74. Percakapan Bapak Dan Anaknya

1K 144 34
                                    

Dengan terpaksa Junno meletakkan ponselnya di atas meja dalam keadaan mode silent agar tak penasaran atas notifikasi pesan yang masuk dari Camelia. Perempuan itu benar-benar berulah dan membuatnya merasa cukup tersiksa karena dia mengirimkan beberapa gambar sebelum tidur. Juga pesan-pesan nakal sebagai godaan baginya, padahal tahu bahwa mereka tak akan bisa melakukan apa pun di rumah itu. Tampaknya dia sengaja ingin menyiksanya malam ini.

Junno menyingkap selimut yang semula sudah menutupi tubuhnya, kemudian dia menyugar rambutnya dengan perasaan frustasi. Yang lebih membuat putus asa adalah ketika dia harus merasakan alat tempurnya yang terbangun di saat yang tidak tepat.

“Ah, sialan memang!” gumamnya, gusar.

Dia kemudian meraih bungkus rokok dan koreknya yang tergeletak di meja dan memutuskan untuk menenangkan diri saja di teras belakang yang sepi.

Tapi tunggu, asap apa itu yang menyebar dari salah satu sudut teras pada tengah malam seperti ini? Membuatnya bwegegas keluar untuk mencari tahu.

Rupanya, Abyaksa sang ayah juga berada di sana tengah menikmati secangkir kopi dan menyulut sebatang rokok persis seperti kebiasaannya.

Hampir saja Junno mengurungkan niat untuk keluar tetapi pria paruh baya itu terlebih dulu menoleh saat menangkap pergerakan lewat ekor matanya.

“Aku kira siapa? Taunya Bapak?” Dengan terpaksa Junno mendekat.

“Memangnya kamu pikir setan? Mana ada setan berani masuk rumah ini?” Pria itu menjawab.

Junno memutar bola mata kemudian menyalakan rokok yang sudah ditarik dari bungkusnya.

“Bapak masih marah kepadaku? Bukankah sudah tau kebenarannya?” Junno memutuskan untuk duduk di kursi yang terletak tak jauh dari sang ayah.

“Marah kepalamu! Bapak ini bukan pendendam.” Abyaksa menjawab.

“Tapi buktinya sikap Bapak kepadaku masih begitu? Pada Camelia juga.”

“Apa hubungannya dengan Camelia? Macam tidak kenal bapakmu saja!”

Junno menyesap rokoknya hingga ujungnya berpendar kemudian meniupkan asapnya di udara. “Lalu kenapa sikap Bapak begitu?”

“Bapak hanya kesal.”

“Kesal soal apa? Aku pulang dan memberi kabar mau menikah?”

Sang ayah tak langsung menjawab, tetapi dia malah menyesap kopi pelan-pelan.

“Mana ada? Apa pun keputusanmu terserah saja. Kamu yang hidup, kamu yang menjalani. Lantas kenapa Bapak harus bermasalah dengan itu?”

“Tapi buktinya?”

“Bapak kecewa.” Abyaksa menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

“Kecewa? Karena aku bunuh orang lalu masuk penjara?”

“Mana ada orang tua yang tidak kecewa soal itu? Sungguh memalukan kamu menembak orang karena perempuan.”

“Bapak tidak melihat kejadiannya, sih. Coba bayangkan kalau itu dilakukan ibu, apa Bapak akan diam saja?”

“Ssttt! Pelankan suaramu, ini sudah malam. Kamu mau membangunkan semua orang ya? Lagipula Bapak belum selesai bicara.”

“Lantas apa?”

“Seharusnya kamu rekam saja kejadian itu lalu viralkan. Mereka akan menanggung malu seumur hidup dan dengan begitu jelas lebih buruk dari pada kematian.” Pria itu menyesap rokoknya dengan tenang.

“Apa?”

“Terlalu mengikuti emosi jadinya begitu.”

Junno hampir membuka mulutnya untuk menjawab tetapi sang ayah sudah mendahuluinya.

My Hot BodyguardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang