Tiba-tiba dari luar terdengar suara Pek Wan Taysu berseru gembira: "Selamat, selamat. Kalian ayah dan anak sungguh bahagia sekali dapat berkumpul di sini. Aku tak mempunyai rejeki seperti kalian."
Serentak masuklah Pek Wan Taysu ke dalam ruangan. Tiba-tiba cahaya muka orang tua buntung itu berobah dan tubuhnya agak gemetar. Tetapi cepat pula ia tertawa gelak-gelak.
"Ah, taysu telah masuk dalam dunia kesucian. Tidak seperti kita yang masih dilekati debu-debu kedosaan dan kegelisahan. Taysu lebih bahagia."
Perobahan airmuka orang tua buntung itu, tiada seorangpun yang memperhatikan kecuali Lo-seng. Hal itu makin menimbulkan keresahan hati pemuda itu.
Sesaat kemudian wajah Pek Wan Taysu berobah serius, katanya:
"Kita berkumpul di sini dengan gembira dan selamat. Tetapi dewasa ini kawanan durjana telah muncul mengadu biru di dunia persilatan. Setiap saat keselamatan jiwa kaum persilatan tentu terancam. Tadi aku telah menerima laporan dari anak murid Siau-lim-si dan anak murid partai Bu-tong-pay, mengatakan bahwa partai Bu-tong-pay telah menghadapi bahaya besar. Beratus-ratus musuh telah menyerang Bu-tong-san. Sudah beberapa pimpinan partai itu yang binasa. Mereka minta bantuan kepada ciang-bun-hong-tiang {Ketua). Siau-lim-si telah memerintahkan aku supaya segera membawa barisan Tat-mo-coat-ci-tin untuk memberi bantuan. Oleh karena peristiwa itu amat gawat maka akupun harus lekas-lekas ke Bu tong-san dan akan minta diri kepada kalian."
Sekalian terkejut mendengar berita itu.
"Paman, setiap orang merasa wajib untuk membela keadilan dan kebenaran. Sukalah paman meluluskan aku juga ikut membantu ke sana."
Pek Wan Taysu gelengkan kepala.
"Engkau baru saja sembuh. Dan kepergianku kali ini, mungkin takkan kembali...... apalagi engkau mempunyai dendam darah yang belum terhimpas. Engkau harus jaga diri baik-baik. Ah, lebih baik engkau jangan ikut!"
Dengan diiring oleh helaan napas panjang, Pek Wan Taysu pun sudah berputar tubuh dan sekali ayun tubuh, dia sudah lenyap di antara puluhan paderi yang berada di bawah loteng.
Lo-seng hanya berlinang-linang airmata mengantarkan pandang matanya. Ucapan Pek Wan Taysu amat menyentuh sanubarinya.
Siau Lo-seng sudah sebatang kara. Hanya tinggal seorang paman yalah Pek Wan Taysu itu. Paderi itu telah memperlakukannya dengan penuh kasih sayang seperti orang tuanya sendiri. Mendengar kata-kata Pek Wan Taysu bahwa mungkin paderi itu akan binasa menghadapi gerombolan durjana, sudah tentu hati Siau Lo-seng berduka.
Tidak terduga, jika Siau Lo-seng hanya mengucurkan airmata, tidak demikian dengan orang tua buntung itu. Dia menangis keras.
Walaupun tak tahu jelas duduk persoalannya, karena melihat orang menangis, kedua nona ikut menangis.
Tangis orang tua buntung itu amat menyedih sekali. Entah mengapa dia tiba-tiba begitu sedih.
Bahwa seorang berilmu sakti sampai tak menguasai diri, tentulah suatu hal yang mengherankan sekali.
"Maaf, karena gara-garaku, kalian sampai ikut bersedih......," kata Siau Lo-seng seraya mengusap airmatanya.
Orang tua buntung itupun mengusap airmatanya dan berkata tersekat: "Ah...... ah...... Seng-ji maaf, karena teringat akan peristiwa yang lampau, aku sampai tak dapat menguasai diri."
Ji, artinya anak. Seng-ji berarti anak Seng.
Makin besar rasa hati Lo Seng terhadap orang tua itu. Dia makin yakin tentulah orang tua itu mempunyai kisah hidup yang menyedihkan.
"Gi-hu, maukah Gi-hu membagikan kedukaan hati Gi-hu kepadaku?" dengan lemah lembut Lo-seng berkata.
"Peristiwa yang lampau bagaikan gumpalan asap. Ah, tak perlu membicarakan hal itu lagi," sahut orang tua buntung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar 100 Hari
General FictionSuatu peristiwa aneh telah terjadi. Kho Ing-ti diam saja, tak menangkis maupun menghindari sehingga lengannya tertusuk dan darahnya menyembur keluar. Tetapi Hun-ing pun terkapar rubuh di bawah kaki Kho Ing-ti. Rupanya nona itu juga terkena sebuah pu...