Rupanya Cu-ing juga menyadari hal itu bahwa sembuhnya pikiran Siau Lo-seng itu memang tidak sewajarnya.
Selama kedua nona berbicara dengan Siau Lo-seng, hanya Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang yang pejamkan mata, kerahkan perhatian untuk memperkirakan arah datangnya suara seruling itu.
"Ui Pang-cu, apakah kalian sudah mengetahui hal itu?" tanya Siau Lo-seng,
"Ya, Leng locianpwe sudah menerangkan kepada kami," jawab Hun-ing.
"Leng locianpwe," tiba-tiba Lo-seng menegur, "kali ini seruling berbunyi lama sekali. Apakah engkau sudah dapat memperkirakan arah tempat peniupnya?"
Mendengar itu Leng Tiong-siang membuka mata.
"Hanya dua kemungkinan, dari arah tenggara atau dari barat daya. Mari kita berpencar mencarinya. Engkau ke tenggara dan aku menuju ke barat daya," kata kakek itu. Dan habis berkata ia terus loncat lari menuju ke barat daya.
"Ui Pang-cu," kata Lo-seng, "kalau kalian hendak mengejar aku, apabila tidak kedengaran seruling itu berbunyi, harap jangan menyongsong aku, perihal diriku, silahkan bertanya kepada Leng locianpwe."
Habis memberi pesan, pemuda itu terus ayunkan tubuh dan lari sekencang angin.
Hun-ing, Pek Wan Taysu dan Cu-ing tercengang heran menyaksikan kehebatan ilmu meringankan tubuh dari Lo-seng saat itu.
"Ilmu ginkang itu termasuk ilmu yang paling tinggi dalam dunia persilatan," kata Pek Wan Taysu.
"Pek Wan Taysu, mari kita kejar Siau toako," ajak Hun-ing.
"Ah, sia sia," sahut Pek Wan, "saat ini dia sudah berada beberapa lie jauhnya."
Sekalipun mengatakan begitu, tetapi paderi Siau-lim-si itu mau juga bersama kedua nona lari menuju ke tenggara.
"Pek Wan Taysu," kata Hun-ing sembari berlari, "mengapa Siau toako mengejar peniup seruling itu karena tahu bahwa orang itu akan dapat menyembuhkan kesadaran pikirannya."
"Benar," jawab Pek Wan, "rupanya Lo-seng tahu kalau dia kehilangan ingatan. Ah, sungguh suatu peristiwa yang aneh sekali."
"Ah, alangkah senangnya kalau aku dapat meniup seruling itu," kata Cu-ing.
Hun-ing tersenyum, ujarnya: "Adik Ing, apakah engkau kuat untuk meniup seruling setiap hari dan malam tanpa berhenti?"
Mendengar itu merahlah wajah Cu-ing, sahutnya: "Kalau aku bisa meniup, tentu akan kuajarkan juga kepada cici Hun. Dengan demikian kita dapat bergiliran meniupnya."
Ucapan itu merupakan curahan hati Cu-ing. Ia cinta kepada Siau Lo-seng tetapi iapun rela membagi cinta anak muda itu kepada Hun-ing.
"Ah, apabila Lo-seng beruntung mendapat jodoh kedua nona itu, alangkah bahagia hidupnya. Tetapi ah, rupanya nasib anak itu memang malang......" diam-diam Pek Wan Taysu merenung dalam hati.
"Adik Ing, apakah ucapanmu keluar dari hatimu yang tulus?" kata Hun-ing yang dapat menangkap maksud hati Cu-ing.
"Ai, cici Hun, masakan engkau masih meragukan kecintaanku terhadapmu," kata Cu-ing.
Hun-ing tertawa bersemangat: "Baiklah, adik Ing, mari kita kejar peniup seruling. Sampai ke ujung langit pun kita tetap harus mencarinya dan minta kepadanya supaya mengajarkan ilmu meniup seruling itu."
Tiba-tiba suara seruling lenyap.
"Ah, seruling berhenti," Cu-ing terkejut.
"Dan berhenti juga kesadaran pikiran Siau toako," sambut Hun-ing dengan rawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar 100 Hari
Fiksi UmumSuatu peristiwa aneh telah terjadi. Kho Ing-ti diam saja, tak menangkis maupun menghindari sehingga lengannya tertusuk dan darahnya menyembur keluar. Tetapi Hun-ing pun terkapar rubuh di bawah kaki Kho Ing-ti. Rupanya nona itu juga terkena sebuah pu...