64. Asa yang Hampir Putus

4.9K 434 16
                                    


.....

Aku masih ingat betul bagaimana rasanya panas api yang membakar bangunan panti asuhan menyentuh kulitku. Kala itu, semua pintu terkunci rapat, sementara aku terjebak di dalamnya—seorang diri, meringkuk di sudut ruangan sambil memeluk buku pemberian wanita cantik yang mengaku sebagai istri sah ayah. Napasku pun tercekat tatkala asap dan udara panas yang aku hirup mulai membakar tenggorokan, dan terus merambat hingga paru-paru. Wajahku berubah merah, semerah daging yang terbakar di atas panggangan barbeku.

Menurut sains, meninggal dengan cara terbakar merupakan jalan kematian yang paling menyakitkan selain mati karena tenggelam. Butuh waktu yang cukup lama sampai nyawa kita benar-benar telah tercabut. Kita harus melalui proses panjang nan menyiksa sampai akhirnya saraf kita hancur dan kita tak mampu lagi merasakan rasa sakit. Kulit-kulit kita akan melepuh lalu disusul kebocoran darah dan cairan tubuh lain. Pada tahap inilah, kita baru bisa kehilangan kesadaran. Jantung akan berhenti bekerja tak lama kemudian dan di tahap ini, kita tinggal menunggu saja sampai kematian datang menjemput.

"Mati tertusuk pisau kedengarannya jauh lebih baik."

Kulihat kulit di pergelangan kakiku meleleh dan mengelupas. Ah... benar juga. Masih ingatkah kalian dengan teori konduksi pada mata pelajaran fisika di sekolah? Ternyata api yang membakar tiang kanopi merambatkan panasnya ke rantai besi yang terikat pada kakiku.

Sial benar nasibku hari ini. Mati dengan cara terbakar seperti sekarang sangatlah menyiksa. Bukan hanya karena apinya saja, tapi asap hasil pembakaran pun sama saja merepotkannya. Selain membuatku sesak napas, asap pekat yang memenuhi setiap sudut kamar membuat mataku menjadi perih.

"Hahaha..." Seperti adegan pada film, ketika seseorang sedang berhadapan dengan ajalnya, kenangan semasa hidup mulai diputar ulang dalam kepala mereka.

Rencana untuk bahagia di dunia ini? Bah! Omong kosong itu membuat perutku tergelitik. Mau di dunia manapun, mau sekaya apapun, aku ini selalu dilahirkan sebagai anak haram. Dan mungkin saja, sejak awal, kematian yang menyakitkan memang ditakdirkan untuk anak haram sepertiku. Tapi... b-bukankah ini sangat tidak adil? Maksudku adalah, menjadi anak haram bukan murni keputusanku. Itu pilihan yang diambil oleh kedua orangtuaku. Dan seharusnya mereka-lah yang lebih berhak mendapatkan hukuman itu, iya kan? Apakah kesimpulanku ini salah?

"Ah... sudah sudah. Terserah maumu semesta. Aku menyerah."

Perlahan, kesadaranku menghilang.


.....

Zielle membagi pasukannya menjadi tiga kelompok; kelompok pertama bertugas menangkap Nathaniel dan para bawahannya, kelompok kedua bertugas memadamkan api dan kelompok terakhir bertugas mencari keberadaan Koa Dorian.

Lantaran masalah yang dihadapinya berkaitan dengan kekasih Black, Zielle yang saat ini tengah terikat kontrak kerja sama memutuskan untuk ikut turun tangan langsung, membantu kelompok tiga mencari Koa. Begitu pintu utama villa dibuka, asap hitam pekat terlihat menghadang mereka. Zielle segera membasahi sapu tangannya dengan air lalu menggunakan benda itu sebagai filter udara.

Setelah dua puluh menit berpencar, salah seorang prajurit dari kelompok tiga menghampiri Zielle, ingin menyampaikan laporan. "Lantai satu bersih, Yang Mulia. Sepertinya kebakaran baru terjadi di lantai dua saja."

"Lady Dorian dan Nathaniel?"

Prajurit itu menggelengkan kepala. "Tidak terlihat tanda-tanda keberadaan mereka di sini."

Semua orang kompak mengarahkan pandangan ke arah anak tangga yang menghubungkan lantai satu dengan lantai dua. "Bagaimana situasi dari kelompok pemadam?" tanya Zielle memastikan keadaan.

Queen of Shield - Putri Sang DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang