Siau Lo-seng dan Tay Hui Sin-ni serempak berseru kaget. Mereka tak percaya akan keterangan orang itu.
"Sudah berpuluh-puluh tahun aku berkecimpung dalam dunia persilatan dan sudah beberapa kali bertemu muka dengan Ceng-hi-cu ketua Bu-tong-pay. Tak mungkin salah lihat......," Go Cui-coan berkata dengan yakin.
"Mendapat laporan aku segera keluar untuk menyambut," kata pula Go Cui-coan dengan mengertak gigi, "ah, tak kira kalau manusia-manusia yang menamakan diri sebagai pemuka aliran Ceng-pay itu ternyata juga sama seperti kaum durjana. Mereka mengganas dan menyerbu markas. Segera kuperintahkan seorang anak buah untuk memberi portolongan kepada para korban dan disamping itu kuminta lima orang jago-jago kami yang sakit menyelamatkan keluarga-keluarga para anak murid......."
Berkata sampai di sini tampak Go Cui-coan tegang sekali wajahnya, penuh dengan dendam kemarahan sehingga matanya merah seperti bara.
Kemudian dengan geram ia melanjutkan:
"Kawanan manusia yang melebihi binatang buas itu telah menyerbu dan melakukan pembunuhan biadab. Tua muda, laki perempuan, besar kecil telah disembelih...... secara mengerikan...... hek, hek, hek."
Ia batuk-batuk lalu muntah darah dan menangis tersedu pilu.
Siau Lo-seng seperti terbayang akan pembunuhan ngeri di desa Hay-hong-cung lagi. Ia teringat pula akan pemandangan yang mengerikan ketika seluruh keluarga dan penghuni Huy-hong-cung dijagal habis-habisan.
"Darah...... jiwa...... hutang darah harus bayar darah...... hutang jiwa harus kembalikan jiwa...... aku hendak menuntut balas," tiba-tiba ia mengingau kalap.
Melihat itu bergidiklah hati Tay Hui Sin-ni. Ia meresa bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Serentak ia pejamkan mata dan melantangkan doa mantra.
Tiba-tiba Go Cui-coan mendekap dada dan jatuh terduduk lalu merintih seperti menahan kesakitan yang hebat.
"Siau sauhiap, engkau harus menuntut balas atas kematian saudara-saudara dari Naga Hijau...... dendam...... huak......."
Kembali orang itu muntah darah. Siau Lo-seng tersayat hatinya menyaksikan keadaan anak buah Naga Hijau itu.
Apabila sadah dikuasai oleh sifat kejam, manusia itu lebih kejam dari binatang buas. Terutama dalam dunia persilatan. Segala budi perilaku hanya kosong belaka. Yang ada dan dikenal dalam dunia persilatan itu hanya Hukum Rimba, yang kuat menang, yang lemah binasa. Siasat dilawan siasat, kekejaman dibalas kekejaman. Itulah bahasa yang dikenal oleh kaum persilatan.
Tay Hui terkejut melihat sikap dan perobahan wajah Siau Lo-seng. Ia kuatir apabila Siau Lo-seng dihinggapi oleh kesan buruk terhadap dunia persilatan, maka dunia persilatan pasti akan mengalami kehancuran dan masa-masa yang gelap.
Buru-buru rahib itu gunakan ilmu tenaga dalam sakti untuk menyadarkan pikiran Siau Lo-seng.
"Dendam kesumat, bunuh membunuh, bagaikan api yang membakar jiwa manusia. Apabila kita tak berusaha untuk memadamkan, hanguslah jiwa raga kita terbakar oleh kejahatan berdarah itu. Apabila dapat menyadari bahwa alam itu mempunyai hukum Sebab dan Akibat, bahwa segala kehidupan itu akan pulang ke asal masing-masing, maka kitapun harus menyadari agar jangan sampai terlibat dalam jerat Karma yang tiada berkeputusan."
Siau Lo-seng mengangkat muka dan memandang rahib itu dengan terlongong-longong.
"...... segala kehidupan itu dari satu sumber dan akan pulang ke asalnya...... ha, ha, ha......" tiba-tiba pemuda itu tertawa. Nadanya penuh kerawanan dan kehampaan.
Dia seperti seorang panglima yang habis memenangkan pertempuran. Suatu pertempuran batin yang dahsyat dimana hampir saja dia bertekuk lutut menambahkan pembunuhan dan kekejaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pendekar 100 Hari
Fiction généraleSuatu peristiwa aneh telah terjadi. Kho Ing-ti diam saja, tak menangkis maupun menghindari sehingga lengannya tertusuk dan darahnya menyembur keluar. Tetapi Hun-ing pun terkapar rubuh di bawah kaki Kho Ing-ti. Rupanya nona itu juga terkena sebuah pu...