Junno meletakkan segelas jeruk panas dan segelas susu kehamilan di nakas saat mendapati Camelia yang kembali muntah-muntah di kamar mandi. Sudah seminggu sejak kepulangan mereka ke Jakarta perempuan itu mengalami hal yang sama di pagi dan malam hari.
“Sepertinya kita benar-benar harus ke dokter?” Dia meraih rambut Camelia kemudian mengikatnya ke belakang agar memudahkannya untuk membasuh wajah pucatnya.
“Tidak usah. Kak Syahira bilang ini biasa. Trimester pertama memang sedang kencang-kencangnya gejala seperti ini.” Namun Camelia menolak.
“Maksudmu mual muntah seperti ini?”
“Ya, nanti juga hilang sendiri.”
“Kau menghubungi Syahira?” Junno memberinya sehelai handuk kecil.
“Ya. Dia bilang boleh menghubunginya untuk bertanya jika dibutuhkan.”
“Bagus sekali, kau mulai akrab dengannya ya?”
“Ya. Cukup membantu untuk bertanya sesuatu yang aku tidak tau. Apalagi soal ini aku buta sekali.”
“Tapi ini mengkhawatirkan. Kau sulit makan dan apa pun yang masuk ke perut kau muntahkan lagi.”
“Memang begitu.” Camelia mengeringkan wajahnya dengan handuk yang Junno sodorkan lalu dia kembali ke tempat tidurnya.
“Ini, minumlah dulu. Mungkin akan membuatmu merasa lebih baik. Dari yang aku baca, minuman seperti ini biasanya disukai ibu hamil.” Lalu Junno memberikannya gelas berisi jeruk panas tadi.
“Terima kasih, Junn. Baik sekali kau mau mengurusku.” Yang segera Camelia cicipi pelan-pelan. “Mmm … ini enak sekali.” Dia tersenyum kemudian meneguknya hingga habis setengah.
“Sekarang apa yang harus aku sediakan untuk makan mu? Dari kemarin tidak ada makanan yang cocok di lidahmu?” Junno duduk di dekatnya dan membenahi agar perempuan yang belum sebulan dinikahinya itu merasa nyaman.
“Tidak usah, aku belum mau makan.” Camelia menaikkan kedua kakinya kemudian kembali meringkuk di tempat semula.
“Tapi anak kita membutuhkannya, dan kau juga membutuhkannya.” Junno menunduk sambil mengusap perutnya yang masih rata.
“Iya, nanti saja. Sekarang aku hanya mau berbaring.”
“Tidur lagi?”
“Bukan tidur, tapi berbaring.” Camelia merebahkan kepalanya dengan nyaman di bantal.
“Hmm … Baiklah, kalau begitu aku akan menemanimu.” Junno pun naik ke tempat tidur dan berbaring di sisinya. Hampir saja dia memeluk perempuan itu dan mengira bahwa hal tersebut akan membuatnya merasa nyaman.
“Tidak, Junn! Pergilah! Lakukan hal lain dan biarkan aku sendiri!” Namun lagi-lagi Camelia menolaknya seperti hari-hari kemarin.
“Kau ini kenapa sih? Sudah seminggu menolakku terus, bahkan untuk berdekatan seperti ini pun tidak mau? Apa salahku padamu?” Dan seperti biasa, reaksi Junno begitu kentara jika dia tak senang akan hal itu.
“Sudah aku katakan aku sedang tidak ingin apa-apa, jadi menjauhlah!” jawab Camelia yang bergeser untuk menciptakan jarak di antara mereka.
“Aku juga tidak ingin apa-apa, hanya mau dekat dengan istriku, apa itu salah?” Lalu Junno mengikutinya sehingga tubuh mereka kembali merapat.
“Tidak.”
“Lalu mengapa sikapmu begini?”
“Tidak tau, hanya tidak ingin saja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hot Bodyguard
RomanceJunno yang baru saja bebas dari penjara setelah 3 tahun menjalani hukuman karena melakukan penembakan terhadap selingkuhan istrinya, tahu-tahu ditawari pekerjaan oleh sahabatnya, Adam. Yakni menjadi pengawal bagi seorang aktris, Camelia Abigail yang...