"Paman, awas! Dia hendak menurunkan tangan ganas," seru Siau Lo-seng seraya loncat mundur.
Tetapi jelita itu bagai sesosok bayangan telah memburu pemuda itu. Tangan kiri mencengkeram bahu orang dengan gerak Yu-leng-co-hun atau Roh gentayangan menangkap jiwa. Pukulan itu sama sekali tak mengeluarkan suara. Sedang tangan kanan menampar kepala dengan pukulan Hun-soh-ngo-gak atau Awan-menutup lima-gunung.
Dengan pengetahuan tentang ilmu silat yang luas, dapatlah Siau Lo-seng menilai kepandaian nona itu. Bukan saja jurus-jurus yang dimainkan itu luar biasa dan sakti serta sukar ditangkis, pun pemuda itu merasa seperti dihambur oleh beberapa macam tenaga. Muka, belakang, atas dan bawah serasa seperti dikurung oleh semacam tenaga dahsyat.
Melihat Lo-seng terancam bahaya, Pek Wan Taysu cepat loncat lalu dorongkan kedua tangan ke muka.
Paderi tua dari Siau-lim-si itu memang jarang keluar dari gereja dan jarang berkelahi. Tetapi sekali ia turun tangan, hebatnya seperti gunung rubuh. Pukulan itu ditujukan pada punggung si nona.
Serempak pada saat paderi itu memukul, Siau Lo-seng pun telah lancarkan sebuah pukulan yang dilambari dengan tenaga dalam sepenuhnya.
Dua buah pukulan yang sedahsyat gunung rubuh telah menjepit nona itu dari muka dan belakang. Andai tubuh nona itu terbuat dari baja pun, tetap tak tahan menerima kedua pukulan dahsyat itu.
Tetapi ketika melihat Pek Wan Taysu juga memukul, berobahlah wajah Siau Lo-seng.
"Paman, mengapa engkau turun tangan?" serunya cemas.
Tetapi teriakan itu kalah cepat dengan tindakan si nona baju biru yang saat itu sudah rentangan kedua tangannya ke belakang dan muka.
Seketika Siau Lo-seng rasakan pukulannya itu tersedot oleh segulung tenaga kuat, sedang dari muka sebuah tenaga tekanan kuat sedang melanda kepadanya. Ia terkejut dan hendak menyurut mundur tetapi terlambat.
Tubuh Siau Lo-seng seperti disambar petir. Dia terhuyung-huyung mundur sampai tiga langkah. Pandang matanya berkunang-kunang dan telinganya pun mengiang-ngiang. Tetapi ia masih sempat mendengar suara erang tertahan. Buru-buru ia tenangkan semangat dan memandang ke muka.
Jelita baju biru tegak dengan tenang mengawasi Siau Lo-seng.
"Siapakah engkau ini?" bentak Siau Lo-seng dengan marah.
Wanita itu gelengkan kepala dan menyahut seperti orang tak sadar: "Aku hendak mencari Siau Mo, akan kubunuhnya......"
Sambil berkata ia maju menghampiri ke tempat anak muda itu lagi.
Siau Lo-seng termangu heran mendengar kata-kata jelita itu.
Beberapa langkah ke muka, berserulah nona itu: "Engkau Pendekar Ular Emas Siau Mo atau bukan? Yang hendak kubunuh yalah Siau Mo......"
Pada saat itu barulah Siau Lo-seng tahu apa yang dihadapi saat itu. Dia pernah membaca dalam buku bahwa dalam dunia persilatan memang terdapat semacam ilmu yang disebut Memerintah mayat. Orang yang akan meninggal diberi minum obat racun untuk membius kesadaran pikirannya. Apabila orang itu hidup kembali, dia akan menjadi manusia tanpa mempunyai kesadaran otak dan dapat diperintah melakukan apa saja.
Teringat akan hal itu, tergetarlah hati Siau Lo-seng. Jika demikian, adakah nona cantik itu seorang mayat hidup?
Jika benar, dia tentu diperalat orang untuk membunuhnya. Lalu siapakah yang memerintah itu? Dan siapa pula nona cantik itu?
Tengah Siau Lo-seng termangu memikir hal itu, si jelita baju birupun sudah tiba dihadapannya dan tanpa bersuara apa-apa ulurkan jari tangannya yang runcing untuk menutuk jalan darah di ubun-ubun kepala Siau Lo-seng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar 100 Hari
General FictionSuatu peristiwa aneh telah terjadi. Kho Ing-ti diam saja, tak menangkis maupun menghindari sehingga lengannya tertusuk dan darahnya menyembur keluar. Tetapi Hun-ing pun terkapar rubuh di bawah kaki Kho Ing-ti. Rupanya nona itu juga terkena sebuah pu...