70. Di Penghujung Musim Dingin

3.4K 309 12
                                    


.....

Di penghujung musim dingin, taman Dorian Manor mempersembahkan pemandangan yang begitu memukau mata. Tempat yang sebelumnya dipenuhi warna-warni bunga musim panas kini menjelma jadi taman surga yang tertutup kilauan salju. Helaian-helaian salju lembut melingkupi setiap cabang dan semak, menciptakan pemandangan yang tak tertandingi ketenangannya. Pohon-pohon tua yang menjulang tinggi, mereka si penjaga setia yang berdiri gagah, melindungi keajaiban alam ini dari godaan angin. Mereka pula yang semula berdiri tegak, rela merendahkan diri dengan elegan di bawah beban salju yang menumpuk anggun pada ranting-rantingnya. Di tengah hutan pepohonan yang damai itu, terhampar sebuah jalur setapak kecil yang tersembunyi di bawah lapisan salju, mengundang siapa saja yang datang berkunjung untuk ikut menjelajahi keajaibannya. Di penghujung musim dingin, Dorian Manor layaknya dunia yang menantang dan merenung di saat yang bersamaan.

Koa berjalan dengan langkah ringan di sepanjang koridor, diterangi cahaya temaram lilin yang sengaja dibiarkan menyala meskipun hari beranjak siang. Koridor yang mereka lewati terletak sejajar dengan taman. Melalui jendela-jendelanya yang tinggi, baik Koa maupun Olga, mereka bisa dengan mudah mengintip pemandangan taman yang luar biasa indah.

"Olga," panggil Koa kepada pelayan barunya.

"Ya, Lady? Ada yang bisa saya bantu?"

Dari belakang, Olga melihat Koa tengah menyapukan ujung jarinya melintasi kaca dingin, merasakan udara siang yang mulai menghangat. "Kau pintar beladiri?"

Olga merenung, ikut merasakan kekhawatiran yang merayapi pikiran tuannya. "Sebelum resmi masuk dan bekerja untuk Anda, Madam sudah lebih dulu memasukkan saya ke sekolah pelatihan." Olga kemudian menambahkan. "Percayalah Lady, meski nama keluarga saya tidak sebesar dulu, saya berasal dari keluarga ksatria. Sejak kecil, bersama saudara laki-laki saya, kami dilatih untuk terbiasa menggunakan pedang."

Keluarga Hugsburg, keluarga asal Olga. Mereka telah bekerja menjadi penjaga Keluarga Dorian dari generasi ke generasi. Selain karena keahlian berpedangnya, kepala keluarga pertama mereka dikenal orang-orang sebagai pribadi yang lembut dan hangat. Ketulusan mengabdikan diri, selalu siap memberikan dukungan, nasihat dan perlindungan pada Keluarga Dorian membesarkan reputasi keluarga mereka.

Namun sayang, dalam lintasan waktu yang panjang, nama Keluarga Hugsburg semakin meredup. Hal ini bisa terjadi karena keturunan mereka sebagian besar terdiri dari perempuan. Kendati kemampuan perempuan-perempuan itu tak kalah hebat dari laki-lakinya, sesuai tradisi di Dorian, hanya laki-laki saja yang bisa mempertahankan atau menurunkan nama keluarga kepada anak-anak mereka. Oleh sebab itu, seiring berjalannya waktu, Keluarga Hugsburg harus menghadapi kenyataan pahit tentang bagaimana mereka menghadapi masa depan sembari terus berusaha menjaga warisan keluarga mereka—seni berpedang Hugsburg agar tetap hidup.

Koa tiba-tiba saja berhenti di tengah jalan. Wanita itu menoleh ke arah jendela di sebelahnya dengan pandangan menerawang. "Kau pasti sudah dengar kabar mengenai kematian Yona, kan?"

"Saya sudah mendengarnya."

"Seandainya nanti kita terjebak dalam situasi yang sama, jangan sekali-kali kau berani mati di hadapanku." Koa mengucapkan kata-kata itu dengan nada yang dingin. Meski demikian, di balik tatapannya yang tajam, terlihat kilau kesedihan. "Aku tak mau direpotkan oleh kematianmu."

Jika saja orang lain yang mendengarkan dan yang bersangkutan belum mengetahui peristiwa traumatik yang dialami Koa, mungkin kata-kata barusan bisa menyakiti hati mereka. Rasanya pasti kecewa karena usaha kita tidak dihargai sama sekali.

Untungnya Olga berbeda. Ia bisa melihat lebih dari sekedar itu. Kata-kata Koa memang dingin, tapi Olga tahu, yang baru saja dilakukan Koa adalah cara wanita itu mempertahankan kewarasannya. Kata-kata tajam Koa hanyalah perlindungan. Dinding sengaja dibangun untuk menjauhkan hati Koa yang belum sepenuhnya sembuh dari hal-hal yang mungkin saja menghancurkannya. Olga pun tahu bahwa di balik kesan dingin yang ditunjukkan Koa kepada semua orang, Koa memiliki hati yang teramat tulus.

"Saya mengerti, Lady."


.....

Apakah berani keluar dari kamar merupakan sebuah pencapaian yang patut diapresiasi? Belakangan, pertanyaan yang satu ini terus terngiang-ngiang di kepalaku.

Belum genap setahun mencoba menghindari zona nyaman demi mewujudkan rencana hidup bahagia sebagai Koa Dorian, berinteraksi dengan manusia-manusia baru selain Duke Sander dan Madam Cleo, justru ironi nasib memaksaku mundur kembali ke zona nyaman yang monoton itu. Mengatakan bahwa aku tidak merasa takut adalah omong kosong. Hei, tapi itu wajar buatku. Entah sudah berapa kali aku disandung oleh malaikat maut. Rumah ini, dengan semua mata yang selalu mengawasi, terkadang membuatku berpikir bahwa diam-diam di belakangku, orang-orang itu tengah asyik berkomentar tentang versi "baru" Koa yang cacat. Oh maaf jika kedengarannya kasar, maksudku adalah Koa dalam bentuk yang kurang sempurna.

"Biar kutebak. Kau pasti sedang memikirkan sesuatu yang sebenarnya tak perlu kau pikirkan."

Langsung kuturunkan bukuku seraya mengatur ekspresi di wajah setenang mungkin. "Anda jangan bercanda. Untuk apa saya melakukannya. Itu hanya buang-buang waktu."

Tentu saja, pembelaanku hanyalah tipuan belaka. Yang lebih memalukan, Lord Black tampaknya lebih cerdik dariku. Dia dengan tenang berkata, "Kau butuh banyak belajar lagi kalau ingin menipuku, Koa."

Saat aku dalam perjalanan menuju perpustakaan, kami tanpa sengaja berpapasan. Pria itu menawarkan diri untuk menemani. Dia bilang, semua pekerjaannya sudah beres dan saat ini dia sedang menganggur. Karena tak ada ruginya, aku terima tawaran itu. Dan di sinilah kami sekarang. Menikmati waktu duduk bersantai di atas sofa, sambil meluruskan kaki-kaki kami, dikelilingi ribuan buku.

"Koa, kapan kau senggang?"

"Jika Anda ingin mengajak saya keluar, sebaiknya Anda urungkan saja niat itu." Aku memindahkan kedua kakiku ke atas kaki Lord Black yang hangat. Pria itu tampak pasrah, dia membiarkanku berbuat semaunya.

"Hm. Baiklah."

Melihatnya langsung menyerah malah membuatku penasaran. Aku memutuskan menutup buku yang mendadak jadi terasa membosankan, lalu mengulurkan tangan ke arahnya. Melihat itu, Lord Black dengan lembut meraihnya, lalu menarikku dan mengangkat tubuhku supaya kami bisa duduk bersebelahan. "Seandainya saya punya waktu senggang, Anda ingin mengajak saya pergi ke mana?"

Tangan Lord Black lihai sekali menyelinap dari belakang. Ketika aku baru menemukan posisi duduk yang nyaman, tahu-tahu tangan itu sudah melingkari pinggangku. "Plaza," jawabnya singkat.

"Anda ingin membeli apa?"

"Sebentar lagi musim panas. Kau mungkin butuh stoking baru."

Aku sengaja mengenakan stoking tebal untuk menyembunyikan bekas luka mengerikan di kakiku. Karena sekarang masih musim dingin, aku tidak merasa kepanasan walau memakainya sepanjang hari. Lord Black benar. Aku butuh stoking baru. Membayangkan bagaimana gerahnya musim panas nanti, bisa-bisa aku mati terkena serangan stroke.

"Jangan khawatir. Kita bisa memanggil mereka kemari jika kau masih enggan keluar dari rumah." Menyadari aku yang sedang bimbang, Lord Black mengelus bahuku, berusaha membuatku tenang. "Lagipula, dibandingkan jalan-jalan ke luar, aku lebih suka menghabiskan waktuku berduaan denganmu di kamar."

"Lord."

"Hm?"

"Anda membuat saya takut."

Lord Black menenggelamkan wajahnya ke ceruk leherku, dia tertawa kencang di sana. Di sela tawanya, aku bisa merasakan betapa hangatnya napas Lord Black. "Maafkan aku, Koa. Aku hanya bergurau saja."

"Saya tahu." Aku membelai puncak kepalanya dengan sebelah tangan. Rambutnya terasa lembut dan bau wangi. "Sampai kapan Anda di Dorian?"

Lord Black mengangkat wajahnya sehingga tatapan mata kami saling bertemu. "Sampai kau sembuh."

Merasakan sebuah dorongan, aku maju, mendekatkan jarak di antara kami, lalu tanpa permisi mengecup bibirnya singkat. Merasa kurang puas, Lord Black meraih tengkukku dan menciumku. Belum siap menerima serangannya, aku lupa mengatur napasku dengan benar. Pada akhirnya, aku kalah karena kehabisan napas. Tak ingin mati konyol, aku memaksanya berhenti dengan mendorong bahunya. Melihatku terengah-engah, Lord Black kembali tertawa.


.....

Queen of Shield - Putri Sang DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang