Camelia baru saja keluar dari kamar mandi ketika ponselnya berdering nyaring, dan kontak Alif yang menghubungi. Dia sempat ragu untuk menjawab karena sudah bisa menebak apa yang akan disampaikan oleh adik laki-lakinya tersebut.
"Kenapa?" Junno muncul dari luar kamar setelah mendengar suara dering itu tak kunjung berhenti. Kemudian Camelia segera menunjukkan layar ponselnya pada pria itu.
Junno pun mendekat dan menatap benda tersebut yang masih berbunyi. "Angkat saja," katanya, yang kemudian dilakukan oleh perempuan itu.
"Kak?" Suara Alif dari seberang segera tedengar begitu dia menekan tombol hijau berbentuk telepon.
"Ada apa?" Camelia bertanya.
"Kakak tanya ada apa? Bisa ya lupa gitu?" Suara adiknya dari seberang sana terdengar kesal.
"Ya, ada apa? Kakak kan bukan cenayang yang bisa tahu seseuatu sebelum diberi tahu."
Terdengar dengusan napas keras Alif dan Camelia sudah mengerti maksudnya. Tetapi dia ingin tahu apa yang akan sang adik katakan sebelumnya.
"Kakak mikir nggak kalau di sini kami kesusahan sementara Kakak di sana bisa senang-senang?" Sudah bisa ditebak arahnya ke mana.
Camelia menghela napas dalam-dalam.
"Kakak belum kirim uang buat aku, Mutiara sama ibu." Alif memperjelas maksudnya.
Perempuan itu melirik ke arah Junno yang tengah menatapnya dalam diam.
"Tagihan air, listrik sama internet nunggu dibayar, Kak. Belum lagi kami udah nggak punya apa-apa untuk dimakan. Kakak tega ya?" ucap pemuda itu, setengah menghakimi.
Camelia memejamkan mata sejenak.
"Kak? Jawab dong, kenapa diam aja? Kakak mau kami mati?" Kini Alif terdengar berteriak.
Junno hampir merebut ponsel dari tangan Camelia, namun perempuan itu menghindar untuk menjauhkannya.
"Baik, kirim nomor meter dan nomor pelanggannya. Kakak bayar dari sini. Kirim juga daftar apa saja yang kalian butuhkan biar Kakak pesankan dan akan dikirim langsung ke rumah."
"Nggak bisa gitu dong!" Namun Alif menolak.
"Kenapa tidak bisa? Bukankah itu yang kalian butuhkan?" Camelia membalikkan kata-katanya.
"Kakak pikir kebutuhan kami cuma makan? Aku sama Mutiara kan lagi kuliah, Kak. Butuh ongkos dan uang saku. Masa Kakak masih nggak ngerti juga?"
"Astaga!" Perempuan itu menjatuhkan bokongnya di pinggiran tempat tidur. Dia masih mengenakan handuk dan rambutnya bahkan masih meneteskan air.
"Ayolah, Kak. Jangan berlagak nggak ngerti. Kakak mau menghindar dari tangung jawab?" Alif kembali berbicara.
"Duit Kakak habis untuk bayar pengawal yang sekarang udah jadi pacar? Enak bener dia ngambil hak orang!" Kata-katanya kini bahkan lebih tajam dari sebelumnya dan itu masih bisa Junno dengar dengan jelas.
"Jangan bicara sembarangan, Lif! Kamu tidak tahu apa-apa."
"Alah, orang beritanya jelas gitu. Ngapain sih, Kak? Mendingan sama pejabat yang kemarin, kan enak Kakak nggak harus ngeluarin uang. Malah dapat tambahan penghasilan lagi kalau misalnya …."
"Alif, cukup! Kakak akan transfer sekarang, tapi kamu jangan banyak bicara. Bisa tidak untuk meminta dengan sopan karena Kakak ini lebih tua dari kamu. Hargailah Kakak!"
"Gimana mau dihargai orang Kakaknya nggak pengertian?"
"Tidak pengertian apanya? Selama ini siapa yang membiayai kamu dari kecil? Sekolah, ekstrakulikuler, kuliah, kendaraan. Coba sebutkan apa yang tidak Kakak berikan sehingga membuatmu bicara seperti itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hot Bodyguard
RomanceJunno yang baru saja bebas dari penjara setelah 3 tahun menjalani hukuman karena melakukan penembakan terhadap selingkuhan istrinya, tahu-tahu ditawari pekerjaan oleh sahabatnya, Adam. Yakni menjadi pengawal bagi seorang aktris, Camelia Abigail yang...