Kota Lok-yang yang tengah dicengkam musim salju, tampak sunyi senyap. Kota bekas kota kerajaan itu seolah terbungkus oleh selimut putih.
Di pesanggrahan yang menjadi makam raja-raja Han, tampak dua orang tengah menikmati keadaan tempat itu.
Yang satu seorang anak lelaki kecil, memegang tali kendali dua ekor kuda tegar. Anak itu tak henti-hentinya menggigil kedinginan.
Sedang yang satu, seorang pemuda berwajah pucat. Dandanannya seperti seorang guru sekolah atau sasterawan. Dari makam yang terletak di dataran yang ketinggian, ia lepaskan pandang mata ke arah jalan raya dalam kota Lok-yang. Tampak beberapa penunggang kuda mencongklang di sepanjang jalan raya itu.
"Nyo Ih, mari kita pulang," tiba-tiba sasterawan muda itu berseru kepada si anak lelaki.
"Ih, Siau sianseng, aku sungguh kagum sekali kepadamu," seru anak itu, "dalam hawa begini dingin engkau tak kedinginan sama sekali. Apakah engkau juga belajar ilmu silat seperti ayahku?"
Dalam bicara itu Nyo Ih si anak lelaki itupun sudah menyemplak kudanya. Sasterawan muda menepuk-nepuk bahu anak itu dan tersenyum: "Nyo Ih, bagaimana engkau tahu kalau aku tak kedinginan? Itulah karena aku biasa tahan lapar dan tahan dingin. Lihatlah tanganku ini. Betapa lemahnya, sampai tak kuat untuk menyembeli ayam saja. Bagaimana engkau mengatakan aku bisa ilmu silat?"
Demikian kedua penunggang kuda itu, seorang sasterawan muda dan seorang anak lelaki, segera mengendarai kudanya menyusur sepanjang jalan raya di kota Lok-yang.
Lok-yang adalah kota raja timur pada jaman kerajaan Han. Sebuah kota yang ramai, makmur dan indah.
Setelah masuk kota dan melintasi sebuah gang, akhirnya sasterawan muda dan anak lelaki itu berhenti di muka pintu sebuah gedung besar yang terletak di bagian barat kota.
"Nyo Ih, engkau ini bagaimana? Kemana saja engkau pada hari sedingin ini......?" Serentak terdengar lengking suara seorang anak perempuan yang merdu dan halus.
Dan serempak dengan seruan itu seorang nona baju hijau melesat keluar dari dalam pintu.
Melihat si nona, sasterawan muda itu cepat loncat turun dari kudanya dan memberi hormat. "Nona Nyo, maafkan aku. Karena keisengan kuminta Nyo Ih membawa aku melihat-lihat makam raja."
Sasterawan muda itu menutup kata-katanya dengan menjurah selaku minta maaf. Jelas tubuh sasterawan itu menggigil kedinginan.
Ketika melihat sasterawan muda itu hanya mengenakan baju tipis, heranlah nona itu, serunya: "Siau sianseng, mengapa engkau keluar hanya mengenakan pakaian begitu tipis? Toh, engkau sampai gemetar, kalau sampai terserang dingin tentu bisa sakit...... mari, lekas ikut aku masuk ke dalam rumah."
Memang saat itu tampak wajah sasterawan muda pucat, tubuh gemetar keras. Ia pun terus ikut nona itu masuk ke dalam. Si anak lelakipun ikut juga.
Ketika melalui sebuah lorong, nona baju hijau berkata: "Siau sianseng, hari ini akan terjadi suatu peristiwa dalam rumahku. Ayah telah pesan kepada seluruh penghuni supaya jangan keluar rumah. Engkau tadi membawa adik Ih keluar, kalau sampai terjadi apa-apa, wah......"
Nona itu tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang ayu menampil kecemasan.
Sasterawan muda terkejut, tanyanya: "Apa katamu, nona Ing? Apakah yang akan terjadi di rumah nona ini?"
Nona baju hijau itu berpaling memandangnya lalu menghela napas: "Engkau seorang sasterawan yang tak kenal seluk beluk dunia persilatan. Walaupun kuberitahu, engkau tetap takkan mengerti liku-liku kehidupan dalam dunia Persilatan......"
Kemudian ia berpaling kepada adiknya si anak lelaki: "Lekas engkau masuk ke dalam, mamah sudah bingung mencarimu."
Mendengar itu Nyo Ih pun segera bergegas lari masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar 100 Hari
General FictionSuatu peristiwa aneh telah terjadi. Kho Ing-ti diam saja, tak menangkis maupun menghindari sehingga lengannya tertusuk dan darahnya menyembur keluar. Tetapi Hun-ing pun terkapar rubuh di bawah kaki Kho Ing-ti. Rupanya nona itu juga terkena sebuah pu...