm … lalu apa saja yang kamu kerjakan? Selain bekerja, tentunya?”

“Umm … tidak ada.” Camelia menggelengkan kepala sambil terkekeh canggung.

“Jadi kamu hanya bekerja saja?”

Kini  Camelia menganggukkan kepala.

“Hanya bisa cari uang, apa bagusnya?” Abyaksa bergumam tetapi suaranya masih bisa didengar oleh tiga orang di dekatnya.

“Bapak?” Dan Surati pun bereaksi. “Zamannya sekarang sudah berbeda, kan? Apalagi kalau tinggal di Jakarta, bekerja lagi? Mana ada waktu untuk melakukan semua itu.”

Abyaksa memutar bola matanya kemudian mengunyah suapan terakhirnya dengan cepat. Dan ucapannya barusan membuat Camelia tampak kecewa dan dia mulai merasa tidak berharga.

“Tidak apa, banyakin saja uang. Apapun bisa kalian lakukan kalau banyak uang! Tidak usah dipusingkan soal itu. Lagipula Junno terbiasa mengurus dirinya sendiri, bukan?” Surati mengisi mangkok soto milik Camelia yang hampir kosong. “Sekarang makan lagi sampai kenyang, Ibu bikin sotonya banyak. Malah, sampai bisa ngasih tetangga.” Perempuan itu tertawa.

“Tugasmu berat, Junn, Junn ….” Abyaksa menggelengkan kepala kemudian meminum air dari gelas besar miliknya.

“Oh iya, pekerjaanmu apa tadi? Ibu kok lupa tanya ya? Tapi sepertinya Ibu ingat pernah lihat kamu, tapi di mana ya?” Surati bertanya setelah beberapa saat.

My Hot BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang