59. Pembuktian Kakek Berwajah Dingin

1.2K 25 0
                                    

Melihat Cu-ing gelisah, Tay Hui Sin-ni tak sampai hati. Pada saat Siau Lo-seng hendak menghadapi bahaya maut, cepat rahib itu loncat ke tengah mereka dan berseru:

"Omitohud! Salah dan benar, tulen dan aseli, hanya selintas angan-angan belaka. Keng-hun-pit memang sebuah benda pusaka yang jarang terdapat di dunia, tetapi benda itu dapat dikata merupakan sebuah benda yang tidak membawa kebahagiaan. Duaratus tahun yang lalu benda itu telah menimbulkan pertumpahan darah besar. Dan sejak empatpuluh tahun yang lalu telah dimiliki oleh Leng Tiong-siang. Tetapi seratus tahun kemudian, siapakah yang tahu benda itu akan jatuh di tangan siapa? Demi benda itu Leng Tiong-siang pun telah melakukan pembunuhan-pembunuhan berdarah. Adakah tak menyadari akan kodrat Kebenaran Manusia Hidup?"

Berhenti sejenak, rahib itu melanjutkan pula:

"Sang Buddha bersabda: pohon Bodi itu sesungguhnya bukan pohon. Cermin itu tiada bayangan dan Asal itu sebenarnya Hampa. Mengapa harus melumurkan diri dengan debu kekotoran?

"Siau sauhiap tiada mengandung rasa hendak memiliki dan Leng Tiong-siang pun telah menunggu dengan sabar sampai empatpuluh tahun. Mengapa harus menghilangkan kesabaran itu dan hendak berebut?"

Ucapan rahib yang mengandung falsafah hidup yang baik itu membuat Siau Lo-seng kagum dan mengindahkan. Tetapi dalam pada itu iapun tahu bahwa rahib itu telah salah menilai bahwa ia hendak menginginkan Keng-hun-pit sehingga menimbulkan perebutan dengan Leng Tiong-siang.

Siau Lo-seng hendak memberi penjelasan tetapi Leng Tiong-siang telah mendahului.

"Ucapan Sin-ni penuh mengandung nasehat yang baik sehingga orang tersadar dan mendapat penerangan hidup. Aku bukan seorang manusia yang liar. Hanya karena sikap budak itu keliwat batas dan keliwat mendesak orang maka aku sampai lupa diri. Kalau tidak masakan seorang tua semacam diriku mau meladeni seorang budak yang tak ternama semacam dia?"

Mendengar kata-kata Leng Tiong-siang itu. Siau Lo-seng hendak membantah tetapi Tay Hui Sin-ni mencegahnya dengan kedipan mata.

Berkatalah pula rahib itu,

"Setiap jengkal tanah setiap orang tentu menginginkan. Leng sicu memang pandai dan cerdas sehingga dalam waktu sekejap dapat menilai sesuatu yang menguntungkan. Tetapi seratus tahun hidup manusia itu, dalam sekejap tentu sudah lewat. Hanya sekejap mata, selintas angan-angan. Demikian sabda sang Buddha. Kiranya Leng sicu tentu menyadari hal itu pula."

Tay Hui Sin-ni berhenti sekejap memandang Siau Lo-seng lalu melanjutkan lagi,

"Tetapi mencari kebenaran memang sudah menjadi kodrat manusia. Maksud Siau sauhiap mendesak Leng sicu untuk membuktikan keaselian diri sicu itu, tak lain maksudnya untuk menjaga agar pusaka itu tak jatuh di tangan orang yang tak baik. Dalam hal itu, Leng sicu tak perlu harus mengunjukkan bukti pukulan yang dapat membahayakan jiwa orang. Cukuplah apabila Leng sicu mengunjukkan pedang yang termasyhur pada empatpuluh tahun yang lalu yakni Leng-hong-kiam."

Suasana yang tegang regang penuh bertebaran hawa pembunuban, hanya dengan beberapa patah perkataan saja dapatlah ditenangkan oleh Tay Hui Sin-ni.

Diam-diam Siau Lo-seng pun mengagumi dan menaruh perindahan tinggi kepada Tay Hui Sin-ni yang memiliki peribadi dan wibawa kuat. Memang dengan cara penyelesaian itu, dapatlah persoalan dapat diselesaikan tanpa membawa korban jiwa manusia.

Di luar dugaan, penyelesaian sederhana sekali seperti yang diajukan Tay Hui Sin-ni itu telah menimbulkan reaksi besar pada Leng Tiong-siang.

Seketika wajah Leng Tiong-siang menyeringai dan sepasang matanya memancarkan kilat dendam kemarahan dan bara permusuhan yang membuat tubuhnya sampai menggigil.......

Pendekar 100 HariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang