57. Gadis itu Mati

4.6K 394 13
                                    


.....

Dari yang awalnya hujan salju ringan lalu menggila menjadi badai dasyat, cuaca terus bergejolak seiring ketakutan Koa yang semakin tak terkendali. Wanita yang tengah menghangatkan kakinya di depan perapian itu terlihat was-was menatapi langit-langit yang dirasanya seperti ingin ambruk. Setiap kali angin besar lewat, bagian atap gubuk akan terangkat hingga hampir terlepas dari rangkanya. Kendati perasaan cemas melanda, Koa tetap bersyukur bisa menemukan tempat ini. Jika tidak, mungkin ia dan Yona bisa saja mati terserang hipotermia di luar sana.

Diterangi cahaya perapian, wajah Koa tampak diliputi raut penyesalan menyaksikan dirinya terjebak dalam pusaran kekacauan dan tersesat di antah berantah. Ia memandang ke belakang, memikirkan betapa berbedanya keadaan jika saja hari itu ia mengabaikan surat kecil yang terselip dalam undangan Riona Raspe.

'Lady Dorian, izinkan saya menyampaikan permohonan penuh kerendahan hati ini. Kehadiran Anda sungguh saya harapkan, sebab ada urusan penting yang ingin saya diskusikan, terutama mengenai Pangeran Nathaniel.'

'Dalam kondisi genting ini, saya memohon perlindungan dari Anda. Nyawa saya tengah terancam karena sebuah kabar mengatakan bahwa Pangeran Nathaniel berniat menghabisi saya setelah mengetahui jika Putri Zehra telah membocorkan rahasia tergelapnya kepada saya. Pangeran Nathaniel tidak ingin kebusukannya terungkap. Anda pastinya sudah tahu kebusukan apa yang saya maksudkan.'

'Saya akui, sikap dan perilaku saya selama ini memang kurang pantas. Bersujud pun mustahil bisa meringankan rasa sakit di hati Anda. Saya begitu putus asa sekarang. Andalah satu-satunya harapan yang saya miliki. Jika Anda menyuruh saya bersujud dan mencium kaki Anda, pasti akan saya lakukan jika hal itu bisa meyakinkan Anda.'

Koa menghela napas panjang. Keputusan bodohnya hari itu membuat para pengawalnya terluka. Godaan kerjasama yang ditawarkan Riona Raspe menumpulkan kemampuan berpikir logis Koa. Ia berharap, semoga bantuan cepat datang sehingga mereka bisa pulang ke rumah.

"Kenapa anak itu lama sekali?" pikir Koa yang tiba-tiba teringat pada Yona. Dikarenakan persediaan kayu bakar mereka habis, Yona pergi ke belakang gubuk untuk mengambil seikat kayu tambahan. "Haruskah aku menyusul anak itu?"

Sebagai majikan, Koa sepatutnya tak perlu memusingkan urusan pelayannya. Ia paham betul pasal itu. Namun saat ini, mereka sama-sama terjebak dalam situasi darurat. Menurut pandangan Koa, hubungan formal antara tuan dan bawahan seharusnya bukan lagi jadi prioritas, sebab sekarang tujuan mereka sama, yakni bertahan hidup sampai akhir.

Usai memikirkannya matang-matang, Koa memutuskan keluar menyusul gadis itu.

"Oh astaga!"

Hanya beberapa detik setelah pintu gubuk terbuka, angin kencang yang membawa jutaan butiran salju menyapu Koa, menghantam wajahnya dan membuatnya seakan baru saja terkena tamparan. Saking kencangnya angin, wanita itu sampai harus meraba tembok gubuk karena tak kuasa untuk membuka mata. "Jangan-jangan... Yona terkubur salju," pikir Koa khawatir saat mendapati tumpukan salju telah mencapai ketebalan lebih dari tiga puluh senti. "Pantas dia lama sekali. Badainya saja separah ini."

Koa dengan susah payah menyeberangi lautan salju yang diketahui telah menutupi seluruh permukaan tanah di daerah ini. Lapisan salju yang begitu tebal membuat jalannya menjadi terseok-seok. Ia juga kesulitan menjaga pandangannya lurus ke depan berkat angin yang berhembus kelewat kencang.

"H-huh?"

Salju umumnya berwarna putih saat masih bersih, dan akan berubah warna menjadi hitam kecokelatan setelah terinjak-injak atau tercampur lumpur. Terkadang kita juga bisa menemukan salju berwarna kuning. Salju jenis ini biasanya salju yang sudah terkena air kencing hewan. Namun fenomena salju berwarna merah pekat, ini kali pertama Koa melihatnya.

Jika kalian pernah membeli es serut sirup stroberi yang sering dijual saat musim panas, kurang lebih seperti itulah wujud salju berwarna merah yang sedang dilihat Koa sekarang. "I-ini bukan darah 'kan?"

Lutut Koa tahu-tahu jatuh ke tanah. Seluruh sendi di kakinya mendadak lemas, kehilangan tenaga untuk menopang tubuhnya supaya tetap berdiri. Walaupun sering berhadapan dengan kematian, Koa akui, menyaksikan langsung kematian orang lain merupakan hal baru baginya. Bau anyir yang menyeruak di udara seketika memicu kontraksi pada otot perut wanita itu.

Koa terkena serangan panik.

Jarak mereka hanya terpaut beberapa langkah, tetapi Koa merasa dirinya terjebak dalam jarak yang tak tergapai. Koa tak sanggup lagi berdiri ataupun menggerakan anggota tubuhnya. Ia hanya mengerang panjang saat merasakan nyeri di kepala dan dada menyaksikan gadis yang selalu menemaninya selama beberapa bulan terakhir terbaring kaku di atas tanah yang membeku.

Teriakan Koa tertahan di tenggorokan. Wanita itu begitu terguncang tatkala menyadari bahwa warna merah pada salju yang ia temukan merupakan genangan darah yang bersumber dari luka sayatan di leher Yona. "Oh—oh Tuhan! A-apa yang sedang terjadi— Yona! Oh... Astaga!"

Koa mencoba merayap untuk menghampirinya. Ia berharap gadis itu masih bisa diselamatkan. Hanya saja saat Koa berusaha menggapai tubuh Yona, sebuah tangan besar tiba-tiba saja muncul dan menghentikan aksinya. Seseorang membekap Koa dari belakang menggunakan sapu tangan yang sudah diolesi cairan amonia.

"Hm—hmmp!"

Memberontak pun percuma. Koa akhirnya jatuh tak sadarkan diri.


.....

Aroma menyengat bekas pembakaran membangunkan Koa dari alam mimpi. Wanita itu terlihat mengernyitkan dahi saat matanya yang belum siap bekerja dihujani oleh cahaya terang. Perasaan ganjil segera menyergap ke dalam pikiran Koa ketika menyadari tubuhnya tak lagi kedinginan.

"Mimpi yang sangat buruk," gumam Koa masih setengah sadar. Ukiran mewah pada kanopi ranjang menjadi pemandangan pertama yang wanita itu lihat setelah berjam-jam tak sadarkan diri.

"Selamat pagi, Koa Dorian."

Koa terkesiap, tak menyangka akan bertemu Nathaniel di tempat ini. "Y-yang Mulia?"

Pria itu duduk santai di ujung ranjang, bersilang kaki sambil menghisap cerutu. Ia melirik Koa dengan seringai aneh di bibir. "Saat tidur pun kau masih menangis. Lihatlah akibatnya, sekarang kantong matamu jadi bengkak." Nathaniel ingin menyentuh pipi Koa, tapi diurungkan setelah melihat Koa bergerak menjauh, menghindarinya.

Masih kebingungan, bayangan akan genangan darah dan tubuh kaku Yona mendadak melintas di kepala Koa. "Semua ini... apakah semua ini ulah Anda?"

Ekspresi bodoh bercampur panik yang ditunjukkan Koa membuat Nathaniel tertawa terpingkal-pingkal. "Tenang Koa. Nanti akan aku carikan kau gadis pengganti yang lebih pintar dan lebih rajin darinya."

"Bajingan! Anda sudah sangat keterlaluan!" Koa jarang berkata kasar, memaki ataupun meneriaki yang lain. Tata krama bangsawan yang dijejalkan Madam Cleo kepada Koa melarangnya melakukan perilaku rendahan itu. Namun kali ini, tampaknya Koa gagal melakukan pengendalian diri dan termakan oleh emosinya yang menggebu-gebu. "Memang benar. Anda memang tidak pantas menjadi raja."

"Shuutt! Jangan buat aku marah!"

Nathaniel bergerak menaiki ranjang. Merasa terancam, Koa langsung menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, bermaksud untuk melarikan diri. Namun, usahanya tersebut digagalkan oleh sebuah rantai yang sengaja dipasangkan ke kaki kirinya. "Yang Mulia! Apa-apaan ini!"

Lagi-lagi Nathaniel tertawa. Ia duduk di samping Koa sambil mengeluas lembut rambut wanita itu. "Ini balasan untuk semua penghinaan yang telah kau lakukan padaku, Lady Dorian."


.....

Queen of Shield - Putri Sang DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang