Tiba-tiba anak buah Lembah Kumandang berbondong-bondong lari mengepung Siau Lo-seng. Jumlahnya lebih dari seratus orang.
Siau Lo-seng mengerut dahi. Dengan kedua tangan ia mencekal Pedang Ular Emas, ditegakkan menghadap ke atas. Kakinya pun telah bersiap dalam kuda-kuda yang kokoh. Sinar matanya menumpah ke ujung pedang. Suatu sikap pembukaan yang mengejutkan sekalian anak buah Lembah Kumandang,
"Siau Lo-seng, engkau telah kami kepung rapat. Kalau tak mau membuang senjatamu, engkau tentu menyesal," seru Hiat Sat Mo-li.
Tetapi Siau Lo-seng seperti orang yang kemasukan setan. Ia tak menghiraukan seruan nona itu dan tetap bersiap. Wajahnya makin sarat, pucat. Sekilas tampak ujung Pedang Ular Emas itu seperti memancar sinar emas.
"Siau Lo-seng," seru Hiat Sat Mo-li pula, "seorang gagah tentu tahu gelagat. Engkau hanya seorang diri, mengapa engkau nekad hendak mengadu jiwa? Kalau engkau berkeras kepala, kamipun terpaksa akan bertindak!"
Namun pemuda itu tetap membisu.
Tiba-tiba duabelas dara baju merah itu memekik nyaring dan serempak dengan tebaran warna merah dari pakaian mereka maka berhamburanlah duabelas sinar perak mencurah ke arah Siau Lo-seng.
Dari samping, Hiat Sat Mo-li dan Sam sumoay serempak berseru kaget, "Kim-jak menembus awan."
Itulah nama jurus yang dilancarkan oleh ke duabelas dara baju merah. Entah apa maksudnya, belum jelas. Adakah dia hendak memberi peringatan supaya Siau Lo-seng berhati-hati atau suatu perintah kepada anak buah barisan.
Serempak dengan seruan itu. Siau Lo-seng pun segera taburkan pedangnya, melindungi tubuh dengan sinar pedang.
Pada saat pedang kedua belah pihak akan saling beradu, sekonyong-konyong terdengar teriakan keras: "Berhenti.......!"
Sesosok tubuh kecil muncul dan secepat kilat menerjang masuk ke dalam gelanggang pertempuran.
"Tring, tring, tring......"
Terdengar serentetan dering senjata beradu disusul dengan jeritan ngeri dan erang tertahan.
Pertempuran bubar dan di tengah gelanggang muncul seorang pendatang baru. Pedang dari ke duabelas gadis baju merah itu putus semua dan berhamburan jatuh di tanah. Bahkan ada tiga orang dara yang lengannya berlumuran darah.
Siau Lo-seng mendengus dan mundur sampai tujuh langkah. Tiba-tiba ia berteriak kaget: "Hun-moay, engkau......"
Wajah Hun-ing membeku. Ia tak menyahut pertanyaan Siau Lo-seng tetapi memandang anak buah Lembah Kumandang, kemudian menatap kepada Hiat Sat Mo-li, serunya,
"Toa suci. Lembah Kumandang sedang terancam bahaya kehancuran. Mayat sekalian saudara masih hangat. Kemungkinan sisa-sisa musuh ada yang belum masuk ke dalam lembah. Engkau bertugas untuk mengawasi penjagaan, mengapa engkau memanggil anak buah kita ke dalam ruang dalam dan mengapa pula engkau suruh barisan Selusin Pedang pimpinan Pah-cu untuk menyerang orang dengan jurus Kim-jak-boh-hun-kiong Adakah kalian hendak meniru jejak keempat Su-tay-thian-ong yang menghianati Pah-cu?"
Wajah Hiat Sat Mo-li agak berubah, sahutnya dingin:
"Ji-sumoay, kapankah kuundang engkau untuk memberi ceramah kepadaku? Keadaan Lembah Kumandang, kita sudah tahu bahkan sudah berjuang mati-matian. Sebaliknya engkau berada di ruang dalam enak-enak saja. Karena terpaksa aku menggunakan barisan itu dan akupun tak memberi perintah mereka supaya melancarkan jurus itu!"
Siau Lo-seng mendengus,
"'Hm, hebat sekalipun jurus itu tetapi tetap tak mampu melukai aku. Apabila nona Ui tak muncul, mereka tentu sudah menjadi mayat semua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar 100 Hari
General FictionSuatu peristiwa aneh telah terjadi. Kho Ing-ti diam saja, tak menangkis maupun menghindari sehingga lengannya tertusuk dan darahnya menyembur keluar. Tetapi Hun-ing pun terkapar rubuh di bawah kaki Kho Ing-ti. Rupanya nona itu juga terkena sebuah pu...