Melihat Cu-ing menangis seperti orang kalap, Hun-ing pun menghiburnya:
"Adik Ing, Siau toako takkan mati. Asal masih mempunyai setitik napas, dia tentu tak dapat mati......"
Tiba-tiba dari atas loteng terdengar suara helaan napas panjang. Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing serempak berpaling ke arah loteng.
Ternyata orang tua peniup seruling itu sudah tak berada di sudut ruang loteng. Sebagai gantinya, di ruang itu terdapat sebuah genta raksasa yang tingginya hampir setombak dan terbuat dari tembaga kuno.
"Locianpwe, engkau berada dimana?" seru Hun-ing.
Suara orang yang menghela napas tadi kembali terdengar, "Aku berada dalam genta ini. Bawalah anak itu kemari, biar kuperiksanya."
Ketiga orang itu terkejut. Bagaimana mungkin seseorang dapat menutup dirinya sendiri dalam sebuah genta raksasa. Genta raksasa itu paling tidak tentu beribu-ribu kati beratnya.
"Siapa sicu?" seru Pek Wan Taysu.
Buru-buru Hun-ing memperkenalkan siapa kakek yang berada dalam genta raksasa itu: "Beliau adalah peniup seruling yang telah menyelamatkan jiwa Siau toako."
Serta merta Pek Wan Taysu menghaturkan terima kasih kepada kakek aneh itu.
"Siapakah nama yang mulia dari sicu? Dapatkah aku bertemu muka?" kata paderi itu pula.
"Locianpwe, bagaimana engkau hendak memeriksa keadaan Siau toako?" cepat Cu-ing menukas.
Orang tua itu menghela napas sarat. Tiba-tiba genta itu terangkat ke atas dan puncaknya yang berlubangpun tergantung pada tiang cantelan.
Kini dapatlah Pek Wan Taysu melihat jelas bagaimana keadaan kakek itu. Serta merta ia membungkukkan tubuh dan minta maaf karena menyebabkan orang tua itu menderita.
"Ah, aku hanya seorang manusia yang sudah kehilangan daya hidup. Bukan karena tak mau menuturkan kisah hidupku kepada taysu, tetapi memang ada sesuatu hal yang memaksa aku harus begitu. Harap taysu memaafkan."
Dalam pada itu Cu-ing dan Hun-ing pun sudah membawa Siau Lo-seng ke hadapan kakek buntung. Dan kakek itupun segera memeriksa pergelangan tangan Siau Lo-seng. Kemudian menghela napas.
"Ah, anak ini memang setia, melakukan kewajiban. Kusuruhnya mencegah Kim-pou-sat, ternyata dia telah mengadu jiwa benar-benar sehingga sampai menderita luka parah."
"Ah," Pek Wan Taysu mendesah.
"Kalau anak ini sampai kena apa-apa, sungguh Thian tak adil," seru kakek peniup seruling seraya mengeluarkan sebuah botol kumala dan menuang tiga butir pil merah lalu dimasukkan ke mulut Siau Lo-seng. Sesaat kemudian wajah Siau Lo-seng yang pucat lesi, berobah agak merah.
Setelah wajah anak muda itu makin merah, tiba-tiba kakek peniup seruling menutuk beberapa jalan darah di tubuhya. Melepaskan baju Siau Lo-seng, melekat tangan kiri ke punggung pemuda itu dan tangan kanan mengambil serulingnya.
"Harap kalian bertiga melindungi tempat ini. Aku hendak menggunakan tenaga murni untuk memulihkan tenaganya," kata kakek itu.
Pek Wan Taysu, Hun-ing dan Cu-ing segera berpencar menjaga tempat itu.
Sesaat kemudian Wajah Siau Lo-seng yang merah pelahan-lahan, mulai menyurut dan akhirnya berobah segar. Napasnyapun mulai teratur seperti orang yang tidur nyenyak.
Tetapi keadaan orang tua itu mengejutkan. Dari rambutnya bercucuran keringat, demikian sekujur badannya seperti orang mandi.
Tiba-tiba ia menarik pulang tangan kirinya dan menghela napas panjang, "Mungkin setelah beristirahat beberapa saat, dia tentu sudah sembuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar 100 Hari
General FictionSuatu peristiwa aneh telah terjadi. Kho Ing-ti diam saja, tak menangkis maupun menghindari sehingga lengannya tertusuk dan darahnya menyembur keluar. Tetapi Hun-ing pun terkapar rubuh di bawah kaki Kho Ing-ti. Rupanya nona itu juga terkena sebuah pu...