Tiba-tiba terlintas sesuatu dalam pikiran pemuda baju putih itu. Sesuatu yang lebih mengerikan dari penderitaan yang dideritanya saat itu. Tubuhnya pun menggigil keras dan seketika rubuhlah ia tak sadarkan diri lagi.
Siau Lo-seng geleng kepala. Ia merasa pemuda baju itu mempunyai watak yang kuat. Sayang dia tersesat ke dalam perguruan.
Ia menghela napas, ulurkan tangan untuk membuka kedok muka pemuda itu.
Tepat pada saat tangannya hendak menjamah muka pemuda baju putih itu, tiba-tiba ia rasakan setiup angin tenaga sakti melandanya. Belum sempat ia bergerak, tahu-tahu perut punggungnya telah dicengkeram orang.
Kejut Siau Lo-seng bukan alang kepalang. Menilik orang itu datang tanpa diketahuinya sama sekali, ia menyadari bahwa kepandaian orang itu tentu lebih tinggi dari dirinya.
Siapakah gerangan dia?
Serentak pikirannya membayangkan beberapa tokoh sakti: Ban Jin-hoan, Jin Kian Pah-cu, Kakek wajah dingin Leng Tiong-siang, Buddha emas Ang Siong-pik atau mungkin Bu-tong Sam-siu.
"Siapakah saudara ini? Apakah maksud saudara kepadaku?" akhirnya ia bertanya dengan nada sarat.
Orang yang berada di belakang itu tak mau menyahut melainkan masih tetap menguasai jalan darah Beng-bun pada punggung Siau Lo-seng.
Sampai diulang tiga kali bertanya, tetap Siau Lo-seng tak mendapat jawaban, ia makin heran.
"Engkau ini manusia atau setan? Mengapa tak menjawab pertanyaanku?" serunya mangkal.
Namun orang itu tetap diam saja. Bulu kuduk Siau Lo-seng serempak meregang. Memang kalau manusia, sukar untuk memiliki kepandaian yang sedemikian saktinya.
Jalan darah Beng-bun-hiat merupakan salah satu dari tiga jalan darah maut. Apabila orang menyalurkan tenaga dalamnya. Siau Lo-seng pasti celaka. Kalau tidak muntah darah tentu akan putus jiwanya. Maka sebelum mendapat kesempatan untuk lolos, Siau Lo-seng tak berani, bergerak gegabah.
Maka keduanya terbenam dalam keheningan. Sama-sama diam membisu. Entah selang berapa lama tiba-tiba dari jauh terdengar suara suitan aneh yang gencar dan alunan suara seruling yang hampir tak kedengaran.
Seketika Siau Lo-seng rasakan tangan orang di belakangnya itu agak gemetar. Sudah tentu pemuda itu tak mau mensia-siakan kesempatan. Secepat ia rubuhkan tubuh ke muka lalu dengan jurus Lan-hou-sin-yau atau Harimau malas menjulur pinggang ia ayunkan kaki menendang orang yang di belakangnya.
Jurus itu memang indah dan cepat sekali. "Bum, bum......," terdengar suara keras sekali. Seketika Siau Lo-seng rasakan kakinya menendang tembok besi. Sakitnya bukan kepalang. Disamping itu bahu kanannya pun telah dihantam sebuah tangan keras sehingga ia jungkir balik sampai tiga kali dan terlempar sampai tiga tombak jauhnya. Dadanya seperti terhimpit gunung, hampir ia tak kuat bertahan lagi.
Cepat ia tenangkan semangat lalu berpaling memandang ke arah orang tadi.
Tampak seorang manusia yang aneh. Tubuhnya tinggi kurus, kedua tangannya menjuntai sampai ke lutut. Mengenakan pakaian hitam dan mukanya pun berkerudung kain hitam. Dia tegak terlongong-longong di samping pemuda baju putih tadi.
Kejut Siau Lo-seng pada saat itu bukan dilukiskan. Tendangannya membalik ke belakang tadi tak kurang dari seribu kati kekuatannya. Tetapi walaupun kena pada dadanya, orang aneh itu ternyata tak rubuh atau terluka. Manusia atau setankah dia?
Sudah tentu Siau Lo-seng tak tahu bahwa manusia aneh itu adalah Te-gak-kui-ong atau si Raja Akberat, seorang mumi yang terkenal dari istana Ban-jin-kiong.
Siau Lo-seng cepat mencabut pedang Ular Emas dari tanah lalu membentak: "Siapa engkau? Apa maksud kedatanganmu kemari?"
Tetapi Raja Akherat itu tetap tegak mematung di sisi pemuda baju putih. Dia seperti seorang manusia yang tak bernyawa. Hal itu cepat dapat disadari Siau Lo-seng. Dia berhadapan dengan seorang mumi, atau manusia yang hilang kesadaran pikirannya. Mirip dengan si cantik Im-kian-li dari Lembah Kumandang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar 100 Hari
General FictionSuatu peristiwa aneh telah terjadi. Kho Ing-ti diam saja, tak menangkis maupun menghindari sehingga lengannya tertusuk dan darahnya menyembur keluar. Tetapi Hun-ing pun terkapar rubuh di bawah kaki Kho Ing-ti. Rupanya nona itu juga terkena sebuah pu...